Rumah Bagus, Korupsi Birokrasi, dan Pengawasan yang Bermasalah
”Kompas” menyambangi rumah sejumlah tersangka dari dua kasus yang sedang ”ramai”, yakni dugaan penerimaan gratifikasi bekas pejabat pajak, Rafael Alun, dan dugaan korupsi tunjangan kinerja Kementerian ESDM, Beni Arianto.
Sebuah rumah dua lantai bercat putih berdiri kokoh di tengah permukiman padat penduduk di kawasan Rempoa, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten. Gang menuju rumah itu hanya bisa dilalui dua sepeda motor bergantian. Tidak sulit menemukan rumah tersebut sebab rumah itu tampak menonjol dibandingkan rumah lain yang sebagian besar berlantai satu.
Rumah tersebut dimiliki Beni Arianto, salah satu tersangka dalam kasus dugaan korupsi pembayaran tunjangan kinerja pegawai di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun Anggaran 2020-2022. Rumah itu digeledah Komisi Pemberantasan Korupsi pada Kamis (30/3/2023). Dalam kasus ini, KPK menetapkan tersangka 10 orang. Beni salah satu di antaranya.
Tetangga Beni, Wijiati (67), saat ditemui Sabtu (1/4/2023), mengungkapkan, rumah tersebut baru dibangun beberapa bulan ini. Mereka menambah satu lantai karena ketiga anaknya meminta kamar tidur. Meskipun bagian depan rumahnya tampak bagus, bagian belakang rumah tersebut belum direnovasi dan sering bocor. Istri Beni menceritakan kepada Wijiati bahwa mereka berutang untuk bisa merenovasi rumah itu. Bahkan, proses renovasi sempat tersendat-sendat.
Meskipun tinggal di seberang rumah Beni, Wijiati tidak pernah tahu pekerjaan Beni. Sehari-hari, Beni bekerja ke kantor dengan mengendarai sepeda motor atau diantar sepupunya. Ia tidak pernah mengetahui di mana Beni menyimpan mobilnya.
Dari penelusuran Kompas, Beni diduga mendapatkan bagian hingga miliaran rupiah dari uang yang diduga dikorupsi tersebut. Beni menggunakan uang tersebut di antaranya untuk membeli mobil dan tanah. Adapun total uang yang diduga dikorupsi 10 tersangka tersebut mencapai Rp 28 miliar.
Mereka bisa bersekongkol karena ada kesempatan yang besar. Saat terjadi pandemi Covid-19, suasana kantor kosong sehingga tidak ada yang mengawasi. Alhasil, mereka diduga bisa memanipulasi angka pembayaran tunjangan kinerja.
Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur mengungkapkan, perkara ini diduga dimulai dari kondisi kelebihan uang di Kementerian ESDM yang membuat para tersangka berupaya membagi keuntungan melalui tunjangan kinerja. Caranya, Asep mencontohkan, ada potensi alibi salah ketik seperti tunjangan kinerja yang seharusnya Rp 5 juta, tetapi ditambah satu digit angka nol, sehingga menjadi Rp 50 juta.
Saat ditemui, Beni enggan berkomentar banyak. Ia menyarankan agar bertanya kepada tersangka lainnya, seperti Lernhard Febrian Sirait, yang merupakan pejabat pembuat komitmen (PPK) dan Priyo Andi Gularso yang menjabat sebagai Kepala Seksi Perbendaharaan.
”Saya staf yang paling bawah. Saya sebagai operator surat perintah membayar saja,” tutur Beni yang sudah bekerja di Kementerian ESDM sejak 2007.
Saat ditanya terkait dengan pembayaran tunjangan kinerja, Beni meminta agar bertanya kepada Sirait. Namun, ia enggan menjelaskan keberadaan Sirait dan Andi. Menurut Beni, ia tidak tahu persoalan dugaan korupsi ini karena hanya menuruti perintah atasannya. Ia juga tidak mau berkomentar ketika Kompas menyebut nama Pelaksana Harian Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Idris F Sihite.
