RKUHP Disahkan di Tengah Keberatan Berbagai Elemen Masyarakat
Pengesahan RKUHP di Rapat Paripurna DPR diwarnai ”walk out” oleh Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, serta catatan dari Fraksi Partai Demokrat. Sejumlah elemen masyarakat juga menolak pengesahan RKUHP ini.
Oleh
REBIYYAH SALASAH
·5 menit baca
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Suasana Rapat Paripurna DPR dengan agenda pengambilan keputusan tentang Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (5/12022). DPR mengesahkan RKUHP menjadi Undang-undang KUHP secara aklamasi. RKUHP diputuskan dibawa ke rapat paripurna setelah pada 24 November lalu Komisi III DPR menyetujui pengesahan RKUHP di tingkat I.
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana menjadi undang-undang kendati sejumlah pihak masih menyuarakan keberatan. Kehadiran UU ini diharapkan dapat mereformasi hukum pidana nasional agar sesuai dengan perkembangan zaman.
RKUHP disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna DPR yang dipimpin Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad, Selasa (6/12/2022), di Kompleks Parlemen, Jakarta. Pengesahan disetujui setelah mendengarkan laporan pembahasan RUU yang disampaikan Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto dan pandangan akhir pemerintah oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly.
Bambang Wuryanto dalam laporannya menjelaskan, RKUHP sudah dibahas pemerintah dan Komisi III DPR secara terbuka dan penuh kehati-hatian. Kedua lembaga membahas isu-isu krusial yang berkembang di masyarakat, seperti hukum yang hidup dalam masyarakat (living law), penerapan pidana mati, tindak pidana terhadap pemerintah dan kekuasaan pemerintah, perintangan peradilan, serta tindak pidana kesusilaan.
Beberapa isu itu, kata Bambang, telah ditindaklanjuti oleh DPR dan pemerintah berupa penyesuaian secara subtansial dan redaksional. Ada pula penambahan penjelasan dan bahkan penghapusan pasal agar sesuai peraturan perundang-undangan dan kepentingan masyarakat.
”Kami telah mengakomodasi masukan masyarakat agar tidak menyebabkan kriminalisasi berlebihan dan tindakan sewenang-wenang penegak hukum. Misalnya, pasal penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden, perintangan peradilan, pidana mati, serta kesusilaan dapat diambil jalan tengah,” ujarnya.
Suasana Rapat Paripurna DPR dengan agenda pengambilan keputusan tentang Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (5/12022).
Bambang menambahkan, pengesahan RKUHP diharapkan dapat mereformasi hukum pidana nasional agar sesuai perkembangan zaman. Dengan modernisasi hukum pidana nasional, paradigma pemidanaan tidak lagi sekadar pemberian efek jera dan pembalasan, tetapi juga memberikan rasa keadilan yang memulihkan.
Adapun Yasonna H Laoly mengatakan, pembahasan RKUHP telah melewati perjalanan panjang sejak periode pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2012. Kemudian dilanjutkan oleh Presiden Jokowi pada tahun 2015. Dengan demikian, RKUHP telah melewati perdebatan yang juga panjang. Untuk itu, kata Yasonna, sudah saatnya bagi DPR mengambil keputusan atas RKUHP untuk mengesahkannya. Tujuannya agar Indonesia meninggalkan hukum pidana warisan kolonial.
Selain itu, pengesahan RKUHP juga diharapkan dapat menjadi peletak dasar bangunan sistem hukum pidana nasional sebagai perwujudan keinginan dekolonisasi KUHP warisan kolonial Belanda.
Yasonna menyampaikan, terdapat beberapa hal penting yang menunjukkan perkembangan dalam RKUHP, misalnya perluasan jenis pidana pokok baru menjadi tidak hanya pidana penjara dan denda, tetapi juga pengawasan dan kerja sosial.
Selain itu, RKUHP juga mengeluarkan pidana mati sebagai pidana pokok dan memasukkannya sebagai pidana bersifat khusus. Berdasarkan Pasal 100 RKUHP, Pidana mati selalu diancamkan sebagai alternatif dan dijatuhkan dengan masa percobaan.
Dinamika rapat
Mayoritas fraksi menyetujui RKUHP disahkan. Hanya Fraksi PKS yang memutuskan keluar (walk out) sebelum menyampaikan kesimpulannya. Namun, pada pembahasan tingkat I, Fraksi PKS setuju dengan catatan.
Adapun sebelum memutuskan keluar, anggota DPR dari Fraksi PKS, Iskan Qolba Lubis, melakukan upaya interupsi. Ia menyampaikan keberatan terhadap muatan RKUHP, yaitu Pasal 240 RKUHP tentang penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga negara. Selain itu, Pasal 218 tentang penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan atau wakil presiden. Menurut dia, kedua pasal itu karet dan menunjukkan kemunduran dari cita-cita reformasi.
