Tindaklanjuti Rekomendasi Tim PPHAM, Presiden Terbitkan Dua Aturan
Pemerintah penuhi janjinya tindak lanjuti rekomendasi Tim PPHAM. Tindak lanjutnya itu, di antaranya, Inpres Nomor 2 Tahun 2023 dan Keppres Nomor 4 Tahun 2023.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
DIAN DEWI PURNAMASARI
Presiden Joko Widodo menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat untuk menindaklanjuti rekomendasi dari Tim PPHAM. Beleid itu diterbitkan pada Rabu (15/3/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Dua bulan setelah Presiden Joko Widodo mengakui dan menyesalkan 12 peristiwa pelanggaran hak asasi manusia berat, Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat diterbitkan.
Selain Inpres No 2/2023, Presiden Jokowi juga mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 2023 tentang Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat. Tim pemantau terdiri dari pengarah dan pelaksana. Dari keppres yang salinannya diterima Kompas, Kamis (16/3/2023) disebutkan, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD didapuk sebagai Ketua Tim Pengarah.
Adapun, Ketua Pelaksana adalah Sekretaris Kemenko Polhukam Letnan Jenderal TNI Teguh Pudjo Rumekso. Wakil Ketua Pelaksana adalah Makarim Wibisono yang merupakan mantan Ketua Tim PPHAM. Selain itu, juga ada perwakilan dari masyarakat sipil, yaitu mantan Ketua Komisi Yudisial Suparman Marzuki, mantan Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara, Choirul Anam, dan Amiruddin Al Rahab. Ada pula tokoh agama Zaky Manuputi dan Pastor John Djonga.
Sesuai keppres, tim pelaksana bertugas melakukan pemantauan, evaluasi, dan pengendalian implementasi rekomendasi Tim PPHAM. Mereka juga memberikan usulan saran dan pertimbangan kepada Ketua Tim Pengarah, serta melaporkan hasil pemantauan dan evaluasi pelaksanaan rekomendasi secara berkala atau sewaktu-waktu kepada ketua tim pengarah. Masa kerja tim pemantau PPHAM itu berlaku sejak keppres ditetapkan pada 15 Maret 2023 dan berakhir pada 31 Desember 2023.
Sementara itu, secara umum, Inpres No 2/2023 berisi perintah presiden kepada 19 kementerian dan lembaga untuk menindaklanjuti rekomendasi dari Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (Tim PPHAM). Tim sebelumnya telah bekerja selama dua bulan sejak September-Desember 2022 untuk mengkaji 12 pelanggaran HAM berat yang telah diselidiki oleh Komnas HAM. Tim kemudian melahirkan laporan dan rekomendasi yang harus dijalankan oleh pemerintah untuk memulihkan hak korban.
Sebanyak 19 kementerian dan lembaga itu di antaranya adalah Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan; Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan; Menteri Dalam Negeri; Menteri Luar Negeri; Menteri Agama; Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia; Menteri Keuangan; Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi; Menteri Kesehatan; Menteri Sosial; Menteri Ketenagakerjaan; Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat; Menteri Pertanian; Menteri Badan Usaha Milik Negara; Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah; Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif; Jaksa Agung, Panglima TNI; dan Kapolri.
Tugas kementerian dan lembaga
Secara umum, K/L ini diminta untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan secara terkoordinasi dan terintegrasi sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing untuk melaksanakan rekomendasi Tim PPHAM. Langkah yang dilakukan itu adalah memulihkan hak korban atas peristiwa pelanggaran HAM berat secara adil dan bijaksana dan mencegah agar pelanggaran HAM yang berat tidak terjadi lagi.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Sukarelawan Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) bersama aktivis hak-hak sipil menggelar Aksi Kamisan di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (19/1/2023). Aksi ke-760 itu menandai 16 tahun Aksi Kamisan yang menyuarakan keadilan bagi korban pelanggaran HAM berlangsung. Sejak 18 Januari 2007 para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat menggelar aksi damai untuk mendesak pemerintah mengusut tuntas berbagai kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Enam belas tahun berlalu Aksi Kamisan masih menjadi ruang bagi korban, keluarga korban dan pegiat HAM dalam mewujudkan penegakan hukum yang menjamin HAM.
Tugas khusus juga diberikan kepada 19 K/L tersebut untuk melaksanakan rekomendasi Tim PPHAM. Menteri Luar Negeri misalnya, ditugaskan untuk melakukan verifikasi dan memberikan prioritas layanan untuk memperoleh dokumen terkait hak kewarganegaraan terhadap korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat di luar negeri. Menlu juga diminta untuk meningkatkan diplomasi dengan dunia internasional terkait dengan langkah pemerintah dalam menyelesaikan non-yudisial pelanggaran HAM berat.
Menteri Pendidikan diminta untuk memberikan beasiswa pendidikan bagi korban dan anak-anak korban, memberikan bantuan perlengkapan atau peralatan kebudayaan, dan memberikan bantuan fasilitas pendidikan.
Jaksa Agung juga diminta berkoordinasi dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam penanganan dugaan pelanggaran HAM yang berat, dan melakukan pendampingan saat dilakukan verifikasi data korban.
