Problem Penyerapan Terulang, Rp 278 Triliun Mengendap di Bank
Problem penyerapan anggaran daerah yang terus terulang setiap tahun semestinya dicari akar masalah dan solusinya, bukan sekadar menyalahkan pemerintah daerah.
Oleh
NINA SUSILO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS Problem klasik penyerapan anggaran daerah kembali terulang. Ketika tahun anggaran 2022 tinggal tersisa satu bulan, Presiden Joko Widodo menyebut anggaran daerah sebesar Rp 278 triliun masih mengendap di bank.
Kepala daerah pun diminta segera membelanjakan anggaran tersebut. Namun, agar isu ini tak terus berulang, penyebab lambatnya penyerapan yang sebagian justru bersumber dari birokrasi di pemerintah pusat harus diatasi.
Presiden mengungkapkan masih banyaknya anggaran daerah yang mengendap di bank saat membuka Rapat Koordinasi Nasional Investasi Tahun 2022, di Jakarta, Rabu (30/11/2022). ”Kita ini mencari uang dari luar agar masuk. (Supaya) Terjadi perputaran uang yang lebih meningkat. Tetapi, uang kita sendiri yang ditransfer Menteri Keuangan ke daerah-daerah justru enggak dipakai,” ujar Presiden.
Dalam catatan Kementerian Keuangan yang disampaikan Presiden, anggaran sebesar Rp 278 triliun yang masih mengendap di bank itu meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Di bulan yang sama pada tahun-tahun sebelumnya, biasanya anggaran daerah yang tersimpan di bank berkisar Rp 210 triliun-Rp 220 triliun. ”Rp 278 triliun itu gede banget. Ini kalau cepat direalisasikan memengaruhi pertumbuhan ekonomi di daerah,” kata Presiden.
Catatan Kompas, hampir setiap tahun Presiden mengeluhkan soal lambatnya penyerapan anggaran daerah ini. Pada akhir November 2021, misalnya, Presiden menyinggung soal anggaran daerah yang masih di bank sebesar Rp 226 triliun. Kemudian, April 2016, Presiden menyampaikan anggaran daerah Rp 183 triliun yang masih mengendap di bank.
Tak ada kesengajaan
Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) Bima Arya membantah jika ada yang beranggapan kepala daerah sengaja menahan penyerapan anggaran.
Selama ini, masalah penyerapan justru kerap terjadi karena penyaluran dana alokasi khusus (DAK) dan dana insentif daerah (DID) yang kerap terlambat. Begitu pula terbitnya petunjuk pelaksanaan, petunjuk teknis, dan peraturan menteri keuangan yang menjadi pedoman penggunaan anggaran.
Wali Kota Bogor ini mencontohkan, Pemerintah Kota Bogor baru menerima kabar memperoleh DID untuk sejumlah hal seperti bantuan sosial, UMKM, dan penanganan inflasi, Rabu, tetapi bisa dipastikan tak mungkin diserap karena waktu pelaksanaan sudah sangat mepet. Tinggal tersisa satu bulan hingga tahun anggaran 2022 berakhir.
Masalah lainnya, kata Bima, kekhawatiran penanggung jawab pelaksana kegiatan berurusan dengan aparat penegak hukum. Ketika landasan penggunaan anggaran tak jelas, mereka memilih tidak melaksanakan program, bahkan melawan atasannya, kepala daerah.
Ketua Bidang Pemerintahan dan Pendayagunaan Aparatur Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) Nikson Nababan mengamini bahwa kelambatan penyerapan anggaran biasanya terjadi pada anggaran yang ditransfer dari pemerintah pusat. Setidaknya ada dua kendala yang dihadapi pemerintah daerah untuk merealisasikan anggaran tersebut.
Pertama, e-katalog yang baru dibuka Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) mulai Mei. ”Saran saya, untuk tahun 2023, LKPP sudah membuka e-katalog sejak Desember 2022 atau paling lambat Januari 2023 sehingga pembelian barang melalui e-katalog bisa dimulai awal tahun,” ujarnya.
Tender pengadaan barang dan jasa juga dinilainya menjadi masalah karena prosesnya yang memakan waktu. Karena itu, dia mengusulkan batas nilai pengadaan barang dan jasa melalui penunjukan langsung dilonggarkan, tetapi harus disertai petunjuk teknis yang memastikan perusahaan yang ditunjuk betul-betul memiliki pengalaman, kapasitas, dan alat melaksanakan pekerjaan.
Guru Besar Ilmu Pemerintahan Daerah Prof Djohermansyah Djohan dan Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah Herman Suparman, yang diwawancarai secara terpisah, meminta pemerintah pusat tidak sekadar menyalahkan pemerintah daerah. Justru perlu ada terobosan dan perbaikan di tingkat pemerintah pusat.
Misalnya, kata Djohermansyah, petunjuk penggunaan anggaran jangan terlalu lama diterbitkan. Pedoman di dalamnya pun seharusnya memudahkan pemda. Selain itu, pemantauan penyerapan anggaran daerah harus lebih intens. Jadi, jika ada daerah yang lambat menyerap anggaran, bisa segera dicari solusinya.
Hal lainnya, menurut Herman, perlu penerapan pendekatan berbasis insentif dan disinsentif. Pemda yang lambat menyerap anggaran misalnya, pejabatnya, termasuk kepala daerah dan anggota DPRD, diganjar sanksi penundaan atau peniadaan hak-hak keuangan selama periode tertentu.