Ekspresi Berbeda Para Koruptor dan Pelapor Gratifikasi
Komisi Pemberantasan Korupsi memberikan penghargaan kepada pelapor gratifikasi inspiratif dan instansi yang konsisten dalam menyampaikan LHKPN. Mereka menjadi teladan bagi masyarakat dalam menanamkan nilai antikorupsi.
Langkahnya gontai dan wajahnya tampak lesu. Itu yang tampak dari Wakil Ketua DPRD Jawa Timur Sahat Tua Simandjuntak seusai ditetapkan sebagai tersangka di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Jumat (16/12/2022) dini hari. Hal yang sama juga terlihat dari tiga tersangka lainnya yang berjalan di belakang Sahat. Mereka menjadi tersangka dalam kasus dugaan suap untuk pengurusan alokasi dana hibah yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Jatim.
Ketika keluar dari Gedung KPK, hanya Sahat yang meminta maaf kepada publik di hadapan wartawan. ”Saya salah. Saya salah dan saya minta maaf kepada semuanya, khususnya masyarakat Jawa Timur dan keluarga. Doakan kami agar tetap sehat agar pemeriksaan ini tetap lancar,” kata Sahat tanpa mau menjawab pertanyaan wartawan.
Sementara itu, ketiga tersangka lain, staf Ahli Sahat, Rusdi; Kepala Desa Jelgung, Kecamatan Robatal, Kabupaten Sampang, sekaligus Koordinator Kelompok Masyarakat (Pokmas) Abdul Hamid; serta Koordinator Lapangan Pokmas Ilham Wahyudi, hanya tertunduk diam dan berusaha menghindari wartawan.
Diamnya para tersangka tersebut menjadi pemandangan sehari-hari dari sebagian besar orang-orang yang berperkara di KPK. Mereka selalu tertunduk lesu dengan langkah gontai dan berusaha menghindari kejaran pertanyaan wartawan.
Suasana kontras terlihat ketika Olivia Sampouw begitu lantang menceritakan kisahnya saat berani melaporkan uang suap atau gratifikasi yang diberikan kepadanya. Perasaan bangga terpancar dari wajah duta BPJS Kesehatan tersebut. Matanya berbinar-binar saat menceritakan kisahnya kepada wartawan yang membuatnya diberikan penghargaan Pelapor Gratifikasi Inspiratif 2022 oleh KPK.
Uang Rp 100 juta yang dibungkus kue ulang tahun diberikan langsung pada Olivia di rumahnya oleh salah satu representasi fasilitas kesehatan. Sekitar 12 jam setelah pemberian uang tersebut, ia melaporkannya ke Unit Pengendali Gratifikasi(UPG) BPJS Kesehatan Cabang Gorontalo dan laporan tersebut dikirimkan ke KPK.
”Jadi, yang jelas, yang memberanikan saya karena memang integritas dari setiap duta BPJS Kesehatan itu harus menjaga reputasi dan nama baik dari organisasi, yaitu BPJS Kesehatan,” kata Kepala Bidang Penjaminan Manfaat Rujukan Kesehatan Kantor Cabang Gorontalo itu di sela-sela peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) 2022, Jumat (9/12/2022).
Olivia mengungkapkan, selama 12 tahun menjadi Duta BPJS Kesehatan, ia baru pertama kali disuap atau menerima gratifikasi. Uang tesebut diberikan oleh seorang yang bertugas di sebuah rumah sakit dan klinik supaya memperlancar klaimnya.
Baca juga: Gratifikasi Runtuhkan Keadilan dalam Pelayanan Publik
Orang tersebut memeriksa pasien di sebuah rumah sakit, lalu melakukan operasi di klinik. Mengetahui hal tersebut, Tim Kendali Mutu dan Kendali Biaya (TKMKB) bersama dengan verifikator menunda klaim yang diajukan orang itu.
”Jadi, kami bahas dulu bersama akan kasus ini. Dan, pada saat kami akan membayar, beliau juga ternyata di satu sisi mempunyai keinginan untuk mengucap terima kasih. Tetapi, hal ini sangatlah salah, di mana memberikan gratifikasi kepada kami. Jadi, kami juga sebagai Duta BPJS Kesehatan tidak mau tergoda akan uang ini. Kami tetap jaga terus integritas karena integritas itu harga mati bagi kami,” kata Olivia.
Kisah inspiratif juga disampaikan auditor Pemerintah Kota Salatiga, Jawa Tengah, Jamil, yang mengelola UPG. Ia terpilih menjadi Insan UPG 2022 yang diberikan oleh KPK karena gigih dalam membuat inovasi agar masyarakat mau melaporkan gratifikasi.
Jamil melihat banyak terjadi perputaran gratifikasi di pemerintah daerah. Namun, sejauh ini, pelaporan yang masuk ke unit yang dikelolanya baru sebatas bingkisan lebaran berupa parsel dan uang. Di luar momen lebaran tersebut, belum ada yang melaporkan.
