Asas Retroaktif dan Ketiadaan Kedaluwarsa Pelanggaran HAM Berat Tetap Berlaku
Pengaturan yang bersifat khusus terkait pelanggaran HAM tetap mengacu pada UU Pengadilan HAM. Namun, ketentuan pidananya mengacu pada KUHP baru.
Oleh
REBIYYAH SALASAH
·4 menit baca
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Mural para pejuang dan aktivis hak asasi manusia (HAM) tergambar sebagai penghormatan warga atas perjuangan mereka terlihat di kawasan Bojongsari, Depok, Jawa Barat, Selasa (23/8/2022). Presiden Joko Widodo pada Sidang Tahunan MPR, 16 Agustus lalu, menyampaikan telah menandatangani Keputusan Presiden Pembentukan Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah memastikan asas retroaktif dan prinsip tidak mengenal kedaluwarsa tetap berlaku kendati delik pelanggaran HAM berat masuk ke dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang baru disetujui untuk disahkan. Pengaturan yang lebih khusus terkait pelanggaran HAM berat tetap mengacu pada UU Pengadilan HAM.
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej, Senin (12/2022), mengatakan, penanganan HAM berat tetap menggunakan asas retroaktif atau berlaku surut. Artinya, kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu atau kasus yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM (UU Pengadilan HAM) terbit tetap dapat diproses secara hukum.
Kasus-kasus pelanggaran HAM berat juga tidak mengenal batas waktu kedaluwarsa. Hal itu sesuai dengan Pasal 46 UU Pengadilan HAM. ”Pengaturan yang bersifat khusus terkait pelanggaran HAM berat akan tetap mengacu UU Pengadilan HAM, yaitu tidak ada kedaluwarsa dan berlakunya retroaktif,” ucap Edward dalam konferensi pers yang digelar Kementerian Luar Negeri di Jakarta.
Pernyataan ini sejalan dengan Pasal 620 draf final RKUHP yang menyebutkan, ketentuan tentang tindak pidana khusus, termasuk pelanggaran HAM berat, dilaksanakan oleh penegak hukum berdasarkan tugas dan kewenangan yang diatur dalam undang-undang masing-masing. Kendati ketentuan khusus dalam UU Pengadilan HAM tetap berlaku, ketentuan pidananya tetap menggunakan KUHP. Padahal, ancaman pidana KUHP lebih ringan ketimbang UU Pengadilan HAM.
Pada Pasal 598 draf final RKUHP tentang genosida, misalnya, ancaman pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun. Sementara itu, pada Pasal 36 UU Pengadilan HAM, ancaman pidananya minimal 10 tahun dan maksimal 25 tahun.
Ancaman pidana yang lebih ringan juga ada pada Pasal 599 a draf final RKUHP tentang tindak pidana terhadap kemanusiaan. Pada pasal itu disebutkan, ancaman pidana penjara akan tergantung pada delik yang disangkakan, tetapi paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun. Padahal, pada Pasal 37 UU Pengadilan HAM, ancaman pidananya minimal 10 tahun dan maksimal 25 tahun.
Edward mengatakan, pelanggaran HAM berat yang diadopsi pengaturannya ke dalam KUHP hanya dua kejahatan inti atau core crimes, yaitu genosida dan kejahatan kemanusiaan. Tindakan kejahatan lain diatur dengan undang-undang khusus.
Adapun soal berat dan ringannya sanksi, KUHP menyesuaikannya dengan modified delphi method atau metode penentuan saksi pidana dengan mengumpulkan pendapat dari para ahli.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Suasana Rapat Paripurna DPR dengan agenda pengambilan keputusan tentang Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (5/12022). DPR mengesahkan RKUHP menjadi Undang-undang KUHP secara aklamasi. RKUHP diputuskan dibawa ke rapat paripurna setelah pada 24 November lalu Komisi III DPR menyetujui pengesahan RKUHP di tingkat I.
Vonis bebas Paniai
Terkait putusan bebas terdakwa kasus dugaan pelanggaran HAM berat Paniai, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan, kasus Paniai memang sudah diputuskan onslag atau putusan lepas. Namun, upaya yudisial dari pemerintah akan tetap dijalankan. Begitu pula dengan upaya non-yudisial. Sebab, kata Yasonna, pendekatan pemerintah tidak semata-mata lewat yudisial.
”Sejauh ini, kami serahkan ke hukum. Hukumnya atau jaksanya tidak tahu bagaimana, kami belum tahu. Namun, itulah hukumannya. Nanti kami lihat dulu. Pokoknya kasus itu sudah dibawa ke proses peradilan,” ujar Yasonna seusai acara peringatan Hari HAM Sedunia 2022 oleh Kementerian Hukum dan HAM, Senin (12/12/2022), di Jakarta.
Sebelumnya, majelis hakim Pengadilan HAM menjatuhkan vonis bebas kepada Isak Sattu dalam sidang yang berlangsung di Pengadilan Negeri Makassar, Kamis (8/12/2022). Dalam pertimbangan majelis hakim, Isak tidak terbukti melanggar Pasal 42 Ayat (1) Huruf a dan Huruf b juncto Pasal 7 Huruf b, Pasal 9 Huruf a, Pasal 37 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia Mualimin Abdi mengatakan, Kemenkumham menghargai keputusan persidangan itu. Sebab, kata Mualimin, kesaksian dan pembuktian dalam persidangan pelanggaran HAM berat tidaklah mudah. Walakin, dengan putusan onslag, peristiwa pelanggaran HAM beratnya diakui, begitu juga dengan korban dan korban terdampak.
Dengan demikian, Mualimin menambahkan, pemerintah melalui Tim Pelaksana Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM (PPHAM) nantinya dapat masuk ke jalur non-yudisial untuk penyelesaian kasus Paniai. ”Maka, pemerintah tetap dalam posisi penyelesaian non-yudisial sambil menunggu pembentukan kembali Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi,” ujarnya.
Indonesia sebenarnya pernah mengesahkan UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Regulasi itu menjadi acuan untuk penyelesaian tragedi pelanggaran HAM berat. Namun, pada 2006, UU itu dicabut oleh Mahkamah Konstitusi.