”Pasal-pasal ini akan mengambil hak-hak masyarakat dalam menyampaikan pendapatnya karena nantinya akan dipakai oleh pemimpin-pemimpin untuk memidanakan orang. Saya akan mengajukan ke Mahkamah Konstitusi soal dua pasal ini,” ujar Iskan.
Karena pernyataannya kemudian dipotong oleh Daco, Iskan memutuskan keluar dari rapat.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera DPR, Iskan Qolba Lubis, melakukan aksi walk out saat Rapat Paripurna DPR dengan agenda pengambilan keputusan tentang Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (5/12022).
Dasco mengatakan, ia telah memberi kesempatan Fraksi PKS untuk menyampaikan catatan. Namun, anggota fraksi tersebut bukan menyampaikan catatan, melainkan permintaan pencabutan pasal. Menurut dia, Fraksi PKS tidak bisa meminta mencabut usul yang sudah disetujui fraksi tersebut pada pembahasan tingkat I.
”Kita semua tahu Fraksi PKS sepakat dengan catatan. Saya sudah memberikan kesempatan untuk menyampaikan catatannya. Namun, Fraksi PKS malah ini bukan catatan, melainkan permintaan pencabutan, yang menyampaikan pun bukan ketua fraksi,” ujar Dasco.
Partai Demokrat juga menyampaikan catatan terkait RKUHP. Anggota Fraksi Partai Demokrat, Santoso, mengatakan, pemerintah harus mampu menjamin hak-hak masyarakat tetap terjamin dalam implementasi KUHP. Pemerintah perlu memastikan pembaruan hukum pidana ini tidak mengkriminalisasi masyarakat dalam implementasinya. Untuk itu, perlu pemahaman yang benar dari aparat penegak hukum.
”Selain itu, pemerintah perlu menyadari keresahan di masyarakat terkait pasal-pasal tertentu. Maka dari itu, perlu ada koridor dan batasan terhadap pasal yang dianggap bermasalah agar tidak ada penyalahgunaan hukum dalam implementasinya. Perlindungan hak menjadi pekerjaan rumah utama yang harus diprioritaskan setelah pengesahan,” ujar Santoso.
Muatan RKUHP
Sejumlah pihak keberatan dengan pengesahan RKUHP lantaran memuat pasal-pasal yang dinilai problematik. Aliansi Jurnalis Independen (AJI), misalnya, keberatan dengan 17 pasal bermasalah karena berpotensi mengkriminalisasi jurnalis dan mengancam kebebasan pers, kemerdekaan berpendapat dan berekspresi.
Beberapa pasal tersebut, antara lain, Pasal 188 tentang penyebaran komunisme/marxisme-leninisme dan paham lain yang bertentangan dengan Pancasila, Pasal 218, Pasal 219, dan Pasal 220 yang mengatur tindak pidana penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden. Selanjutnya, Pasal 240 dan Pasal 241 yang mengatur tindak pidana penghinaan terhadap Pemerintah. Lalu, Pasal 263 yang mengatur tindak pidana penyiaran atau penyebarluasan berita atau pemberitahuan bohong. penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara.
Selain itu, AJI menilai pembahasan RKUHP tidak transparan dan tidak memberikan ruang kepada publik untuk dapat berpartisipasi secara bermakna. Pemerintah dan DPR belum pernah menjelaskan pertimbangan-pertimbangan yang diambil terkait masukan-masukan dari publik, termasuk komunitas pers.
Anggota Dewan Pers, Ninik Rahayu, mengatakan, pengesahan RKUHP oleh DPR merupakan ancaman bagi kemerdekaan pers karena banyaknya pasal yang bermasalah. Menurut dia, pengaturan pidana Pers dalam RKUHP mencederai regulasi yang sudah diatur dalam UU No 40/1999 tentang Pers.
”Dewan Pers telah menyampaikan kepada Presiden bahwa RKUHP masih bermuatan membatasi kemerdekaan pers dan berpotensi mengkriminalisasi karya jurnalistik. Kemerdekaan pers dan berpendapat seharusnya tecermin dalam RKUHP yang baru karena kemerdekaan pers menjadi unsur penting menciptakan kehidupan bermasyarakat yang demokratis,” kata Ninik.
Sehari sebelum pengesahan RKUHP, Senin (5/12/2022), massa dari berbagai elemen, seperti organisasi masyarakat sipil, mahasiswa, dan buruh, berunjuk rasa menolak pengesahan RUU tersebut. Penolakan didasarkan pada masih adanya pasal-pasal bermasalah dalam RKUHP, seperti hukum yang hidup dalam masyarakat.
Jihan Faatihah dari Perempuan Mahardhika menuturkan, aturan yang tercantum pada Pasal 2 KUHP itu sangat merugikan bagi perempuan. Sebab, dinilai bisa mencederai hak dan kebebasan perempuan (Kompas.id, 5/12/2022).
Massa tersebut berencana kembali menggelar unjuk rasa pada Selasa (6/12/2022) mulai pukul 13.00 di depan Gedung DPR.