Majelis Kehormatan MK Bekerja Maraton, Senin Putusan Dibacakan
”Kami berpacu dengan waktu karena batas paling lambatnya adalah 20 Maret 2023, tidak boleh lewat," kata Ketua Majelis Kehormatan MK I Dewa Gede Palguna terkait putusan dugaan pelanggaran etik.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi tengah bekerja maraton menyusun draf putusan kasus dugaan pengubahan frasa dalam putusan 103/PUU-XX/2022 terkait pemberhentian hakim konstitusi Aswanto. Putusan itu akan dibacakan pada Senin (20/3/2023) atau bersamaan dengan hari terakhir masa kerja Majelis Kehormatan.
Sebelumnya, Majelis Kehormatan sudah selesai meminta keterangan dari berbagai pihak, seperti panitera, pegawai MK, hakim konstitusi, dan sejumlah ahli. Saat ini, menurut Ketua Majelis Kehormatan MK I Dewa Gede Palguna, pihaknya sedang mengonsolidasikan seluruh keterangan, fakta, dan dokumen yang diperoleh selama sidang klarifikasi, pemeriksaan pendahuluan, dan pemeriksaan lanjutan, termasuk keterangan ahli, untuk menyusun draf putusan.
”Kami berpacu dengan waktu karena batas paling lambatnya adalah 20 Maret 2023, tidak boleh lewat. Karena itu, kami bekerja maraton hingga malam sejak beberapa hari lalu. Maunya, sih, agar kami bisa memutus sebelum 20 Maret 2023. Namun, karena putusan harus diucapkan pada hari kerja, niat itu tampaknya sulit dikejar,” ungkap Palguna saat dihubungi pada Kamis (16/3).
Ada sejumlah ahli yang dimintai keterangan oleh Majelis Kehormatan, yaitu mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie, mantan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan, mantan Ketua Komisi Yudisial Aidul Fitriciada Azhari, dan Ketua Komisi Informasi Pusat John Fresly Hutahaen.
Aidul Fitriciada, yang dihubungi secara terpisah, mengatakan, saat memberikan keterangan ahli di Majelis Kehormatan, ia menekankan pentingnya menjaga kemandirian peradilan secara bertanggung jawab. Ia juga berbicara mengenai clerical error yang dapat menjadi ranah pemeriksaan etik dan judicial error yang hanya dapat diubah melalui upaya hukum.
Menurut dia, harus dibedakan antara perubahan putusan dan perbedaan antara yang dibacakan dengan yang ditandatangani. Apabila yang terjadi adalah adanya perbedaan antara yang dibacakan dan yang ditandatangani, hal tersebut bisa dikategorikan sebagai clerical error. ”Dari segi kode etik hakim, bisa masuk pelanggaran terhadap kecermatan, ketelitian, dan kehati-hatian. Tetapi, siapa yang bersalah harus diperiksa lanjut, apakah hakim, majelis hakim, atau panitera?” ungkapnya.
Jika terkait dengan perubahan putusan dalam pengertian berubah setelah dibacakan dan setelah ditandatangani, Aidul mengungkapkan, hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap integritas pengadilan. ”Tetapi, dalam kasus putusan MK, putusan aquo sudah ditandatangani oleh semua hakim konstitusi. Jadi, yang terjadi ialah perbedaan antara yang dibacakan dan yang ditandatangani,” ungkapnya.
Saat ditanya lebih jauh mengenai berat ringannya pelanggaran yang terjadi, Aidul mengaku tidak dapat mengambil kesimpulan. Sebab, fakta yang ia miliki terbatas. Pihaknya menyerahkan kepada Majelis Kehormatan untuk memutusnya. ”Saya tidak tahu persis mengapa ada perbedaan antara yang dibacakan dan yang ditandatangani. Tapi, jika semua hakim menandatangani putusan yang berbeda dengan yang dibacakan, tentu yang menandatangani sudah bersikap tidak teliti, tidak cermat, dan tidak hati-hati terhadap putusan yang akan ditandatangani,” ungkapnya.