Pengadilan HAM RI Diharapkan Bisa Tangani Pelaku Pelanggaraan HAM di Luar Indonesia
Dengan konstruksi UUD, UU Pengadilan HAM butuh diluruskan oleh MK. Dikembalikan dalam konteks UUD supaya UU Pengadilan HAM mengatur HAM yang lebih luas dari hak warga negara.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·6 menit baca
Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Mahkamah Agung Republik Indonesia Sobandi (kiri) dan Koordinator Tim Asistensi Pembaruan Peradilan Staf Khusus Wakil Ketua MA Bidang Non-Yudisial Astriyani (kanan) ketika memberi keterangan mengenai seleksi hakim ad hoc Pengadilan HAM di Gedung MA, Jalan Merdeka Utara, Jakarta, Kamis (14/7/2022). MA menargetkan mendapatkan 12 hakim ad hoc dengan kriteria dan kompetensi yang terbaik di bidang ini. Kriteria kandidat yang nantinya disaring melalui sejumlah tes dari beberapa calon telah mendaftar adalah memiliki kompetensi di bidang pelanggaran HAM berat dan tindak pidana internasional, khususnya kejahatan terhadap kemanusiaan. Selain itu , para calon pun tetap dinilai dari jejak rekam mereka di bidang penegakan hukum dan juga HAM. MA juga menyatakan membuka masukan dari seluruh elemen masyarakat untuk memberikan pendapat dan informasi terkait calon yang nantinya diumumkan lebih lanjut, melalui surel Mahkamah Agung RI.
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi diminta untuk memperluas yurisdiksi Pengadilan Hak Asasi Manusia sehingga bisa mengadili warga negara asing yang menjadi pelaku pelanggaran HAM berat, bahkan ketika peristiwa tersebut ada di luar wilayah Indonesia. Pengaturan yang demikian dinilai sejalan dengan konstitusi yang mengakui universalitas HAM.
Untuk mendukung pendapat tersebut, pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menjelaskan tentang konstruksi hukum menurut UUD 1945 dalam konteks universalitas HAM dan bagaimana pengaturan di dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Dijelaskan, pada tahun 1945 saat UUD pertama kali disusun, ada keinginan dari para pendiri bangsa untuk melindungi hak segenap bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Hal ini tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945 alinea pertama.
Pemohon meminta agar MK memperluas yurisdiksi pengadilan HAM sehingga tak hanya bisa menangani pelaku dan kasus yang terjadi di Indonesia.
Konstitusi mengenal dua model hak konstitusional, yaitu hak asasi manusia (HAM) dan hak warga negara. ”Dalam konteks HAM, sebenarnya ada konstruksi pertanggungjawaban negara melingkupi semua orang dari mana pun asalnya. Maka, namanya HAM, lintas negara. Itu dikenali dengan kata-kata setiap orang yang muncul beberapa kali di dalam UUD. Selain itu, ada hak warga negara yang diperoleh khusus oleh WNI,” kata Bivitri saat menjadi ahli dalam sidang perkara 89/PUU-XX/2022 terkait pengujian Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (16/1/2023).
Pemohon meminta agar MK memperluas yurisdiksi pengadilan HAM sehingga tak hanya bisa menangani pelaku dan kasus yang terjadi di Indonesia. Mereka mempersoalkan Pasal 5 UU Pengadilan HAM, meminta agar frasa ”warga negara Indonesia” dalam pasal tersebut dihapuskan. Permohonan diajukan oleh mantan Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqoddas, mantan Jaksa Agung Marzuki Darusman, dan Aliansi Jurnalis Independen.
Menurut Bivitri, pembedaan penyebutan ”setiap orang” dan ”setiap warga negara” bukanlah salah ketik atau typo akibat ketidaktelitian perumus UUD. Namun, hal tersebut disengaja dalam konstruksi hukum yang sudah dipikirkan sebelumnya.
Namun, universalitas pengaturan HAM di dalam UUD 1945 tersebut tidak diikuti oleh UU Pengadilan HAM. Berdasarkan sejarah pembuatannya, UU Pengadilan HAM sebenarnya pertama kali diterbitkan dalam bentuk peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu), yaitu Perppu No 1/1999. Namun, perppu tersebut tidak setujui oleh DPR menjadi undang-undang. Ini salah satunya disebabkan oleh keinginan Fraksi TNI/Polri di DPR yang mememiliki kepentingan agar pelanggaran HAM masa lalu tidak diungkit. Karena ada dorongan dari dunia internasional untuk mengadili kasus Timor Timur, maka pembuatan UU Pengadilan HAM pun akhirnya dilakukan dan selesai pada tahun 2000.
”UU Pengadilan HAM dibuat dalam konteks ada keterburu-buruan untuk merespons desakan internasional. Ada kekurangan. Dengan konstruksi UUD, UU Pengadilan HAM ini butuh diluruskan oleh MK, dikembalikan dalam konteks UUD supaya UU Pengadilan HAM mengatur HAM yang lebih luas dari hak warga negara,” ujar Bivitri.
