Perubahan Perilaku dan Pola Hidup Krusial Mencegah Tengkes
Menurunkan angka tengkes tak cukup hanya dengan memberikan makanan tambahan kepada anak balita atau ibu hamil. Namun, diperlukan edukasi kuat untuk mengubah pola hidup dan perilaku.
Oleh
NINA SUSILO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perubahan perilaku dan pemberdayaan masyarakat menjadi satu dari lima pilar percepatan penurunan angka tengkes atau stunting. Sebab, gizi buruk tak semata terjadi akibat bayi kurang gizi, tetapi juga pola hidup dan pola pikir yang kurang tepat.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin dalam sambutannya di Forum Merdeka Barat (FMB) 9, Senin (4/4/2022), menyebutkan lima pilar percepatan penanganan tengkes atau gizi buruk kronik (stunting). Selain perubahan perilaku dan pemberdayaan masyarakat, diperlukan komitmen dan visi kepemimpinan nasional dan daerah.
Pilar lainnya adalah intervensi spesifik dan sensitif di pusat dan daerah; ketahanan pangan dan gizi; serta penguatan dan pengembangan sistem data informasi, riset, dan inovasi.
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo juga dalam diskusi sama menyebutkan dua masalah utama yang mengakibatkan angka tengkes di Indonesia masih tinggi. Pertama, sulitnya akses air bersih, rumah tidak layak huni, ketiadaan jamban. Ketika sanitasi tidak tercapai, anak menjadi mudah sakit dan akhirnya berat badannya terimbas sehingga tinggi badannya tidak bertambah.
Masalah kedua, menurut Hasto, adalah pola pikir dan pemahaman. Gizi seimbang, cara hidup, dan persiapan sebelum menikah menjadi penting. Dijelaskan bahwa perempuan yang akan menikah dan akan menjadi calon ibu semestinya menjaga kesehatan dan asupannya. Dengan demikian, perempuan tidak mengalami anemia dan siap ketika hamil.
Namun, ketika akan menikah, lebih banyak perempuan memilih diet. Selain itu, pasangan yang akan menikah biasanya lebih mementingkan foto prewedding ataupun mempersiapkan tenda pelaminan. Kenyataannya, kata Hasto, 37 persen perempuan yang akan menikah menderita anemia.
Direktur Gizi dan Kesehatan Ibu Anak Kementerian Kesehatan Erna Mulati menambahkan, pencegahan tengkes dimulai dari edukasi remaja. Harapannya, remaja menyukai makanan yang cukup gizi, menghindari makanan tinggi lemak. Selain itu, remaja usia 12-17 tahun juga diberikan tablet tambah darah supaya tidak menderita anemia.
Hal lainnya, penanggulangan tengkes juga dilakukan dengan penguatan pelayanan antenatal atau saat perempuan hamil. Saat ini, pelayanan antenatal yang awalnya hanya diberikan empat kali di puskesmas, kini diberikan enam kali selama masa kehamilan. Pada pertemuan pertama dan pemeriksaan kehamilan trimester ketiga, pemeriksaan dilakukan oleh dokter. Harapannya, risiko kekurangan gizi atau kemungkinan adanya kelainan bisa dideteksi sedini mungkin dan bisa diberikan intervensi.
Intervensi untuk ibu hamil antara lain berupa tablet tambah darah yang harus diminum minimal 90 kali dan makanan tambahan.
Kurangnya asupan bergizi pada ibu hamil jelas meningkatkan risiko bayi lahir dengan kurang gizi. Dalam survei tahun 2014, misalnya, asupan protein yang kurang dari 80 persen kebutuhan mencapai 48,6 persen di perdesaan dan 55,7 persen di perkotaan. Karena itu, menurut Erna, edukasi pemenuhan gizi juga sangat penting untuk mengatasi tengkes.
Setelah bayi lahir, pemberian asi eksklusif selama enam bulan juga sangat diperlukan. Namun, saat ini baru 56 persen bayi yang mendapatkan asi eksklusif. Untuk itu, sosialisasi manfaat asi eksklusif disampaikan melalui konselor yang ditempatkan di setiap kecamatan. Bila setiap tahun lahir sekitar 4,8 juta bayi, sampai 2024 akan lahir sekitar 12 juta bayi lagi. Karena itu, kata Hasto, penanggulangan tengkes berarti mengawal 12 juta bayi yang lahir dan akan lahir sampai 2024.
Kerja sama
Pelaksana Tugas Direktur RSUD Bali Mandara Ketut Suarjaya menambahkan, kerja sama pemerintah daerah dengan masyarakat juga sangat menentukan dalam menurunkan angka tengkes. Angka tengkes di Bali pernah 34 persen di tahun 2018, saat itu angka tengkes nasional 30,8 persen. Namun, tahun 2021, angka tengkes Bali sudah 10,9 persen sedangkan angka tengkes nasional masih 24,4 persen.
Diakui masih ada tiga kabupaten dengan angka tengkes di atas rata-rata Bali, yakni Karangasem 22,9 persen, Klungkung 19,4 persen, dan Jembrana 14,3 persen. Selain itu, kendati angka tengkes 10,9 persen terasa rendah, angka ini berarti 34.000 anak balita masih mengalami tengkes.
Karena itu, Ketut mengatakan, masalah perilaku dan pola pikir menjadi salah satu penyebabnya. Untuk itu, pemerintah daerah dan masyarakat berinovasi membuat berbagai kegiatan untuk mendorong pola pikir dan pola hidup yang lebih baik. Di Badung, misalnya, ada gerakan badan sehat, di kabupaten/kota lain ada gerakan kesehatan peduli remaja, pemeriksaan untuk calon pengantin, dan program lainnya. ”Tidak cukup dilakukan pemda saja, tetapi melibatkan banyak sektor termasuk PKK,” ujarnya.
Satu dari tiga
Tahun 2018, angka tengkes di Indonesia masih 30,8 persen. ”Hampir satu dari tiga anak kita mengalami kurang gizi dalam jangka waktu lama, yaitu seribu hari pertama kehidupannya, padahal batas toleransi WHO di bawah 20 persen,” tutur Wapres Amin.
Sampai 2021, angka tengkes bisa ditekan sampai 24,4 persen. Namun, diharap pada 2024 bisa menjadi 14 persen.
Untuk itu, kata Wapres Amin, ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting. Perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi akan dilakukan secara terintegrasi.
Saat ini, percepatan penurunan tengkes melibatkan sepuluh kementerian/lembaga serta secara bertahap dibentuk juga tim percepatan serupa di daerah. Selain itu, pendekatan keluarga juga dilakukan untuk memastikan seluruh intervensi diterima keluarga prioritas.