Realisasi Belanja Daerah Tahun Ini Lebih Rendah ketimbang Pusat
Kemendagri mengumumkan, realisasi belanja daerah di pemerintah provinsi ataupun kabupaten/kota masih rendah, baru 78,29 persen, padahal APBN sudah 91,02 persen. Realisasi belanja paling rendah di antaranya Kaltim.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Hingga akhir tahun 2022, realisasi pendapatan ataupun belanja daerah masih rendah. Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri, hingga pekan terakhir 2022, realisasi belanja APBD baru mencapai 78,29 persen. Lebih rendah daripada serapan anggaran nasional yang mencapai 91,02 persen.
Awal pekan ini, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengumumkan realisasi belanja daerah yang tercatat masih rendah. Per 26 Desember 2022, realisasi belanja APBD baru mencapai 78,29 persen. Padahal, realisasi anggaran APBN secara nasional telah mencapai 91,02 persen. Bahkan, di Kemendagri, serapan anggaran sudah mencapai 98 persen.
Realisasi belanja paling rendah terjadi di Provinsi Sulawesi Tengah, yaitu 66,25 persen, Maluku Utara 67,42 persen, Kalimantan Timur 69,49 persen, Kepulauan Bangka Belitung 73,47 persen, dan Papua 73,90 persen.
Adapun di tingkat kabupaten dan kota, realisasi belanja APBD yang paling rendah terjadi di Kepulauan Selayar 58,49 persen, Tambrauw 59,25 persen, Bondowoso 59,53 persen, Kepulauan Tanimbar 59,55 persen, dan Kotabaru 59,65 persen. Untuk tingkat kota, realisasi belanja rendah terjadi di Kota Makassar 50,23 persen, Parepare 56,51 persen, Balikpapan 56,66 persen, Baubau 59,33 persen, dan Banjarmasin 61,60 persen.
Di tingkat provinsi, catatan dari Direktorat Jenderal Bina Keuangan Daerah Kemendagri, masih ada uang sekitar Rp 66,43 triliun di seluruh provinsi. Di tingkat kabupaten, masih ada dana yang mengendap sekitar Rp 122,49 triliun dan di tingkat kota ada Rp 30,17 triliun.
Baik Pemerintah provinsi, memerintah kabupaten, dan kota rata-rata masih rendah dalam membelanjakan anggaran untuk pos belanja tak terduga dan dana bantuan sosial. Padahal, pos anggaran itu bisa dimanfaatkan untuk berbagai hal, termasuk program prioritas Kemendagri, yaitu pengendalian inflasi daerah. Kemendagri meminta daerah mengawasi laju inflasi baik karena dampak kenaikan harga bahan pangan maupun faktor lain. Pemda diminta melakukan inovasi dan terobosan untuk menjaga laju inflasi daerah.
Baik pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, dan kota rata-rata masih rendah dalam membelanjakan anggaran untuk pos belanja tak terduga dan dana bantuan sosial.
Realisasi pendapatan
Selain realisasi belanja daerah yang rendah, Tito juga menyoroti realisasi pendapatan daerah yang baru mencapai 90,60 persen akhir tahun ini. Padahal, pada tahun sebelumnya, 2021, realisasi APBD per 31 Desember bisa mencapai 96,16 persen.
”Ini pasti ada sesuatu masalah pasti,” kata Tito.
Realisasi pendapatan sejumlah daerah hingga pengujung tahun memang terbilang rendah. Misalnya, di tingkat provinsi, DKI Jakarta realisasi pendapatannya baru 79,82 persen, Maluku Utara 80,66 persen, Sulawesi Tengah 82,78 persen, Maluku 83,87 persen, dan Nusa Tenggara Barat 84,31 persen.
Adapun untuk tingkat kabupaten, realisasi pendapatan terendah terjadi di Kabupaten Bangka Selatan 58,78 persen, Ende 58,89 persen, Kayong Utara 62,35 persen, Seram Bagian Timur 62,36 persen, dan Halmahera Tengah 63,68 persen. Sementara kota yang realisasi pendapatannya rendah ialah Kota Sorong 72,23 persen, Balikpapan 74,243 persen, Pematang Siantar 75,51 persen, Tual 75,55 persen, dan Binjai 75,60 persen.
Dihubungi terpisah, Jumat (30/12/2022), Direktur Eksekutif Indonesia Budget Centre (IBC) Roy Salam mengatakan, rendahnya serapan anggaran seolah menjadi masalah klasik yang sulit diatasi oleh pemerintah. Persoalan daerah itu perlu dilihat lagi secara komprehensif. Secara umum, permasalahannya adalah kelambanan daerah untuk memastikan perencanaan bisa dieksekusi secara tepat waktu.
Kemendagri, menurut dia, harus lebih sering melakukan pengecekan terhadap daerah. Akan lebih baik jika Kementerian Keuangan dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional ikut dalam pengawasan daerah. ”Perlu ada jadwal yang sama antara Kemendagri dan Kemenkeu, mengapa ada keterlambatan eksekusi dana APBD. Misalnya, ada kerumitan administrasi pencairan dana dari Kemenkeu, itu juga harus diatasi,” katanya.
Roy juga sepakat jika untuk mengatasi permasalahan klasik itu, diberlakukan pemberikan dana insentif daerah (DID). Daerah yang berhasil menangani inflasi daerah, tingkat kepatuhan daerah dalam menganggarkan dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), harus diberi insentif. Namun, mekanisme ini juga harus dievaluasi apakah sudah tepat sasaran atau belum.
”Sering kali yang kami temui di daerah adalah ketika ada insentif di sektor lingkungan, misalnya, tidak ketemu dengan program Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD). Kami khawatir daerah masih kurang koordinasinya antarsatuan kerja perangkat daerah (SKPD),” ujarnya.
Dia juga berharap pemerintah pusat bisa memiliki jadwal monitor yang rutin terkait kinerja daerah. Misalnya, seluruh instansi terkait harus bersama-sama berkomunikasi dengan daerah anggaran perencanaan nasional yang bisa dieksekusi oleh daerah. Tim dari pusat bisa melakukan asistensi agar masalah klasik serapan anggaran itu bisa cepat diatasi.