Gratifikasi Runtuhkan Keadilan dalam Pelayanan Publik
Jika merujuk pada Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, gratifikasi tidak hanya berupa uang, tetapi juga diskon, voucer, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, hingga pengobatan cuma-cuma.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
Pemberian hadiah dalam bentuk apa pun kepada pejabat publik tidak dapat dibenarkan. Selain rentan terjebak pada praktik korupsi, pejabat tersebut juga diyakini tidak akan adil dalam memberikan pelayanan publik.
Pada pertengahan Juni 2009, jaksa dan pegawai di lingkungan Kejaksaan Negeri (Kejari) Tangerang, Banten, dikabarkan mendapat pelayanan kesehatan gratis dari Rumah Sakit Omni Internasional, Tangerang. Padahal, di waktu yang sama, Kejari Tangerang tengah menangani kasus Prita Mulyasari, yang dianggap mencemarkan nama baik RS Omni Internasional sehingga diadukan melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Dalam webinar ”Pengendalian Gratifikasi Mencabut Akar Korupsi”, Selasa (30/11/2021), Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej menyinggung kembali peristiwa tersebut sebagai contoh gratifikasi dari hal yang kecil. Saat itu, gratifikasi terlihat secara kasatmata, tetapi tak ada yang berkomentar.
”Karena pasti (pelayanan kesehatan gratis) itu berkaitan dengan jabatannya. Karena kasus (Prita) itu sedang ditangani (Kejari Tangerang). Jelas itu bertentangan atau berhubungan dengan kewajibannya dalam melaksanakan tugas sebagai pejabat publik, penyelenggara negara,” ujar pria yang akrab disapa Eddy ini.
Menurut Eddy, gratifikasi harus dilihat dalam konteks yang lebih luas di mana seseorang yang menduduki jabatan tidak boleh menerima apa pun, baik langsung maupun tidak langsung. Jika merujuk pada UU Nomor 31 Tahun 1999 yang telah disempurnakan menjadi UU No 20/2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, penjelasan pasal gratifikasi tak hanya berupa uang, tetapi juga diskon, voucer, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, hingga pengobatan cuma-cuma.
Dengan kondisi itu, pejabat publik harus berhati-hati. Apalagi, perbedaan gratifikasi dan suap terbilang tipis. Jika kedua belah pihak, antara pemberi dan penerima, sudah sepakat, itu baru dikatakan suap. Namun, jika tidak ada kesepakatan, itu adalah gratifikasi.
”Jadi, kalau suap itu, kan, ada meeting of mind. Makanya, ada pesuap aktif dan ada pesuap pasif. Namun, kalau tidak ada meeting of mind, jatuhnya ke gratifikasi,” ucap Eddy.
Tidak berkeadilan
Lebih jauh, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Nurul Ghufron menjelaskan, gratifikasi dapat melahirkan ketidakadilan dan menghambat obyektivitas. Di dalam pelayanan publik, misalnya, seseorang yang telah memberikan sesuatu kepada pejabat pasti akan mendapat ”keistimewaan” dibandingkan dengan mereka yang tidak memberikan apa pun.
”Nah, ini yang kami larang untuk adanya gratifikasi dalam aspek-apsek pelayanan publik karena akan meruntuhkan keadilan,” ujar Ghufron.
Gratifikasi ini kerap terjadi di pelayanan publik yang masih mengandalkan tatap muka. Potensi gratifikasi semakin tinggi apabila di dalam layanan itu tidak jelas kapan selesainya, berapa biayanya, dan bagaimana ketentuan serta syarat-syaratnya.
”Maka, di sektor-sektor begitu, kemudian menggugah masyarakat untuk memberi sesuatu,” kata Ghufron.
Untuk itu, Ghufron mendorong pejabat publik untuk berani melapor ke KPK jika mendapat gratifikasi. Dengan begitu, pejabat publik tersebut tidak jatuh dalam tindak pidana korupsi. Berdasarkan data KPK dari Januari 2015 hingga September 2021, KPK setidaknya telah menerima 7.709 laporan gratifikasi senilai Rp 171 miliar.
Ini yang kami larang untuk adanya gratifikasi dalam aspek-apsek pelayanan publik karena akan meruntuhkan keadilan.
Meski laporan terlihat banyak, ini tidak berarti bebas korupsi. Sebab, menurut Ghufron, gratifikasi yang dilaporkan hanya yang kecil-kecil. Sementara yang besar-besar justru tidak dilaporkan. ”Ini juga menjadi fenomena dan mudah-mudahan pelaporan gratifikasi menjadi kesadaran,” ujarnya.