Sejumlah hakim mempertanyakan pandangan Bivitri tersebut dengan tajam. Hakim konstitusi Saldi Isra, misalnya, mempertanyakan dua terminologi yang digunakan di dalam konstitusi, yaitu HAM dan hak warga negara. Ia mempertanyakan apakah dua terminologi tersebut digunakan dalam konteks Pasal 26 Ayat (2) UUD 1945 di mana penduduk didefinisikan sebagai WNI dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia. ”Apakah perbedaan istilah tadi itu ditujukan untuk mengakomodasi ada dua jenis orang yang tinggal di Indonesia. Ada yang WNI dan yang bukan WNI,” kata Saldi.
Ia juga mempertanyakan apakah di antara pendiri negara saat itu ada diskusi kemungkinan Indonesia mengambil peran besar dalam mengadili pelaku pelanggaran HAM yang terjadi di luar negeri. ”Sepengetahuan saya tidak ada didiskusikan soal itu,” kata Saldi sembari mempertanyakan mengapa tidak mendorong Pembentukan Pengadilan HAM ASEAN, misalnya, daripada mengadili pelaku pelanggaran HAM berat di Indonesia.
Atas pertanyaan tersebut, Bivitri mengungkapkan bahwa dirinya luput menghubungkan universalitas HAM tersebut dengan Pasal 26 Ayat (2) UUD 1945. Ia berjanji untuk menjawab hal ini dalam paper yang akan diserahkan ke MK. Namun, yang pasti pihaknya melihat ada konteks global HAM universal dalam perumusan UUD 1945 dan hal ini dikuatkan dalam perubahan UUD.
Terkait apakah ada diskusi mengenai universitalitas HAM saat para pendiri bangsa merumuskan konstitusi, Bivitri kembali pada garis waktu dalam pengakuan HAM di mana para pendiri bangsa ketika itu sudah berpikiran sangat maju. Indonesia lebih dahulu menyatakan penghormatannya pada HAM ketimbang Deklarasi HAM tahun 1948.
”Tapi memang tidak didiskusikan mendalam mengenai universalitas HAM. Yang dibicarakan adalah kemanusiaan itu sendiri. Saya kira ini karena wacana universalitas HAM belum muncul terlalu kuat,” ujarnya.
Pihaknya melihat ada konteks global HAM universal dalam perumusan UUD 1945 dan hal ini dikuatkan dalam perubahan UUD.
Membongkar konstruksi hukum
Hakim konstitusi Suhartoyo juga mengingatkan, jika Pengadilan HAM Indonesia diperluas yurisdiksinya menjadi bisa mengadili peristiwa pelanggaran HAM di luar negeri, hal tersebut akan membongkar banyak prinsip yang dianut di dalam sistem hukum RI. Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang menjadi bagian dari pengadilan umum, hukum acara yang digunakan pun masih hukum pidana pada umumnya.
”Hukum pidana kita menganut sistem jangkauan yang dibatasi oleh beberapa prinsip yang sifatnya fundamental. Seperti, siapa sih yang bisa ditindak melalui hukum Indonesia. Ada batasan nationality, kebangsaan. Itu batasan mendasar yang kemudian bila permohonan ini dikabulkan, tidak sedikit atau malah mungkin akan membongkar struktur hukum jangkauan penerapan pidana para orang yang melakukan tindak pidana di luar negeri,” kata Suhartoyo.
Lebih jauh Suhartoyo juga mempertanyakan bagaimana nanti KUHP dan KUHAP serta hukum-hukum lain di luar KUHP yang memiliki sifat khusus. Sebab, perluasan yurisdiksi Pengadilan HAM akan berpengaruh pada aturan-aturan tersebut dalam praktiknya.
Perwakilan Kejaksaan Agung menanyakan praktik serupa sudah ada di negara lain, di mana negara tersebut juga dapat memproses pelaku pelanggaran HAM di negara lain. Ditanyakan pula bagaimana proses penangkapan dan penahanan terhadap pelaku tersebut. ”Apakah sudah diperhitungkan karena kita tidak mungkin mencampuri negara lain karena tidak punya kewenangan. Ini juga termasuk politik hukum dalam hubungan antarnegara khususnya di ASEAN,” kata perwakilan kejaksaan.
Atas pertanyaan tersebut, Bivitri mengungkapkan masuknya universalitas yurisdiksi dalam pelanggaran HAM berat tidak adakan mengobrak-abrik keseluruhan konteks hukum pidana Indonesia yang baru saja diperbaiki dalam KUHP tahun 2023. Sebab, ada kekhususan-kekhususan yang dibuat dalam konteks penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. Misalnya, terkait asas nonretroaktif atau kasus yang ada sebelum UU Pengadilan HAM dibuat. Kasus tersebut bisa dibawa ke pengadilan jika ada keputusan politik dari DPR. Demikian pula dengan masa daluwarsa kasus pelanggaran HAM berat yang berbeda dengan tindak pidana biasa. Dalam konteks pelanggaran HAM berat, menurut Bivitri, sebenarnya tidak ada kedaluwarsa.