Sidang kasus dugaan pelanggaran HAM berat Paniai akhirnya tuntas saat majelis hakim membacakan putusan. Terdakwa tunggal Isak Sattu dibebaskan karena dianggap tidak terbukti melakukan pelanggaran HAM.
Oleh
RENY SRI AYU ARMAN
·3 menit baca
MAKASSAR, KOMPAS — Majelis hakim Pengadilan Hak Asasi Manusia menjatuhkan vonis bebas kepada Isak Sattu, Mayor Infanteri (Purn), terdakwa tunggal kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia dalam kasus kekerasan di Paniai, Papua. Putusan ini disambut isak tangis Isak yang sejak awal mengaku hanya kebetulan berada di Markas Koramil Enarotali saat peristiwa demonstrasi warga yang berujung ricuh dan menyebabkan empat orang tewas itu terjadi.
Sidang pembacaan putusan berlangsung kurang dari tiga jam. Pengamanan ketat mewarnai jalannya sidang yang berlangsung di Pengadilan Negeri Makassar, Kamis (8/12/2022). Majelis hakim diketuai Sutisna Sawati.
”Mengadili, menyatakan terdakwa Isak Sattu tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagaimana di dakwaan. Membebaskan terdakwa dari semua dakwaan kesatu maupun kedua sebagaimana dakwaan oleh penuntut umum. Mengembalikan harkat dan kehormatan terdakwa,” kata Sutisna.
Sebelumnya dalam sidang tuntutan, jaksa menuntut Isak dengan hukuman 10 tahun penjara. Jaksa menyebut Isak melakukan tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia berat berupa kejahatan terhadap kemanusiaan, melanggar dakwaan ke-1 Pasal 42 Ayat (1) Huruf a dan Huruf b, juncto Pasal 7 Huruf b, Pasal 9 Huruf a, Pasal 37 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim mengatakan, berdasarkan pemeriksaan sejumlah saksi, termasuk saksi ahli, bukti-bukti, dan fakta-fakta persidangan, Isak tidak terbukti melanggar pasal-pasal yang dikenakan. Sebagai perwira penghubung, secara struktural Isak tidak bertanggung jawab pada pasukan di Markas Koramil. Walau saat itu memiliki pangkat tertinggi, dia tak diberi mandat atau wewenang untuk menggantikan atau mengambil alih tugas Danramil yang saat peristiwa berlangsung sedang tidak berada di tempat.
Fakta lain adalah hasil uji senjata api yang menunjukkan tidak ada kesesuaian. Sementara pemeriksaan atau otopsi terhadap korban meninggal juga tidak dilakukan, termasuk uji balistik pada peluru yang mengenai korban tewas.
Kasus Paniai adalah peristiwa di mana pasukan TNI menembak warga dan menyebabkan 4 orang meninggal dan 10 lainnya luka-luka.
Kasus Paniai adalah peristiwa di mana pasukan TNI menembak warga dan menyebabkan 4 orang meninggal dan 10 lainnya luka-luka. Kasus yang terjadi pada 8 Desember 2014 ini membutuhkan waktu cukup panjang untuk dinyatakan sebagai pelanggaran hak asasi manusia berat.
Penembakan terjadi di tengah aksi unjuk rasa warga di Koramil 1705-02 Enarotali yang memprotes pemukulan yang dilakukan oleh sejumlah oknum TNI. Pemukulan itu adalah dampak cekcok mulut saat seorang anggota TNI nyaris menabrak sekelompok pemuda yang sedang meminta sumbangan di jalan untuk acara Natal.
Isak yang mengaku saat kejadian kebetulan berada di Markas Koramil Paniai akhirnya didudukkan menjadi terdakwa tunggal. Alasannya berdasarkan dakwaan jaksa, saat peristiwa tersebut, Isak adalah satu-satunya perwira dan senior di Koramil. Saat peristiwa tersebut, Danramil sedang tidak berada di tempat.
Menanggapi vonis bebas ini, Isak mengatakan bersyukur karena majelis hakim mengambil keputusan yang menurut dia tepat. Dia juga menghargai jaksa yang telah melakukan tugasnya dengan baik.
”Puji Tuhan, saya bersyukur dengan vonis ini. Terima kasih kepada tim penasihat hukum saya. Juga kepada hakim yang membebaskan saya dari tuduhan maupun tuntutan. Kiranya ke depan tidak terjadi lagi kasus seperti ini. Sejak awal saya juga sudah berusaha menjadi warga negara yang taat hukum dengan mengikuti semua proses. Tidak sekali pun saya tidak menghadiri pemeriksaan maupun persidangan,” katanya.