Bekerja di ”akuarium”
Wali Kota Semarang, Jawa Tengah, Hendrar Prihadi mencoba menggugah kesadaran di lingkungan pemerintahannya dengan membentuk unit pengendali gratifikasi sejak 2015. Dengan begitu, kapan pun, aparatur sipil negara (ASN) yang mendapat gratifikasi bisa segera melaporkannya ke unit itu.
Bahkan, Hendrar juga telah membuat Peraturan Wali Kota Semarang No 36/2017 tentang Pedoman Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan Pemkot Semarang. Dalam aturan itu, ditegaskan kembali soal reward dan punishment bagi ASN yang kedapatan menerima gratifikasi.
Paling tidak, dari 2017 sampai sekarang, Hendrar telah memberhentikan beberapa struktur di Pemkot Semarang karena menerima gratifikasi ataupun pungutan liar (pungli) yang tidak dilaporkan. Itu meliputi lurah, kepala bidang, hingga camat. ”Justru, kami dapatkan dari laporan masyarakat,” kata Hendrar.
Untuk mencegah hal-hal semacam itu terulang kembali, di tempat-tempat pelayanan publik telah dipasang kamera pengawas. Ini bertujuan agar ASN bisa bekerja di bawah kontrol dan tidak boleh bermain-main lagi, terutama di dalam pelayanan masyarakat.
Hendrar mengingatkan, situasinya saat ini dengan dahulu sangat jauh berbeda. Di zaman kerajaan, misalnya, raja sangat lumrah mendapat upeti dari rakyat. Namun, sekarang hal itu sudah tidak diperbolehkan lagi. Aturannya sudah berubah.
”Sekarang, kami ibaratnya bekerja di akuarium. Semua orang bisa melihat apa yang kami lakukan. Kadang-kadang, kami sudah berbuat baik saja, dilaporkannya menjadi hal yang tidak baik. Apalagi kalau kami berbuat yang tidak baik, itu pasti menjadi persoalan buat teman-teman di birokrasi,” tutur Hendrar.
Inspektur Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Lasro Marbun, menyebut ada sejumlah sektor yang menjadi ladang gratifikasi dan rentan korupsi. Pertama, di sektor pendidikan, seperti menaikkan pangkat guru, mutasi kepala sekolah, pengangkatan kepala sekolah, mutasi guru, dan pendidikan guru. Kedua, di sektor transportasi di mana gratifikasi biasanya terjadi di pengurusan trayek, uji kir, perbaikan halte, dan keluar masuk terminal.
”Memang terlihat kecil, tetapi kalau kita hitung secara kumulatif, itu bisa puluhan bahkan ratusan miliar,” kata Lasro.
Perbaikan sistem
Melihat seluruh persoalan itu, menurut Ghufron, pencegahan gratifikasi ini harus dibarengi dengan perbaikan sistem tata kelola di tiap-tiap kelembagaan. Misalnya, apabila di suatu layanan publik sudah ada kepastian dari sisi waktu, biaya, ketentuan, dan syarat-syaratnya, ia meyakini budaya gratifikasi di birokrasi akan menurun.
Inspektur Jenderal Kementerian Agama (Kemenag) Deni Suardini menambahkan, perbaikan sistem tata kelola kelembagaan juga termasuk pengendalian internal pemerintah yang andal. Sebab, jika pengendalian internalnya gagal, akan terjadi pembiaran manajemen dan menganggap korupsi adalah normal.
Selain perbaikan sistem tata kelola kelembagaan, menurut Deni, upaya mencabut akar korupsi termasuk gratifikasi harus dimulai dari dua hal lain, yakni integritas ASN dan budaya kerja antikorupsi. ”Ini kunci keberhasilan mencegah korupsi. Kita harus membiasakan yang benar. Jangan membenarkan yang biasa. Jadi, mencabut akar korupsi harus ada perpaduan di antara ketiga hal tadi,” katanya.
Sementara itu, sebagai ASN, Lasro memiliki cara sendiri untuk menghindari gratifikasi. Ia selalu berpikir sederhana bahwa gratifikasi sama dengan korupsi. Ia pun bekerja atas nama rakyat, juga dibiayai oleh rakyat. Untuk itu, pemikiran yang salah jika rakyat yang malah memberikan ”uang terima kasih” kepadanya.
”Apa pun pekerjaan saya, yang patut mendapat terima kasih itu rakyat karena rakyat yang membiayai hidup saya. Itu dasar berpikirnya. Saya tidak mendapat terima kasih karena tugas saya memang melayani rakyat, itu yang saya bawa dalam tugas saya,” ujar Lasro.