Upaya Non-Yudisial Diharapkan Bisa Membantu Komnas HAM Kumpulkan Bukti
Anggota Komisi III DPR, Taufik Basari, meyakini mempercepat pengungkapan kebenaran lewat upaya non-yudisial juga dapat membantu Komnas HAM untuk mengumpulkan bukti-bukti lain.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyelesaian pelanggaran kasus kemanusiaan berat lewat jalur yudisial dinilai masih minim keseriusan karena tidak ada upaya tegas dalam mengusut, mengumpulkan bukti, atau memanggil para aktor yang diduga terlibat. Mempercepat pengungkapan kebenaran lewat upaya non-yudisial juga dinilai dapat membantu Komnas HAM untuk mengumpulkan bukti-bukti lain.
Anggota Komisi III DPR, Taufik Basari, menjelaskan, penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia berat lewat cara yudisial memerlukan kehati-hatian karena berkaitan dengan aspek teknis dan pembuktian di mata hukum. Penyelesaian yudisial harus dipersiapkan dengan cermat agar di pengadilan HAM, para pelaku yang bertanggung jawab dan terbukti bersalah layak diganjar hukuman.
”Pendekatan yudisial harus hati-hati tidak boleh tergesa-gesa. Kalau dipaksakan dengan bukti yang tidak kuat, nantinya pelaku yang menjadi dalang malah bisa tidak terbukti bersalah,” ujarnya di Jakarta, Selasa (17/1/2023).
Berbeda dengan penyelesaian yudisial yang dinilai membutuhkan waktu, penyelesaian non-yudisial seperti pemulihan hak korban dan pengungkapan kebenaran wajib dilakukan segera. Pernyataan Presiden Joko Widodo yang mengakui adanya pelanggaran HAM berat membuat negara mengamini kelalaiannya sehingga peristiwa-peristiwa itu bisa terjadi. Karena itu, pemulihan bisa dilakukan lebih cepat.
Ia menilai, negara harus memisahkan antara upaya penyelesaian yudisial dan penyelesaian non-yudisial agar proses penanganan masalah bisa berjalan lebih efektif. Mempercepat pengungkapan kebenaran lewat upaya non-yudisial juga dapat membantu Komnas HAM untuk mengumpulkan bukti-bukti lain, yang nantinya bisa diserahkan kepada Kejaksaan untuk melengkapi hasil penyelidikan lewat jalur yudisial.
”Tidak perlu menunggu sampai pelaku teridentifikasi baru korban dipulihkan haknya karena negara mengakui mereka lalai. Justice delayed is justice denied...,” katanya.
Taufik menyebutkan, penanganan kasus HAM berat lewat jalur yudisial juga terhambat karena masih belum efektifnya lembaga peradilan HAM Indonesia. Pengadilan HAM yang dibentuk lewat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dinilai tidak dirumuskan dengan niat yang tulus, tetapi hanya dibuat agar negara bisa menghindar dari peradilan internasional untuk kasus pelanggaran HAM di Timor Timur.
Salah satu poin kritik Taufik, yaitu, meski banyak mengadopsi poin dari Pengadilan Kriminal Internasional (International Criminal Court), definisi pelanggaran HAM yang tercantum di aturan tersebut masih sempit karena hanya berbicara soal genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Ia menambahkan, seharusnya pelanggaran HAM yang dimaksud tidak hanya berkutat di dua hal tersebut, tetapi juga setiap pelanggaran kemanusiaan yang kental keterlibatan negaranya.
Perluasan yurisdiksi ini juga untuk memastikan, kasus apa saja yang berhak diadili di pengadilan HAM atau tidak. Hal ini juga dimaksudkan agar tidak ada lagi istilah ”pelanggaran HAM berat” karena pelanggaran HAM yang dilakukan negara merupakan kejahatan yang tidak perlu diukur berat atau ringannya.
”Pelanggaran HAM ya pelanggaran HAM. Kalau ada pelanggaran HAM berat, berarti ada yang ringan. Hal-hal seperti ini harus dimasukkan untuk direvisi,” ujarnya.
Revisi aturan
Aturan peradilan HAM di Indonesia juga dinilai masih belum efektif karena belum adanya hukum acara yang tegas mengatur tentang itu. Direktur Amnesty International Usman Hamid menjelaskan, peradilan HAM belum memiliki hukum acara yang memadai sehingga pelaksanaannya kerap kali bersandar pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Beberapa definisi mengenai pelanggaran juga tidak dijelaskan dengan baik.
Akibatnya, pembuktian kejadian tindakan pelanggaran HAM bisa menggunakan pendekatan di KUHP. Padahal, tindakan pelanggaran HAM adalah peristiwa kriminal luar biasa yang tidak bisa disamakan dengan tindakan pembunuhan pada umumnya. Hal ini pula yang membuat para pelanggar HAM bisa melenggang bebas dari peradilan HAM. Revisi terhadap aturan ini dibutuhkan agar para pelaku bisa dijerat dengan hukum yang ada.
”Kalau disandarkan di hukum pidana, contohnya di Pasal 340, pembunuhan ada unsur sengaja dan ada rencana. Sementara pada banyak peristiwa pelanggaran HAM, pembunuhan itu tidak berencana, seperti penggunaan senjata yang eksesif untuk merespons protes dari masyarakat,” jawabnya.
Meskipun begitu, ia menyebut bahwa pemerintah tidak perlu menunggu agar hukum acara peradilan HAM bisa dirumuskan dengan sempurna karena para penegak hukum bisa mengambil langkah lain dengan membuat tim penyelidikan khusus untuk setiap pelanggaran HAM yang terjadi. Untuk menjaga independensi, tim ini haruslah diisi dengan para ahli-ahli yang berkompeten di bidangnya.
Sementara itu, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Muhammad Isnur menuturkan, Kejaksaan Agung tidak memiliki keseriusan untuk mengusut hasil penyelidikan dari Komnas HAM. Dengan kewenangan yang dimiliki kejaksaan, pengumpulan barang bukti dan saksi harusnya bisa dilakukan dengan lebih efektif.
”Kejaksaan punya wewenang upaya paksa penggeledahan dan pemanggilan kepada terduga pelaku atau saksi agar alat bukti yang dinginkan bisa terpenuhi, tetapi ini tidak dilakukan. Kejaksaan juga bisa memberi perintah kepada Komnas HAM untuk melakukan hal tersebut, juga tidak dilakukan. Terlihat negara sebenarnya tidak komitmen menyelesaikan masalah ini,” tuturnya.