Oleh karena itu, untuk memberikan pemahaman tentang gratifikasi dan antikorupsi, UPG Pemerintah Kota Salatiga membuat program sosialisasi melalui siaran radio lokal dengan target sasaran internal pegawai pemerintah kota dan masyarakat umum selaku pengguna layanan.
Untuk sasaran pelajar, mereka melaksanakan program Cerita dan Integritas (Cerdas) berupa penyampaian nilai-nilai integritas kepada pelajar dan warga sekolah. Sebab, satuan pendidikan menjadi awal memberikan karakter antikorupsi dengan harapan ke depan mereka menjadi pemimpin yang hebat di masa yang akan datang.
”Pendapat kami adalah di sarana pendidikan ini banyak sekali terjadi adanya gratifikasi. Sering terjadi di sekolah-sekolah itu waktu kenaikan kelas atau kelulusan kelas, orangtua berinisiatif memberikan kenangan-kenangan atau ucapan terima kasih kepada wali kelas masing-masing yang telah membimbing putra-putrinya dalam satu tahun,” kata Jamil.
Gratifikasi tersebut diberikan kepada guru pegawai negeri sipil yang tugasnya mengajar dan telah diberikan gaji. Karena itu, program Cerdas menjadi sangat penting untuk ditanamkan di sekolah SD dan SMP Negeri yang gurunya merupakan pegawai pemda.
Jamil menceritakan, mereka tidak menggunakan anggaran dari daerah dalam upaya sosialisasi gerakan antikorupsi. Mereka bekerja sama dengan dinas kominfo dan menggunakan materi yang dibuat oleh UPG. Sepanjang 2022, ada 17 pelaporan gratifikasi dari sembilan pelapor yang terdiri dari ketua DPRD, wali kota dan wakil wali kota, serta enam ASN dengan nilai sekitar Rp 19 juta.
Jumlah tersebut meningkat dari 2021 yang hanya ada sekitar 12 barang gratifikasi dan uang Rp 1 juta dari lima pelapor. Uang tersebut diberikan oleh perusahaan kepada pejabat setempat pada hari raya. Jamil berharap ke depan akan ada banyak laporan penolakan daripada penerimaan gratifikasi.
”Bukan semakin banyaknya laporan yang disampaikan ke kami, tetapi kami ingin ada penolakan yang disampaikan kepada kami. Kalau tidak ada laporan, kami curiga memang tidak ada yang memberi atau memang tidak ada yang mau melapor,” ujarnya.
Kepala Satuan Tugas Direktorat Gratifikasi KPK Sugiharto menjelaskan gratifikasi bisa dilihat dari dua sisi yakni pemberi dan penerima. Pemberian gratifikasi sering terjadi karena masyarakat Indonesia memiliki budaya dermawan. Sayangnya, kebiasaan itu dilakukan untuk layanan publik.
Ada beberapa faktor yang membuat orang memberikan gratifikasi seperti tidak percaya, tidak transparan, ada perlakuan yang tidak adil antara pelayanan yang satu dengan yang lainnya, tidak akuntabilitas, dan ada agenda tersembunyi dari pemberi. Sugiharto mengimbau masyarakat jangan menggoda penyelenggara negara dengan memberi gratifikasi karena mereka sudah dibayar oleh negara.
Begitu juga dengan penyelenggara negara agar jangan menerima gratifikasi. Jika terpaksa menerima gratifikasi yang dianggap suap, pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara wajib melaporkan kepada KPK dalam waktu 30 hari kerja.
“Itu sifatnya sukarela sebagai wujud dari integritas dia. Punya waktu 30 hari kerja untuk memilih, memilah apakah penerimaan hadiah berupa uang, barang, ataupun fasilitas itu memang menjadi miliknya,” ujarnya.
Apabila tidak lapor atau dilaporkan orang lain, lanjut Sugiharto, maka akan bergeser dari sisi pencegahan ke penindakan. Apabila yang bersangkutan menerima gratifikasi dan dilaporkan orang lain sebagai pengaduan masyarakat, maka dilakukan upaya hukum dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang berujung pada pemidanaan.
Dalam persoalan ini, UPG memiliki peran yang strategis untuk melakukan pencegahan. Ketika mendengar informasi ada penyelenggara negara di lingkungannya yang menerima gratifikasi, maka bisa mengimbau untuk melaporkan. Apabila dalam waktu 30 hari kerja tidak mau melaporkan, maka bisa dilaporkan sebagai pengaduan masyarakat.
Laporan kekayaan
KPK tidak hanya memberikan penghargaan kepada pelapor gratifikasi, tetapi juga instansi yang konsisten dalam menyampaikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) seperti PT Industri Kereta Api (PT INKA) dan Bank Jatim. Dalam hal ini, PT INKA konsisten patuh seratus persen selama tiga tahun berturut-turut. Sementara itu, di antara rendahnya kepatuhan LHKPN di lingkungan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Bank Jatim sudah patuh dan konsisten.
