Penanganan Tengkes, Tak Cukup Intervensi Gizi Anak Balita
Tengkes masih menjadi masalah di Indonesia. Kendati mulai bisa menurunkan angka tengkes secara nasional menjadi 24 persen, kesenjangan masih tinggi. Di Kabupaten Timor Tengah Selatan, angka tengkes masih 48,3 persen.
Oleh
NINA SUSILO
·4 menit baca
SOE, KOMPAS — Penanganan tengkes atau stunting tak cukup dilakukan hanya dengan mengintervensi gizi anak balita. Sumber masalah utama yang semestinya diatasi adalah pengetahuan calon orangtua mengenai pentingnya kesehatan serta ketersediaan sanitasi yang baik dan akses air bersih.
Untuk memastikan penanganan tengkes berjalan sesuai harapan, Kamis (24/3/2022), Presiden Joko Widodo melakukan kunjungan kerja ke Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Bersama Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo, serta Gubernur Viktor Laiskodat, Presiden meninjau rumah warga di Desa Kasetnana, Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Dalam peninjauan tersebut, Presiden memantau program yang dilakukan untuk mengatasi tengkes. Kabupaten Timor Tengah Selatan merupakan ”lumbung stunting” tertinggi secara nasional. Sebanyak 48 dari 100 anak balita di kabupaten itu mengalami tengkes.
Tengkes terjadi akibat kekurangan gizi kronis dan menyebabkan terjadi kekerdilan. Untuk mencegahnya, kecukupan gizi selama seribu hari pertama kehidupan bayi sangat menentukan. Selain itu, kondisi kesehatan calon ibu penting untuk mencegah kelahiran anak dalam kondisi kurang gizi.
Tengkes bukan hanya masalah menangani gizi anak. Namun, calon pengantin juga perlu disiapkan supaya mengetahui apa yang harus dilakukan sebelum menjadi calon ibu dan ayah.
Karena itu, Presiden menegaskan, tengkes bukan hanya masalah menangani gizi anak. Namun, calon pengantin juga perlu disiapkan supaya mengetahui apa yang harus dilakukan sebelum menjadi calon ibu dan ayah. ”Harus disiapkan agar mereka (calon pengantin) tahu sebelum menikah dan sebelum hamil. Meski punya uang banyak, kalau tidak tahu apa yang harus disiapkan, menjadi keliru juga,” tutur Presiden seusai peninjauan.
Tanpa penanganan terpadu, menurut Presiden, akan sulit mencapai target menurunkan angka tengkes menjadi 14 persen secara nasional pada 2024. Tahun ini, angka tengkes di Indonesia masih 24,4 persen.
Presiden juga menekankan penanganan harus pula mencakup perbaikan rumah supaya layak huni, peningkatan akses air minum, ataupun air bersih untuk perbaikan sanitasi. Dari peninjauan, rata-rata tengkes terjadi di rumah yang tidak layak huni. Selain itu, masyarakat kerap tidak memiliki akses air bersih untuk minum dan sanitasi.
Secara nasional, Indonesia memang berhasil menurunkan tengkes dari 37,2 persen pada 2013 menjadi 24,4 persen pada 2022. Namun, kesenjangan masih tinggi. Daerah dengan prevalensi tengkes sangat parah masih memerlukan terobosan yang lebih kuat.
Prevalensi tengkes di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), misalnya, masih sangat tinggi. Studi Status Gizi Indonesia mencatat prevalensi tengkes kabupaten ini nomor satu dari 246 kabupaten/kota di 12 provinsi dengan 48,3. Ini berarti 48 dari 100 anak balita di Kabupaten TTS mengalami tengkes.
Di NTT, masih ada 14 kabupaten lain yang juga masuk kategori zona merah tengkes, selain Kabupaten TTS. Selain itu, tujuh kabupaten/kota lain di zona kuning dan tidak satu pun kabupaten masuk zona hijau, apalagi biru.
Zona merah tengkes diberikan untuk kabupaten dengan prevalensi di atas 30 persen, sedangkan kuning 20-30 persen. Adapun zona hijau untuk prevalensi tengkes 10-20 persen dan zona hijau untuk daerah dengan prevalensi tengkes di bawah 10 persen.
Kabupaten TTS bersama Kabupaten Sumba Barat, Sumba Timur, Timor Tengah Utara, Alor, Lembata, Ngada, Manggarai, Rote Ndao, Sumba Tengah, Sumba Barat Daya, Manggarai Timur, dan Sabu Raijua sudah menjadi bagian dari 100 kabupaten prioritas dalam penanganan tengkes tahap pertama tahun 2018.
Secara umum, menurut Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, seperti disampaikan seusai rapat terbatas terkait tengkes 11 Januari 2022, terdapat dua intervensi untuk menangani tengkes. Pertama, intervensi spesifik yang dilakukan secara langsung dan kuratif. Intervensi ini berkontribusi 30 persen pada penanganan tengkes.
Intervensi ini dilakukan kepada ibu hamil, menyusui, dan bayi berusia 6-23 bulan. Untuk ibu hamil, diberikan makanan tambahan dan suplemen penambah darah serta konsultasi dokter di puskesmas yang ditingkatkan dari empat kali menjadi enam kali.
Adapun bayi berusia 6-23 bulan mendapatkan makanan pendamping ASI. Saat bayi berusia 6-23 bulan, bayi memerlukan asupan protein hewani untuk pertumbuhan.
Intervensi kedua adalah intervensi sensitif yang bersifat tidak langsung, tetapi berkontribusi 70 persen dalam mengatasi tengkes. Intervensi sensitif ini mencakup penyediaan air bersih, lingkungan tempat tinggal yang baik, penanggulangan kemiskinan, pendidikan, dan lainnya.
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono dalam pembukaan World Water Forum (WWF) ke-9 di Dakar Arena, Dakar, Senegal, Senin (21/3/2022), menyebutkan, pemerintah menargetkan akses air minum layak bisa mencapai 100 persen masyarakat dan akses sanitasi layak mencapai setidaknya 90 persen sepanjang 2020-2024.
”Saat ini persentase rumah tangga yang memiliki akses air minum yang aman adalah 92 persen dan akses ke limbah domestik adalah 78 persen. Dengan mencapai target tersebut, kita akan mengurangi stunting dan tingkat kemiskinan secara nasional,” tuturnya.
Untuk itu, jaringan layanan air bersih perpipaan di berbagai wilayah dibangun. Selain itu, menurut Basuki dalam kesempatan lain, tahun 2022 ini, sejumlah program pemberdayaan masyarakat melalui penyediaan infrastruktur pelayanan dasar bagi masyarakat, seperti perumahan, air minum/air bersih, dan sanitasi, juga akan ditingkatkan.