Pekan Depan, Komisi III DPR Kembali Bahas Transaksi Mencurigakan Rp 349 Triliun
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PPP, Arsul Sani, mengatakan, pihaknya sudah menjadwalkan dua kali rapat lanjutan bahas polemik data transaksi mencurigakan. Rapat pertama undang ahli, rapat kedua Komite Koordinas TPPU.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat kembali akan membahas polemik data transaksi mencurigakan Rp 349 triliun bersama Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang pekan depan. Pembahasan diharapkan mampu memberikan penyelesaian karena bisa berdampak pada kepercayaan dan kepatuhan masyarakat membayar pajak.
Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani, mengatakan, pihaknya sudah menjadwalkan dua kali rapat lanjutan untuk membahas polemik data transaksi mencurigakan Rp 349 triliun pekan depan. Rapat pertama akan mengundang sejumlah ahli tindak pidana pencucian uang untuk mendapatkan masukan terkait dengan transaksi mencurigakan tersebut.
Rapat selanjutnya akan mengundang Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) terdiri dari Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana, serta Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
”Sebelum reses, kami akan rapat, dan saya mendapatkan informasi semua sudah mengonfirmasi akan hadir,” ujar Arsul di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (5/4/2023). Adapun masa reses akan dimulai pada 14 April hingga 15 Mei.
Sebelum reses, kami akan rapat, dan saya mendapatkan informasi semua sudah mengonfirmasi akan hadir.
Menurut Arsul, rapat lanjutan yang mengundang Sri Mulyani diperlukan untuk memperjelas data transaksi mencurigakan Rp 349 triliun. Pihaknya ingin mengetahui jumlah agregat dari transaksi tersebut karena ada potensi nilainya lebih rendah setelah ditransaksikan berulang kali. Dengan mengundang tiga pihak tersebut, mereka mesti bisa menjelaskan agregat akumulasi transaksi yang jelas.
Dari jumlah itu, harus jelas juga mana yang kemudian menjadi satu keharusan untuk dilakukan proses hukum dan ’recovery’ atas kerugian negara. Kalau harus ada proses hukum, tindak pidana awal harus jelas dan ada dua alat bukti yang mencukupi. Jika alat bukti tidak memadai, harus ada alternatifnya.
”Dari jumlah itu, harus jelas juga mana yang kemudian menjadi satu keharusan untuk dilakukan proses hukum dan recovery atas kerugian negara. Kalau harus ada proses hukum, tindak pidana awal harus jelas dan ada dua alat bukti yang mencukupi. Jika alat bukti tidak memadai, harus ada alternatifnya,” katanya.
Menurut Arsul, Komisi III DPR tidak menutup opsi untuk membuat panitia khusus (pansus). Namun, solusi untuk menyelesaikan transaksi mencurigakan ini harus dilihat secara jernih. Sebab, pihaknya ingin kasus tersebut dibongkar secara proporsional dan melalui proses penegakan hukum yang benar. Keputusan untuk membentuk atau tidak membentuk pansus baru akan ditentukan setelah rapat bersama Komite TPPU minggu depan.
”Apa yang terjadi ini harus jelas ujungnya, jangan hanya ramai saja, apalagi ramai di medsos saja,” ujarnya.
Mencurigakan
Dalam kesempatan yang sama, anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Kamrussamad, menilai, pembentukan pansus justru berpotensi membuat ujung dari polemik transaksi mencurigakan tidak ditindaklanjuti aparat penegak hukum. Menurut dia, lebih baik ada join komisi antara Komisi III DPR dan Komisi XI DPR untuk memverifikasi data transaksi dilanjutkan dengan memilah transaksi-transaksi yang berpotensi merugikan negara.
Reaksi publik yang terekam melalui percakapan di media sosial terkait transaksi mencurigakan sangat kencang. Hal ini merupakan dampak dari eskalasi penyelesaian masalah yang dianggap tidak berjalan optimal. Bahkan, muncul ajakan untuk tidak membayar pajak.
Dari temuan transaksi tersebut, lanjutnya, menunjukkan masih adanya masalah dalam reformasi perpajakan dan reformasi birokrasi di Kementerian Keuangan. Selain itu, ada potensi kebocoran uang negara yang harus bisa diselesaikan. ”Kami ingin ending-nya untuk kepentingan negara, menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik,” ujarnya.
Peneliti Ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda, reaksi publik yang terekam melalui percakapan di media sosial terkait transaksi mencurigakan sangat kencang. Hal ini merupakan dampak dari eskalasi penyelesaian masalah yang dianggap tidak berjalan optimal. Bahkan, muncul ajakan untuk tidak membayar pajak.
Menurut dia, kasus-kasus TPPU yang belakangan mengemuka di publik bisa mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap kinerja Kemenkeu dan kinerja pemerintah secara umum. Jika eksekutif dan legislatif tidak mampu menyelesaikan polemik ini, dikhawatirkan kepatuhan masyarakat untuk membayar pajak menurun.
”Jika tidak dikelola dengan baik, data transaksi mencurigakan ini bisa menjadi bumerang bagi pemerintah,” kata Huda.