Di tengah polemik dugaan manipulasi hasil verifikasi faktual parpol peserta Pemilu 2024, transparansi KPU jadi amat penting. Kepercayaan publik kepada penyelenggara dan tahapan pemilu harus dipulihkan.
Oleh
IQBAL BASYARI, NIKOLAUS HARBOWO, SUHARTONO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemilihan Umum harus bisa mengembalikan kepercayaan publik seusai menguatnya polemik dugaan manipulasi hasil verifikasi faktual partai politik calon peserta Pemilu 2024. Transparansi dalam setiap tahapan pemilu mutlak dilakukan beriringan dengan pengusutan secara tuntas dugaan tindakan manipulatif yang dilakukan oknum penyelenggara di setiap tingkatan.
Pada Minggu (11/12/2022), masyarakat sipil mengungkap temuan dugaan manipulasi data hasil verifikasi faktual partai politik calon peserta Pemilu 2024 di Sulawesi Selatan. Mereka juga mengantongi temuan serupa di beberapa daerah lain. Hal ini sebangun dengan informasi dan dokumen berita acara verifikasi faktual parpol tahap pertama yang diterima tim Kompas dari penyelenggara pemilu di sejumlah provinsi serta kabupaten dan kota (Kompas, 12/12).
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Khoirunnisa Nur Agustyati, Senin (12/12), menekankan pentingnya transparansi dalam setiap tahapan pemilu diterapkan KPU untuk mengembalikan kepercayaan publik setelah muncul dugaan manipulasi data hasil verifikasi faktual parpol. Keterbukaan data dalam pemilu bisa meningkatkan partisipasi publik sekaligus mengurangi tensi politik yang terjadi di masa pemilu.
Menurut dia, polemik ini mestinya dijadikan momentum meningkatkan keterbukaan terhadap proses pemilu, termasuk dengan membuka berita acara rekapitulasi verifikasi faktual yang diduga dimanipulasi. Jangan sampai publik terus menaruh kecurigaan ke KPU sejak tahapan awal karena bisa berdampak pada legitimasi hasil pemilu. ”Kalau tidak dibuka, publik justru semakin bertanya-tanya apakah betul polemik yang beredar ini benar terjadi. Klarifikasi dari anggota KPU saja tidak cukup,” ujarnya.
Khoirunnisa menilai, selama ini penyelenggara pemilu di periode-periode sebelumnya telah berkomitmen pada keterbukaan data dan transparansi proses penyelenggaraan pemilu. Semangat itu seharusnya ditingkatkan oleh penyelenggara pemilu periode saat ini.
Menurut dia, ada beberapa potensi pelanggaran yang diakibatkan dugaan manipulasi hasil verifikasi faktual. Pertama, sengketa proses yang disebabkan ada parpol yang tidak lolos sebagai peserta pemilu mengadukan sengketa ini. Kedua, ada potensi pelanggaran administrasi karena mengubah hasil verifikasi faktual yang awalnya belum memenuhi syarat menjadi memenuhi syarat. Terakhir, potensi pelanggaran etik jika ada potensi kecurangan yang disengaja karena penyelenggara pemilu menjadi nonpartisan.
Potensi pelanggaran itu, lanjutnya, harus diusut tuntas untuk mengembalikan kepercayaan publik kepada penyelenggara pemilu. Pengusutan diyakini tidak mengakibatkan tahapan pemilu terganggu karena tahapan masih cukup panjang.
Mantan anggota KPU, Hadar Nafis Gumay, menuturkan, dugaan manipulasi terjadi akibat ketidakterbukaan KPU dalam proses verifikasi faktual parpol. Oleh karena itu, kata dia, pembenahan internal KPU mutlak dilakukan, dimulai dengan membuka Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) ke publik sebagai bentuk transparansi untuk menunjukkan prosedur yang dilakukan KPU sesuai atau tidak dengan aturan.
