Korban Pelanggaran HAM Berat Layangkan Surat Terbuka untuk Presiden
Negara diminta tidak berhenti pada pengakuan saja. Presiden diminta untuk menuntaskan pelanggaran HAM berat dengan mengadili pelaku kejahatan di Pengadilan HAM Ad Hoc. Itu dapat memberi efek jera.
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah korban pelanggaran hak asasi manusia atau HAM berat masa lalu meminta negara mengambil langkah konkret dengan bertanggung jawab secara hukum. Caranya, dengan mengadili pelaku kejahatan HAM di Pengadilan HAM. Dengan demikian, negara jangan hanya berhenti pada pengakuan dan penyesalan, tetapi penyelesaian.
Permintaan kepada negara tersebut tertuang pula dalam surat terbuka yang dilayangkan Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan pada Presiden Joko Widodo.
Penyintas tragedi 1965-1966, Bedjo Untung (74), Kamis (12/1/2023), mengatakan, dirinya mengapresiasi langkah Presiden Joko Widodo mengakui pelanggaran HAM yang berat telah terjadi pada sejumlah peristiwa di Tanah Air. Namun, Bedjo menilai, pengakuan saja tidak cukup.
”Tidak cukup dengan mengakui dan menyesali, tetapi perlu bertanggung jawab. Presiden Joko Widodo bisa saja menginstruksikan untuk membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc,” kata Bedjo Untung di sela-sela aksi Kamisan ke-759, di depan Istana Merdeka, Jakarta.
Apabila tidak ada tindak lanjut dari negara, Bedjo khawatir pernyataan Presiden Joko Widodo hanya sekadar basa basi politik dan berakhir sia-sia.
Menurut Bedjo, negara harus bertanggung jawab secara hukum untuk memulihkan rasa keadilan korban.
Ia pun meminta hak-hak korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat dipenuhi secara menyeluruh. Itu termasuk pelurusan sejarah dan perbaikan nama baik. Sebab, Bedjo merasa dirugikan baik saat dipenjara maupun setelah bebas.
”Kalau tidak mau kasus HAM berat berulang, maka harus ada penjeraan. Itu bisa dilakukan dengan mengusut pelaku dan mengadilinya. Saya yakin barang bukti dari kasus ’65 sudah sangat cukup,” ujar Bedjo, yang pernah dipenjara selama sembilan tahun tanpa peradilan karena dituduh berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Baca juga: Pemerintah Sebut Penyelesaian Yudisial Pelanggaran HAM Berat Tergantung Data dan Bukti
Hal serupa disampaikan penyintas tragedi 1965-1966 lain, Effendi Saleh (84). Menurut Saleh, pengakuan negara atas sejumlah kasus pelanggaran HAM berat merupakan sebuah kemajuan. Namun, itu tidak berarti apa-apa jika kasusnya tidak diselesaikan. Selain itu, Saleh juga menuntut adanya rehabilitasi secara menyeluruh atas tuduhan yang pernah ditujukan kepadanya.
Saleh ditangkap pada 1969 ketika ada ”Operasi Kalong”, operasi yang dibentuk satuan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKD) untuk menangkap orang-orang yang dianggap terlibat PKI.
Saleh kala itu dituduh sebagai Pemuda Rakyat meski tidak ada bukti. Akibatnya, Saleh dipenjara selama lebih kurang sembilan tahun di berbagai tempat, mulai dari Salemba, Tangerang, Nusakambangan, hingga Pulau Bulu. Ia baru bebas menjelang 1979.
”Jadi, yang diharapkan pengakuan ini adalah selanjutnya tindakan pemerintah ini apa? Jangan hanya politik etis saja. Perlu ada tindakan nyata, seperti menghukum pelaku serta memulihkan hak korban dengan pelurusan sejarah dan perbaikan nama baik,” ucap Effendi.
Baca juga: Negara Akui Terjadinya Pelanggaran HAM Berat
Pada Rabu (11/1/2023), Presiden Joko Widodo sebagai kepala negara mengakui terjadinya pelanggaran HAM berat di 12 peristiwa masa lalu setelah menerima rekomendasi Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (PPHAM) di Istana Merdeka, Jakarta.
Dua di antara 12 peristiwa yang diakui itu ialah Peristiwa 1965-1966 serta Peristiwa Trisaksi dan Semanggi I-II pada 1998-1999.
