Pelantikan Pimpinan MK dan Putusan Majelis Kehormatan Jadi Momen Perbaikan
Periode kepemimpinan yang baru MK memiliki tantangan besar, yakni memperbaiki kepercayaan publik. Langkah pertama dengan menyelesaikan isu yang menerpa MK, salah satunya putusan pengubahan frasa putusan Aswanto.
Oleh
Ayu Nurfaizah
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —Pelantikan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2023-2028 akan dilakukan pada Senin (20/3/2023) bersamaan dengan pembacaan putusan Majelis Kehormatan MK terkait dugaan pengubahan frasa putusan 103/PUU-XX/2022 dalam pemberhentian Hakim Konstitusi Aswanto. Dua hal ini diharapkan menjadi momen pemulihan integritas dan marwah MK untuk menyelesaikan satu per satu isu-isu yang selama ini menerpa.
Saat pelantikan, Anwar Usman akan ditetapkan sebagai Ketua MK dan Saldi Isra sebagai Wakil Ketua MK. Kedua pemimpin baru MK ini terpilih setelah proses pemungutan suara pada Rabu (15/3/2023). Anwar Usman terpilih kembali menjadi ketua pada periode ini, sedangkan Saldi baru kali ini menjabat Wakil Ketua MK menggantikan posisi Aswanto yang kosong sejak akhir Oktober 2022.
Soal waktu pelantikan dan pembacaan putusan di gedung MK, Ketua Majelis Kehormatan MK I Dewa Gede Palguna belum dapat memberikan informasi waktu yang pasti. ”Nanti akan diberitahukan oleh humas,” katanya saat dihubungi, Jumat (17/3/2023).
Untuk pembacaan putusan Majelis Kehormatan MK, disebutkan tiga anggota Majelis Kehormatan, yaitu mantan hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, dan Guru Besar Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Soedjito, akan membacakan putusan.
Sejauh ini, Majelis Kehormatan MK telah bekerja selama 30 hari, sejak 1 Februari lalu. Jika belum dapat menyelesaikan tugasnya, Majelis Kehormatan MK dapat diperpanjang kembali hingga 15 hari kerja. ”Namun, dalam surat keterangan perpanjangan Majelis Kehormatan MK, kami hanya diberi waktu maksimal hingga 20 Maret 2023. Itulah sebabnya kami bekerja maraton setiap hari hingga malam,” jelas Palguna.
Sebelumnya, Majelis Kehormatan telah memeriksa sembilan hakim konstitusi mengenai dugaan pengubahan putusan terkait uji materi Undang-Undang MK. Majelis ini bersidang sejak adanya perbedaan frasa dalam putusan yang dibacakan di persidangan dengan di salinan putusan sidang. Perubahan frasa tersebut adalah ”dengan demikian” menjadi ”ke depan” dalam bagian pertimbangan putusan.
Selain memeriksa internal MK, Majelis Kehormatan juga memeriksa mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie, mantan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan, mantan Ketua Komisi Yudisial Aidul Fitriciada Azhari, dan Ketua Komisi Informasi Pusat John Fresly Hutahaean.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran Susi Dwi Harijanti saat dihubungi menilai, apa yang dikerjakan Majelis Kehormatan dengan mengundang pihak eksternal MK menunjukkan upaya untuk menghasilkan pendapat berkualitas. Seperti Bagir yang pernah dua kali menjadi Majelis Kehormatan MK.
Majelis Kehormatan berusaha meningkatkan kepercayaan masyarakat dengan berhati-hati membuat keputusan dan mendengar banyak pihak. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap perilaku hakim MK yang mengubah putusan tersebut.
”Majelis Kehormatan berusaha meningkatkan kepercayaan masyarakat dengan berhati-hati membuat keputusan dan mendengar banyak pihak. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap perilaku hakim MK yang mengubah putusan tersebut,” tambah Susi.
Terkait substansi, menurut Susi, kesalahan pengubahan frasa ini tak termasuk clerical error, melainkan judicial error. Clerical error merupakan kesalahan teknis seperti pengetikan. Namun, pengubahan frasa ini berdampak pada akibat hukum yang berbeda.
”Apa pun alasannya, pengubahan putusan itu sudah harus dikualifikasikan sebagai pelanggaran etik. Pembuktian dalam pemeriksaan akan menunjukkan pelanggaran tersebut masuk kategori ringan, sedang atau berat. Majelis Kehormatan perlu memutus kasus ini secara imparsial dan berintegritas,” lanjutnya.
Adapun mengenai sosok Anwar Usmas, Susi menyatakan, masyarakat memiliki catatan sendiri terhadap Anwar yang merupakan adik ipar Presiden Joko Widodo. ”Memang tidak ada larangan menikah dengan siapa pun, itu merupakan hak pribadi, tapi perlu diingat, padanya melekat jabatan publik. Kasus-kasus yang ditangani MK merupakan perkara politik yang diselesaikan lewat hukum. Jangan sampai ada politisasi badan peradilan yang belakangan ini justru terlihat dan menonjol,” tutur Susi.
Peneliti Transparency International Indonesia, Sahel Muzzamil, menjelaskan, isu-isu yang menerpa MK menyebabkan turunnya kepercayaan publik selama ini. Untuk kembali memulihkan kepercayaan, MK perlu menangani beragam isu yang menerpa dirinya.
”Kredibilitas MK menjadi krusial menjelang Pemilu 2024 karena lembaga ini menangani sengketa hasil pemilu. Jika MK tidak dipercaya, bisa jadi apa pun hasil keputusan MK terkait pemilu atau bahkan pemilu itu sendiri juga tidak dapat dipercaya oleh masyarakat. Itu harga sangat besar yang perlu dibayar oleh republik ini,” tutur Sahel.
Kalau produk hukumnya tidak punya terobosan, lahir dari logika cacat hukum, dan politis, bagaimana kita bisa percaya terjadi perbaikan. Alat ujinya ada di lapangan.
Selain internal MK, lembaga lain yang bertanggung jawab memulihkan dan menjaga integritas serta kepercayaan publik terhadap MK adalah presiden dan DPR. Menurut Sahel, kedua lembaga non-yudikatif ini berperan krusial mengingat keduanya menggalakkan kembali revisi Undang-Undang MK. Di dalam revisi ini memuat kewenangan DPR dan presiden untuk mengevaluasi hasil kerja MK. Ketika hasil kerja MK buruk, presiden dan DPR dapat recall hakim konstitusi yang sebelumnya diajukan.
”Ini mekanisme yang berbahaya karena akan merusak independensi hakim dan MK,” ujarnya.
Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UGM Zainal Arifin Mochtar menilai, ukuran perbaikan integritas dan kualitas peradilan dapat dilihat dari putusan yang dihasilkan. Sembilan hakim konstitusi ini bertanggung jawab dalam perbaikan putusan, termasuk menghilangkan kontroversi dan masalah dari internalnya.
“Kalau produk hukumnya tidak punya terobosan, lahir dari logika cacat hukum, dan politis, bagaimana kita bisa percaya terjadi perbaikan. Alat ujinya ada di lapangan,” sebut Zainal.