Director of Finance, Human Resources, and Risk Management PT INKA Andy Budiman menceritakan, PT INKA bisa patuh dalam melaporkan LHKPN karena membuat suatu sistem untuk mendata semua hal yang terkait dengan LHKPN.
“Kami memiliki peraturan direksi yang merupakan semacam adopsi dari peraturan dari KPK. Jadi, kami membuat suatu pola sebelum berakhirnya waktu yang ditentukan. Segera mengumpulkan data-data terakhir mutasi, sehingga tidak numpuk di akhir tahun atau Maret (tenggat pelaporan LHKPN),” ungkap Andy.
Setiap Januari, setiap divisi saling mengingatkan. Menurut Andy, hal itu cukup efektif karena bisa saling mengingatkan untuk segera melaporkan LHKPN. Saat ini, ada 38 wajib lapor di PT INKA. Mereka juga berkomitmen membangun kualitas pelaporan agar lebih baik.
Komitmen untuk mendukung KPK dalam pelaporan LHKPN juga diungkapkan Direktur Utama Bank Jatim Busrul Iman. Mereka membangun program penguatan tata kelola dalam prosedur standar operasi (SOP), memetakan wajib lapor, serta sosialisasi terkait integritas.
Bank Jatim juga memberikan hadiah dan sanksi dalam bentuk indikator kinerja. Menurut Busrul, cara ini membuat seluruh wajib lapor yang jumlahnya sekitar 80 orang menjadi patuh karena sebuah kebutuhan. Pola sinergis ini bisa membuat perusahaan tumbuh lebih baik dan berintegritas.
Agar laporan LHKPN berkualitas, maka dilakukan verifikasi secara administratif seperti cara pengisian, kelengkapan, termasuk bukti dokumen. Ketika sudah diverifikasi, maka laporan tersebut dikirimkan ke KPK.
“Kami melihat dari sisi kewajarannya. Kami punya data base tentang kerja yang bersangkutan. Bagaimana struktur pendatapannya, pengeluarannya, sehingga dari sisi kewajaran bisa lihat apakah paling tidak pelaporan sudah cukup merepresentasi atau tidak,” ungkap Busrul.
Direktur LHKPN KPK Isnaeni mengungkapkan, KPK selalu meminta kepada instansi untuk mewujudkan aturan internal yang memuat sanksi tegas, jika ada wajib lapor di lingkungan mereka yang tidak melaporkan LHKPN.
Jika mengacu pada UU 28/1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, sanksi yang diterapkan hanya administratif. Menurut Isnaeni, sanksi adminitratif dalam UU tersebut tidak disampaikan secara jelas. Karena itu, KPK mendorong kepada instansi untuk menerapkan sanksi yang jelas seperti pemotongan tunjangan.
“Itu menurut kami sangat efektif. Jadi, jikalau mereka tidak melaporkan, salah satu komponen dari penghasilan mereka itu dilakukan pemotongan. Itu salah satu contohnya,” tutur Isnaeni. Terkait dengan sanksi, menurutnya, perlu diatur dengan jelas minimal setingkat peraturan pemerintah.
KPK terbantu dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil yang sudah diatur secara tegas, bahwa pejabat pimpinan tinggi madya dan pratama yang tidak melaporkan harta kekayaannya, maka dikenakan hukuman disiplin berat, sedangkan pejabat administrator dan fungsional dikenakan hukuman disiplin sedang.
Untuk memastikan kebenaran data dari LHKPN tersebut, kata Isnaeni, KPK melakukan pemanggilan kepada penyelenggara negara untuk dilakukan klarifikasi. Sayangnya, belum ada ketentuan mengenai sanksi, jika mereka tidak melaporkan secara lengkap.
“Jadi, memang kalau kami temukan seperti itu (data tidak lengkap), kami sekadar hanya bisa memanggil, melakukan klarifikasi dan meminta kepada mereka untuk segera melengkapi apa yang belum mereka laporkan,” kata Isnaeni.
Menurut peneliti Transparency International Indonesia Izza Akbarani, terkait gratifikasi, hal yang perlu diketahui secara lebih mendalam ialah niat dari pemberi dan aturannya. “Jika kemudian penerima gratifikasi menerima hadiah atau sejenisnya karena jabatan yang dimilikinya, maka secara aturan dan etika, gratifikasi tersebut harus dilaporkan,” tuturnya.
Untuk menyadarkan masyarakat agar berani melawan tindakan koruptif yang dianggap sebagai hal yang biasa seperti gratifikasi, kata Izza, hal itu berkaitan erat dengan efektivitas upaya pencegahan dan penindakan. Diperlukan kolaborasi dari berbagai kalangan masyarakat sipil dan terutama keseriusan pemerintah dalam melawan tindakan koruptif tersebut.
Terkait dengan LHKPN, menurut Izza, masih ada pekerjaan rumah dalam efektivitas dan keakuratan LHKPN. Karena itu, diperlukan sanksi tegas terhadap kepatuhan dan kebenaran dari LHKPN sebagai bagian dari agenda pemberantasan korupsi.