”Dengan pikiran jernih dan hati tulus, saya sebagai Kepala Negara mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa dan saya sangat menyesalkan terjadinya peristiwa pelanggaran HAM berat,” kata Presiden.
Presiden juga menyatakan akan berusaha memulihkan hak para korban secara adil dan bijak tanpa menegasikan penyelesaian yudisial. Pemerintah pun bakal berupaya sungguh-sungguh agar pelanggaran HAM berat tak terulang di masa datang.
Surat terbuka
Adapun Bedjo bersama Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) mengirimkan surat terbuka untuk Presiden Joko Widodo. Surat itu ditandatangani Bedjo, Suciwati (istri aktivias HAM, Munir Said Thalib), dan Maria Sumarsih (ibu korban Semanggi I, Bernardus Realino Norma Irawan alias Wawan) yang merupakan Presidium JSKK.
Dalam surat itu, JSKK menyesalkan pengakuan negara hanya atas 12 kasus pelanggaran HAM berat. Peristiwa lain, seperti operasi Timor Timur (1975-1999), tragedi Tanjung Priok 1984, kasus pembunuhan aktivias HAM, Munir Said Thalib, 2004, atau Kasus Paniai 2014 tidak termasuk di dalamnya.
”Apabila pemerintah betul-betul berkomitmen untuk menjamin ketidakberulangan pelanggaran HAM berat di masa depan, kunci utamanya menciptakan efek jera bagi pelaku pelanggaran HAM berat, bukan dengan kata-kata seremonial belaka,” tulis surat tersebut.
Surat terbuka juga menyebutkan, negara seharusnya tidak menemui kesulitan untuk menuntaskan semua perkara pelanggaran HAM berat secara yudisial. Yang dibutuhkan ialah keberpihakan negara kepada korban dan keluarganya, serta kemauan politik untuk bertanggung jawab secara berkeadilan.
JSKK pun menyampaikan sejumlah tuntutan kepada Presiden Joko Widodo, antara lain, untuk memerintahkan Jaksa Agung menindaklanjuti berkas penyelidikan perkara pelanggaran HAM berat dari Komnas HAM. Selain itu, menuntut Presiden memerintahkan Jaksa Agung membentuk Tim Penyidik Ad Hoc sesuai dengan mandat Pasal 21 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Baca juga: Komnas HAM Tetap Mendesak Penyelesaian Hukum Kasus HAM Masa Lalu
Sementara itu, Maria Sumarsih mengatakan, pernyataan Presiden Joko Widodo hanya sebatas pencitraan untuk menunjukkan dirinya seolah-olah melunasi janji kampanye. Sumarsih menyampaikan, pada Pemilu 2014, Joko Widodo membuat visi dan misi yang tertuang dalam Nawacita. Salah satu komitmen Jokowi adalah menyelesaikan secara berkeadilan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk Kerusuhan Mei 1998, Trisakti Semanggi I-II, Penghilangan Paksa, Talangsari Lampung, Tanjung Priok, dan Tragedi 1965.
Maka dari itu, menurut Sumarsih, Jokowi seharusnya bertindak lebih jauh dari sekadar pengakuan. Pelanggaran HAM berat masa lalu, kata Sumarsih, tidak perlu disesali, tetapi harus dipertanggungjawabkan di Pengadilan HAM Ad Hoc.
Sumarsih juga menegaskan, pelaksanaan proses hukum tersebut harus dilaksanakan secara berkeadilan agar ada efek jera bagi pelaku dan rasa keadilan bagi korban.
”Kesungguhan pemerintah agar pelanggaran HAM yang berat tidak akan terjadi lagi di Indonesia pada masa yang akan datang sangat diragukan. Sebab, tidak ada penjeraan kepada para pelaku. Itu terlihat dari gagalnya Pengadilan HAM Ad Hoc Timor Timur, Pengadilan HAM Ad Hoc Tanjung Priok, pengadilan HAM Abepura, dan pengadilan HAM Paniai,” ujar Sumasih.
Adapun terkait dengan Peristiwa Trisakti dan Semanggi I-II, Sumarsih menilai, negara bisa dengan mudah menyelesaikannya. Sebab, Komisi Penyelidikan Pelanggaran (KPP) HAM Trisakti dan Semanggi I-II telah merekomendasikan sejumlah nama prajurit dan perwira tinggi TNI dan Polri untuk dihadapkan pada proses hukum. Nama-nama itu direkomendasikan berdasarkan otoritas dan peranannya masing-masing dalam rentang tanggung jawab komando.