Selain Beni, Sirait, dan Andi, tersangka lainnya yakni Novian Hari Subagio, Abdullah, Christa Handayani Pangaribowo, Rokhmat Annashikhah, Hendi, Haryat Prasetyo, dan Maria Febru Valentine. Kepala Subbagian Humas Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Achmad Nur Saleh, mengungkapkan, mereka telah dicegah bepergian ke luar negeri untuk enam bulan ke depan.
”Saat ini semua nama tersebut tercantum dalam sistem daftar pencegahan usulan KPK dan berlaku sampai dengan 1 Oktober 2023,” kata Achmad.
Dalam kasus ini, KPK juga telah memeriksa Idris F Sihite. Idris pun mengakui, ia hadir sebagai saksi untuk kasus penyaluran tunjangan kinerja di Ditjen Minerba.
Rumah Rafael
Berbeda dengan Beni yang rumahnya berada di gang kecil, rumah bekas pejabat eselon III Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Rafael Alun Trisambodo, berada di perumahan Simprug Golf, Jakarta Selatan. Rafael telah ditahan KPK sebagai tersangka dugaan tindak pidana korupsi penerimaan gratifikasi atau yang mewakilinya terkait pemeriksaan perpajakan pada Ditjen Pajak Kemenkeu.
Tidak mudah untuk bisa masuk di kawasan elite tersebut karena harus melewati gerbang yang dijaga ketat oleh petugas keamanan. Kompas tidak diizinkan masuk ke perumahan tersebut karena dinilai akan mengganggu penghuni lain.
Munawar, petugas keamanan perumahan, menjelaskan, rumah tersebut tidak ditinggali oleh Rafael. Hampir sebulan, keluarga Rafael tidak menempati dan hanya ada pembantunya yang menjaga rumah tersebut. Pada Senin (27/3/2023), KPK menggeledah rumah tersebut dan menyita sejumlah barang mewah bermerek seperti dompet, ikat pinggang, jam tangan, tas, perhiasan, sepeda, serta uang dengan pecahan mata uang rupiah.
Rumah pertama Rafael di Taman Kebon Jeruk Intercon, Jakarta Barat, juga tak sederhana. Dari pantauan Kompas, rumah seluas 300 meter persegi itu berdiri di antara jajaran rumah berlantai dua. Rumah bercat kuning gading dan berpagar hitam itu tampak sepi, tetapi masih terawat. Petugas keamanan kompleks perumahan itu mengungkapkan, keluarga Rafael sudah tidak menempati rumah itu cukup lama dan dibiarkan kosong.
Selain dua rumah itu, Rafael juga diketahui memiliki beberapa rumah lainnya di Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Manado (Sulawesi Utara).
Dalam konferensi pers penahanan Rafael di Jakarta, Senin (3/4/2023), KPK memajang barang bukti seperti 30 tas mewah mulai dari Christian Dior, Chanel, Hermes, hingga Louis Vuitton. Selain tas, KPK juga menunjukkan uang Rp 32,2 miliar dalam bentuk pecahan mata uang dollar AS, dollar Singapura, dan euro. Uang tersebut disita dari safe deposit box (SDB) atau kotak penyimpanan harta milik Rafael di salah satu bank.
Gaya hidup keluarga Rafael mudah disorot publik karena banyak beredar di media sosial. Istri Rafael, Ernie Meike, juga gemar memamerkan gaya hidupnya yang mewah di media sosial, seperti menggunakan tas mewah merek luar negeri.
Rafael dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas menyatakan, ia selalu tertib melaporkan semua aset yang dimilikinya sejak 2002 dan transparan mengenai asal-usul asetnya. Ia mengaku rutin melapor surat pemberitahuan tahunan orang pribadi (SPT-OP) sejak 2002. Selain itu, Rafael selalu tertib melaporkan seluruh aset tetap dalam laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) dan mencantumkan nilai jual obyek pajak (NJOP). Ia menegaskan, nilai aset dalam LHKPN-nya terlihat naik secara signifikan karena sesuai dengan dokumen hukum meskipun nilai pasar bisa lebih rendah dari NJOP.