Jaksa Agung juga diminta berkoordinasi dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam penanganan dugaan pelanggaran HAM yang berat dan melakukan pendampingan saat dilakukan verifikasi data korban.
Pembiayaan untuk pelaksanaan rekomendasi penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat itu diberikan kepada setiap kementerian/lembaga dan pemerintah daerah sesuai tugas dan fungsinya. Pelaksanaan rekomendasi sesuai inpres dilaporkan kepada Presiden paling sedikit enam bulan sekali dalam setahun kepada Presiden melalui Menko Polhukam.
Komnas HAM masih mempelajari
Saat dikonfirmasi terkait dua ketentuan tersebut, kemarin, Mahfud MD menyatakan tengah bertugas di luar negeri. ”Pekan lalu, saya dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Yasonna H Laoly) sudah memberi paraf karena akan dirilis secepatnya,” ujarnya.
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Atnike Nova Sigiro saat dimintai tanggapan soal perintah koordinasi dengan Kejaksaan Agung mengatakan, pihaknya sedang mempelajari isi inpres dan keppres tersebut. Pada prinsipnya, Komnas HAM mendukung upaya non-yudisial dalam konteks jaminan bagi hak korban pelanggaran HAM berat atas pemulihan. Komnas HAM akan mengawal proses non-yudisia untuk memastikan proses itu sejalan dengan prinsip hak-hak korban pelanggaran HAM berat.
Di inpres itu hanya disebutkan koordinasi antara Kejaksaan Agung dan Komnas HAM terkait verifikasi korban pelanggaran HAM berat. Jadi, kami harus pahami dulu dalam kaitannya dengan tugas dan fungsi kelembagaan yang lain.
”Di inpres itu hanya disebutkan koordinasi antara Kejaksaan Agung dan Komnas HAM terkait verifikasi korban pelanggaran HAM berat. Jadi, kami harus pahami dulu dalam kaitannya dengan tugas dan fungsi kelembagaan yang lain,” katanya.
DIAN DEWI PURNAMASARI
Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro saat ditemui di ruang kerjanya, Selasa (17/1/2023).
Dia juga berharap terkait koordinasi antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung, Menko Polhukam bisa memfasilitasi pertemuan tersebut. Sebab, sesuai amanat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Komnas HAM tetap akan mengawal proses yudisial terkait penyelidikan kasus pelanggaran HAM berat.
”Kami masih perlu klarifikasi lebih lanjut terkait poin koordinasi tersebut,” katanya.
Inpres dan keppres merupakan tanda keseriusan komitmen presiden dan pemerintah untuk memulihkan hak-hak korban pelanggaran HAM yang berat, dan keluarganya. Keberadaan inpres juga akan membuat indikator tugas dan keberhasilan implementasi menjadi lebih terukur.
Salah satu anggota tim pemantau, Beka Ulung Hapsara, mengatakan, inpres dan keppres merupakan tanda keseriusan komitmen presiden dan pemerintah untuk memulihkan hak-hak korban pelanggaran HAM yang berat dan keluarganya.
Keberadaan inpres juga akan membuat indikator tugas dan keberhasilan implementasi menjadi lebih terukur. Terutama terkait koordinasi antarkementerian dan lembaga untuk memastikan semua berjalan, dan komunikasi kebutuhan korban dengan kementerian dan lembaga terkait.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid
Transparansi laporan
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, masih ada pekerjaan rumah yang mendesak dari pemerintah terkait temuan dan rekomendasi Tim PPHAM. Pemerintah seyogianya perlu membuka laporan lengkap dari Tim PPHAM ini ke publik, karena hingga saat ini belum ada laporan lengkap yang bisa diakses publik. Laporan itu sangat penting sebab masyarakat dan korban ingin mengetahui temuan secara lebih utuh, sebelum rekomendasi dibuat.
Ini penting dibuka ke publik untuk mendorong partisipasi korban dan masyarakat luas yang dengan sendirinya membantu pemerintah dalam menyelesaikan masalah ini.
”Ini penting dibuka ke publik untuk mendorong partisipasi korban dan masyarakat luas yang dengan sendirinya membantu pemerintah dalam menyelesaikan masalah ini,” katanya.
Keterbukaan, lanjutnya, karena korban pelanggaran HAM berat sudah dibiarkan selama belasan hingga puluhan tahun. Mereka mengalami stigmatisasi di masyarakat.
”Implementasi rekomendasi sangat penting. Namun, akan lebih kuat jika keterbukaan itu terlihat di setiap fase kebijakan dan tindakan pemerintah sekaligus menunjukkan komitmen penuh agar pelanggaran HAM ini tidak terulang di masa depan,” ujarnya.
Usman berharap, pemerintah juga membuka opsi tambahan di luar rekomendasi yang diberikan oleh Tim PPHAM. Misalnya, perlunya Presiden mencabut Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 1975 tentang Perlakuan terhadap Mereka yang Terlibat G30S dan kebijakan lainnya yang diskriminatif. Presiden juga perlu menerbitkan Keppres tentang Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc untuk Tragedi Trisakti, Semanggi I dan II, Tragedi Talangsari Lampung, dan tragedi lainnya.
”Jika serius, itu tidak akan sulit,” ungkapnya. (DEA)