Anwar Usman terpilih kembali memimpin Mahkamah Konstitusi. Kali ini, ia didampingi Saldi Isra. Memulihkan kepercayaan publik terhadap MK menjadi salah satu tugas mereka.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI, Ayu Nurfaizah
·4 menit baca
JAKARTA,KOMPAS - Setelah melalui proses pemilihan yang alot, Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2018-2023 Anwar Usman terpilih kembali sebagai Ketua MK hingga lima tahun ke depan dengan didampingi Saldi Isra sebagai wakil ketua. Kolaborasi Anwar-Saldi diharapkan mampu memulihkan kepercayaan publik terhadap MK, utamanya setelah muncul sejumlah kasus yang menimpa lembaga negara pengawal konstitusi tersebut.
Proses pemilihan ketua dan wakil ketua MK periode 2023-2028, di Gedung MK, Jakarta, Rabu (15/3/2023), dimulai pukul 11.00, dengan menggelar rapat permusyawaratan hakim guna memperoleh mufakat terkait kedua posisi itu. Namun, hingga pukul 14.00, kata sepakat tak tercapai di antara sembilan hakim MK. Karena itu, pemilihan diputuskan berbasis suara terbanyak melalui pemungutan suara.
Namun, perubahan mekanisme pemilihan itu pun tak langsung menghasilkan ketua MK terpilih. Di putaran pertama, Anwar Usman dan Arief Hidayat sama-sama mengantongi empat suara. Adapun satu surat suara dinyatakan tidak sah karena seorang hakim konstitusi melingkari dua nama hakim yang ada di kertas suara.
Bergulirlah putaran kedua pemilihan dengan calon hanya Anwar dan Arief. Namun, hasilnya tetap sama. Satu surat suara lagi-lagi dinyatakan tidak sah karena ada hakim konstitusi yang melingkari dua nama hakim di kertas suara. Baru pada putaran ketiga, Anwar unggul dengan lima suara, sedangkan Arief memperoleh empat suara.
Berbanding terbalik dengan pemilihan ketua MK, pemilihan wakil ketua MK lebih cepat. Saldi Isra terpilih dalam satu kali putaran pemilihan setelah memperoleh lima suara. Ia mengalahkan Daniel Yusmic P Foekh yang hanya mendapatkan tiga suara. Sementara satu suara lainnya abstain. Saldi berarti mengisi posisi kekosongan wakil ketua MK yang sejak November lalu harus ditinggalkan Aswanto karena diberhentikan oleh DPR.
Informasi yang diperoleh Kompas, lobi di antara hakim konstitusi untuk menduduki posisi ketua MK gencar dilakukan sebelum hingga saat pemilihan. Maka, tidak heran jika pemilihan berlangsung alot. Anwar Usman dan Arief Hidayat telah disebut sebagai yang berpeluang paling kuat untuk menjabat posisi ketua MK.
Dengan terpilihnya Anwar, berarti ia telah menjabat ketua MK sejak 2 April 2018. Saat itu, ia menggantikan Arief Hidayat yang telah menjabat Ketua MK dari 2015 hingga 2018. Anwar sempat disorot karena menikah dengan adik Presiden Joko Widodo. Pernikahan itu dikhawatirkan bakal mengganggu independensinya sebagai hakim.
Kritik publik
Seusai pemilihan, Anwar Usman meminta dukungan semua pihak untuk memajukan MK dan juga demokrasi ke depan. ”Catatan, kritik, atau yang pahit sekalipun bagi kami berdua akan menjadi obat untuk membawa MK ke depan, lebih-lebih lagi untuk menghadapi pemilu serentak tahun 2024,” ujarnya.
Sementara itu, Saldi menyadari bahwa tugas yang dihadapi MK ke depan tidak ringan, khususnya untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap MK. ”Terlebih lagi karena 2024 itu menghadapi agenda nasional pemilu, baik pemilihan presiden, pemilihan legislatif, maupun akan pemilihan kepala daerah juga. Solidaritas di internal akan menjadi sesuatu yang akan kami jaga ke depan,” tuturnya.
Rencana aksi
Pengajar hukum tata negara Bivitri Susanti melihat Anwar Usman memiliki beban etik yang berat karena statusnya sebagai ipar Presiden. Hal tersebut terutama berkaitan dengan Pemilu 2024. ”Memang Pak Jokowi tidak bisa mencalonkan diri lagi, tetapi kita tahu dia punya pengaruh politik. Tetapi, dengan Saldi yang menjadi wakil, ada harapan bahwa Saldi bisa menjadi penyeimbang,” katanya.
Ia berharap pimpinan MK yang baru segera membentuk rencana aksi yang harus dijalankan sebelum tahun 2023 berakhir. Setidaknya ada tiga hal yang menurut Bivitri harus dicantumkan sebagai program aksi nyata pimpinan MK periode 2023-2028. Pertama, terkait dengan kasus dugaan pengubahan substansi putusan MK. Pimpinan MK harus menganalisis hasil rekomendasi Majelis Kehormatan MK, khususnya terkait mekanisme penanganan perkara di MK.
”Terutama di panitera, pengelolaan file, transparansi, dan seterusnya. Bagian itu harus menjadi prioritas,” ujarnya.
Kasus dugaan pengubahan substansi putusan dimaksud adalah putusan perkara 103/PUU-XX/2022 tentang uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK yang terkait pula dengan pemberhentian Aswanto sebagai hakim konstitusi. Hingga kini, Majelis Kehormatan MK masih mengusut kasus tersebut.
Selain itu, Bivitri berharap pimpinan MK memberikan masukan positif terkait revisi UU MK yang kini bergulir di DPR. ”MK bisa memberikan masukan, kan, dia pemangku kepentingan langsung,” ujar Bivitri.
Masukan yang dimaksud oleh Bivitri adalah terkait dengan evaluasi rutin hakim MK setiap lima tahun oleh lembaga pengusul (DPR, Presiden, atau Mahkamah Agung) atau evaluasi sewaktu-waktu jika ada laporan terkait hakim yang bersangkutan ke lembaga pengusul. Materi mengenai evaluasi hakim tersebut menjadi salah satu substansi dalam revisi keempat UU MK. Hal lainnya adalah manajemen sengketa pemilu yang harus segera dipersiapkan jauh-jauh hari.
Bivitri menilai, serangkaian upaya tersebut tidak serta-merta bisa mengembalikan kepercayaan publik terhadap MK. Namun, langkah-langkah itu bisa menjadi bagian dari manajemen krisis yang harus segera dilakukan.
Sementara itu, Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Aan Eko Widiarto pesimistis dengan komposisi kepemimpinan MK di bawah Anwar Usman-Saldi Isra.
Anwar Usman dinilainya mewakili semangat lama. ”Ada secercah harapan di Prof Saldi memang, tetapi sekali lagi problemnya adalah kedudukan (ketua dan wakil ketua) yang sama dengan para anggota (kolektif kolegial) sehingga saya melihat seorang wakil pun tidak akan banyak bisa berperan,” ungkapnya.
Dalam kondisi seperti itu, ia menduga sulit bagi MK untuk bisa melakukan perubahan ataupun membuat berbagai gebrakan atau berlari cepat sesuai ekspektasi masyarakat. Terlebih lagi, sulit untuk yakin bahwa MK saat ini bisa memerankan perannya seperti masa-masa awal di bawah kepemimpinan Jimly Asshiddiqie dan Mahfud MD.