Adapun total harta Rafael berdasarkan LHKPN tahun 2021 mencapai Rp 56,1 miliar. Rafael mengakui, ia dianggap berisiko tinggi oleh beberapa pihak karena melaporkan seluruh aset tetap dan kenaikan nilai NJOP dalam LHKPN. Ia juga sudah mengikuti tax amnesty atau pengampunan pajak tahun 2016 dan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) tahun 2022.
Terkait dugaan penerimaan gratifikasi, Rafael mengaku tidak mengetahui kesalahannya di mana. Ia siap menjelaskan semua asal-usul asetnya, salah satunya berasal dari warisan orangtuanya. Ia mengaku tidak pernah memiliki niat untuk menyembunyikan harta.
Baca juga: Rafael Memanfaatkan Wajib Pajak Bermasalah
Ketua KPK Firli Bahuri mengungkapkan, Rafael diduga telah menerima gratifikasi sejak menjabat sebagai penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) di Kantor Wilayah Ditjen Pajak Jawa Timur I pada tahun 2011. Dengan fungsinya sebagai PPNS tersebut, Rafael diduga menerima gratifikasi dari beberapa wajib pajak atas pengondisian beberapa pemeriksaan perpajakan yang dilakukan. Sebagai bukti permulaan, penyidik KPK menemukan adanya aliran gratifikasi sekitar 90.000 dollar AS ke perusahaan konsultan pajak milik Rafael, yaitu PT Artha Mega Ekadhana.
Pengawasan tidak berjalan
Dalam teori GONE yang dicetuskan oleh penulis Jack Bologna, korupsi disebabkan oleh greedy (keserakahan), opportunity (kesempatan), need (kebutuhan), dan exposure (pengungkapan).
Para koruptor yang serakah tidak pernah mengenal kata cukup. Keserakahan yang ditambah dengan adanya kesempatan, maka menimbulkan tindak pidana korupsi. Seseorang berisiko melakukan korupsi karena ada gaya hidup yang berlebihan. Di samping itu, pengungkapan atau penindakan terhadap koruptor tidak bisa menimbulkan efek jera.
Menurut pegiat antikorupsi, Emerson Yuntho, korupsi dalam kasus Beni dan Rafael bisa terjadi karena kebutuhan dan kerakusan. Seperti Beni merenovasi rumahnya karena aji mumpung untuk menaikkan status. Ia ingin menunjukkan ke lingkungan sekitarnya bahwa telah ada perubahan dalam kehidupan sosialnya. Sementara itu, Rafael diduga melakukan korupsi karena gaya hidup.
Para birokrat bisa melakukan korupsi karena fungsi pengawasan tidak berjalan. Semua kementerian pun mengaku telah melakukan berbagai penyuluhan antikorupsi yang pada realitasnya, menurut Emerson, tidak berfungsi secara ampuh dalam mencegah korupsi.
Selain pengawasan yang tidak berjalan, korupsi bisa terjadi karena ada pembiaran. Sebab, apabila ketahuan, maka akan terjadi aksi pembalasan dan diintimidasi sehingga orang menjadi apatis. Mereka juga beranggapan, apabila kasus korupsi itu sampai terbongkar, akan dianggap aib internal. Situasi semakin diperburuk dengan adanya rangkap jabatan.
Dalam menyelesaikan persoalan ini, kata Emerson, perlu penanganan secara serius. ”Kalau ada praktik begini (korupsi), atasan langsung yang bertanggung jawab. Ada sanksi seperti teguran atau dicopot (jabatannya),” tegasnya.
Ia menambahkan, ketika terjadi pembiaran seperti kasus di Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan, maka harus ada sanksi di lingkungan tersebut. Pengawasan tidak hanya dilakukan dari Inspektorat Jenderal, tetapi juga dari unit yang bersangkutan. Untuk memperkuat pengawasan, mekanisme penyampaian pengaduan atau whistleblowingsystem harus terkoneksi dengan penegak hukum. Dengan cara itu, laporan yang masuk bisa langsung diproses.