Penyerapan anggaran penanganan tengkes di sejumlah daerah masih belum optimal. Hal ini dapat menghambat capaian penurunan tengkes di Tanah Air.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyerapan anggaran khusus untuk percepatan penurunan prevalensi tengkes di daerah sangat rendah. Dari total dana alokasi khusus fisik sebesar Rp 8,3 triliun, anggaran yang terealisasi baru mencapai 9,01 persen. Untuk itu, sosialisasi terkait pemanfaatan anggaran ini perlu lebih digalakkan.
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo mengatakan, sistem pengelolaan keuangan di daerah sempat mengalami perubahan dari yang semula menggunakan SIMDA (sistem informasi manajemen daerah) menjadi SIPD (sistem informasi pembangunan daerah). Hal ini menjadi salah satu penyebab penyerapan anggaran penanganan tengkes yang kurang optimal di daerah.
”Daerah masih dalam proses transisi pengelolaan keuangan. Selain itu, stunting (tengkes) ini, kan, masih menjadi program yang baru sehingga memang butuh penyesuaian di daerah,” katanya dalam Rapat Koordinasi Tim Percepatan Penurunan Stunting Pusat, di Jakarta, Kamis (14/7/2022).
Meski begitu, Hasto mengatakan, penyerapan anggaran untuk percepatan penanganan tengkes harus terus didorong. Saat ini sudah berjalan setengah tahun anggaran, tetapi penyerapan kurang dari 10 persen.
Direktur Anggaran Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Kementerian Keuangan Putut Hari Satyaka mengutarakan, dana alokasi khusus (DAK) fisik tahun anggaran 2022 untuk percepatan penurunan prevalensi tengkes sebesar Rp 8,3 triliun. Dana itu meliputi alokasi untuk bidang kesehatan dan keluarga berencana, penguatan penurunan angka kematian ibu dan bayi, penguatan percepatan penurunan tengkes, bidang air minum, dan bidang sanitasi. Dari alokasi itu, per 13 Juli 2022 realisasinya masih 9,01 persen.
”Perbaikan perencanaan dan penganggaran program penurunan stunting perlu dilakukan, antara lain, agar setiap kementerian/lembaga pengampu bisa memperbaiki pola perencanaan dan penganggaran program stunting,” katanya.
Putut pun mendorong agar laporan capaian kinerja penanganan tengkes di setiap daerah dapat disampaikan secara berkala agar kinerja pelaksanaan intervensi tengkes bisa terpantau. BKKBN selaku koordinator percepatan penurunan tengkes juga diharapkan dapat menyusun rencana aksi nasional percepatan penurunan tengkes sebagai pedoman pelaksanaan di daerah.
Pemerintah menargetkan prevalensi tengkes di Tanah Air menurun hingga 14 persen pada 2024. Prevalensi tengkes saat ini 24,4 persen. Angka itu ditargetkan menurun menjadi 21 persen pada akhir 2022.
Perbaikan perencanaan dan penganggaran program penurunan stunting perlu dilakukan.
Untuk mempercepat penurunan prevalensi tengkes, pemerintah telah menetapkan 12 provinsi prioritas penurunan tengkes, yakni tujuh provinsi dengan prevalensi tengkes tertinggi dan lima provinsi dengan jumlah kasus tengkes tertinggi.
Adapun provinsi dengan prevalensi tengkes tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Barat, Aceh, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Barat. Sementara provinsi dengan jumlah kasus tertinggi adalah Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, dan Banten.
Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan Sekretariat Wakil Presiden Suprayoga Hadi menyampaikan, Wakil Presiden Ma’ruf Amin pada minggu ketiga Juli 2022 akan mengundang 12 gubernur dari provinsi dengan tingkat prevalensi dan jumlah kasus tengkes yang tinggi. Dalam pertemuan ini akan dibahas kinerja yang sudah dilakukan oleh setiap daerah dalam upaya penurunan tengkes.
”Kami akan lihat apa yang sudah dilakukan oleh setiap daerah ini, juga apa yang sedang dan akan dilakukan dalam upaya penurunan angka stunting. Diharapkan, setiap daerah juga bisa memiliki terobosan yang benar-benar bisa berdampak pada target penurunan angka stunting,” tuturnya.
Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Agus Suprapto menambahkan, seluruh pihak harus memiliki komitmen yang sama dalam dalam menangani tengkes di Indonesia. Konvergensi penurunan tengkes harus dipastikan bisa dilaksanakan sampai di tingkat akar rumput di masyarakat.
”Konvergensi ini terutama untuk remaja putri, ibu hamil, ibu nifas, dan pada anak usia 1.000 hari pertama kehidupan. Sayangnya, masih ada daerah yang belum menjadikan program penanganan tengkes sebagai prioritas, terutama prioritas dalam penganggaran,” katanya.