Selain itu, lanjut Hadar, KPU mesti memberikan akses Sipol yang lebih luas kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), tidak sebatas fitur melihat saja. Keterbatasan akses itu membuat pengawasan kurang maksimal. Sementara di lapangan, berita acara hasil verifikasi tahap pertama juga seharusnya diberikan ke Bawaslu agar dicek ulang dan dipastikan data tidak berubah hingga ke rekapitulasi tingkat nasional.
Pos pengaduan
Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih yang terdiri dari sekitar sembilan aliansi masyarakat sipil, membuka pos pengaduan kecurangan verifikasi faktual parpol. Adapun pos pengaduan dibuka sejak Senin (11/12) hingga Minggu (18/12).
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, menuturkan, masyarakat ataupun penyelenggara pemilu di daerah yang mengetahui ada indikasi kecurangan dalam proses verifikasi faktual parpol, bisa menyampaikannya melalui surat elektronik pemilubersih@antikorupsi.org. Koalisi berkomitmen menjamin kerahasiaan pelapor yang mengirimkan bukti kecurangan.
”Nantinya, laporan dari pelapor akan kami teruskan ke pihak-pihak terkait, mulai dari penegak hukum hingga DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu),” tuturnya.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, pihaknya akan mengecek terlebih dahulu kebenaran informasi mengenai dugaan manipulasi data hasil verifikasi faktual parpol. ”Kalau betul ada, saya minta sampel bukti yang akan saya sampaikan ke Bawaslu atau DKPP, tergantung konstruksi kasusnya,” ujarnya.
Ketua Bawaslu Rahmat Bagja menuturkan, Bawaslu akan mengecek dugaan tersebut. Sebab, mereka belum menemukan ataupun mendapatkan laporan dugaan manipulasi hasil verifikasi faktual. Bawaslu juga menunggu laporan dan data dari masyarakat sipil untuk mengungkap dugaan itu. Jika ditemukan pelanggaran, Bawaslu akan memprosesnya. ”Kami akan sangat terbuka untuk menerima dan menggali informasinya,” katanya.
Ketua DKPP Heddy Lugito mengatakan, hingga saat ini belum ada aduan dugaan pelanggaran etik terkait dugaan manipulasi data hasil verifikasi faktual parpol. Pihaknya tidak bisa mengambil inisiatif memeriksa. DKPP hanya menunggu aduan masuk yang dilaporkan masyarakat kepada penyelenggara pemilu. ”Sebaiknya saya tidak berbicara persoalan ini karena masih bersifat dugaan,” ujarnya.
Terpisah, saat kembali ditanya terkait dugaan manipulasi hasil verifikasi parpol, anggota KPU RI, Idham Holik, menjawab, 10 Desember merupakan hari terakhir KPU provinsi melakukan rapat pleno rekapitulasi hasil verifikasi faktual di 34 provinsi. ”Rapat pleno berlangsung dengan lancar,” ucapnya.
Perppu Pemilu diteken
Presiden Joko Widodo, Senin (12/12), menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Pemilihan Umum. ”Ya, sudah diteken hari Senin ini. Tunggu di-upload di situs Kementerian Setneg,” ujar pejabat Sekretariat Negara saat ditemui Kompas di kantor Setneg.
Deputi Bidang Perundang-undangan dan Administrasi Hukum Kementerian Setneg Lydia Silvanna Djaman juga membenarkan hal ini. Hingga pukul 19.30, JDIH Setneg masih belum menayangkan perppu tersebut.
Dari informasi yang diterima Kompas, Presiden Jokowi menolak dan memberi pilihan baru terkait dua pasal dalam rancangan Perppu No 1/2022. Pertama, soal pemberhentian serentak anggota KPU dalam proses pemilu. ”Nanti menimbulkan masalah baru, apalagi jika memotong masa tugas anggota KPU,” ujar pejabat lainnya di istana.
Ketentuan kedua mengenai penomoran parpol peserta Pemilu 2024. ”Presiden memberi pilihan bagi partai politik peserta pemilu dalam hal nomor peserta pemilu. Untuk parpol peserta Pemilu 2019, diberikan pilihan menggunakan nomor urut peserta pemilu lama atau mengikuti undian yang dilakukan KPU bersama peserta pemilu yang baru,” tuturnya.