Komnas HAM Rekomendasikan Pelanggaran HAM Berat Diselesaikan secara Yudisial
Komnas HAM merekomendasikan pemerintah agar memperkuat dukungan terhadap proses penyelesaian pelanggaran HAM berat melalui mekanisme yudisial. Hal itu bertujuan untuk mewujudkan keadilan dan pemulihan bagi korban.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia melihat penegakan hukum terhadap pelanggaran HAM berat di Indonesia masih lemah, salah satunya pada kasus Paniai di Papua pada 2014. Komnas HAM merekomendasikan pemerintah agar memperkuat dukungan terhadap proses penyelesaian pelanggaran HAM berat melalui mekanisme yudisial agar pengadilan dapat berjalan untuk mewujudkan keadilan dan pemulihan bagi korban.
Putusan bebas terhadap Mayor Infanteri (Purn) Isak Sattu, terdakwa kasus pelanggaran HAM berat kasus Paniai, pada 8 Desember lalu, menjadi peristiwa kelabu bagi penegakan hak asasi manusia di Indonesia. Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM Abdul Haris Semendawai mengatakan, putusan bebas tersebut telah memupus harapan dan kepercayaan publik, secara khusus korban terhadap penyelesaian pelanggaran HAM berat melalui pengadilan HAM.
”Pengadilan HAM terkesan menjadi kuburan harapan untuk mendapat keadilan dan pemulihan bagi korban pelanggaran HAM yang berat,” kata Haris dalam Refleksi Penegakan dan Pemajuan HAM di Indonesia Tahun 2022 di Jakarta, Sabtu (10/12/2022).
Pada kesempatan itu, seluruh komisioner Komnas HAM hadir dalam kegiatan ini.
Haris menegaskan, Komnas HAM mendesak Jaksa Agung segera melakukan upaya hukum kasasi dan mengajukan mereka yang memiliki tanggung jawab komando serta pelaku lapangan dalam peristiwa pelanggaran HAM berat di Paniai tersebut segera dituntut ke pengadilan.
Komnas HAM juga memberikan perhatian pada kasus pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib. Haris menegaskan, penyelidikan kasus ini masih berjalan. Komnas HAM telah membentuk tim ad hoc penyelidikan kasus pembunuhan aktivis Munir pada Agustus 2022.
Mereka berkomitmen untuk segera melanjutkan pekerjaan tim ad hoc yang sudah disusun agar dapat segera menyelesaikan tugasnya. Dalam waktu dekat, Komnas HAM akan memperbarui personel tim penyelidik melalui Rapat Paripurna Komnas HAM sehingga anggota Komnas HAM yang baru dapat terlibat secara langsung dalam tim tersebut.
”Jadi ini masih kasus yang masih belum berhenti. Tim ini masih bekerja. Hanya saja karena dalam tim tersebut terdapat komisioner lama. Nama-nama komisioner lama yang tentu ini akan digantikan oleh komisioner yang baru sesuai dengan tanggung jawab kami. Sebagai komisioner baru, tentunya kami juga harus terlibat dalam proses penyelidikan tersebut. Kita bisa berkejaran dengan waktu untuk segera menyelesaikan penyelidikan kasus pelanggaran HAM Munir ini,” kata Haris.
Komnas HAM juga memberikan perhatian pada kasus pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib.
Di tengah terjadinya stagnasi dalam penegakan hukum kasus pelanggaran HAM, Presiden Joko Widodo telah membentuk Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (TPPHAM) melalui Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022.
Haris mengatakan, Komnas HAM telah menyatakan kesediaan untuk membantu TPPHAM, sepanjang tidak menutup peluang penyelesaian pelanggaran HAM berat melalui mekanisme yudisial, tidak melanggar mekanisme pro-justitia, serta memastikan jaminan kerahasiaan dan keamanan para korban pelanggaran HAM berat.
Atas catatan tersebut, Komnas HAM merekomendasikan pemerintah agar memperkuat dukungan terhadap proses penyelesaian pelanggaran HAM berat melalui mekanisme yudisial berdasarkan hasil penyelidikan Komnas HAM dengan memperhatikan berbagai aspek agar pengadilan dapat berjalan untuk mewujudkan keadilan dan pemulihan bagi korban.
Haris berharap, Kejaksaan Agung bekerja sama dengan Komnas HAM menindaklanjuti hasil penyelidikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang telah dilakukan oleh Komnas HAM. TPPHAM Non-Yudisial diharapkan melaksanakan tugasnya untuk mengungkap kasus-kasus pelanggaran HAM berat serta merekomendasikan pemulihan yang konkret dan bermartabat bagi korban pelanggaran HAM berat.
Kepala Humas Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Jeirry Sumampow mengatakan, putusan bebas dalam kasus Paniai telah mengabaikan hak dan rasa keadilan keluarga korban yang sudah menanti sangat lama suatu putusan yang memiliki nilai keberpihakan terhadap korban atau keluarga korban dari kasus ini.
”PGI mendukung dilakukannya penyelidikan dan penyidikan ulang atas kasus ini oleh Komnas HAM, kejaksaan, dan kepolisian untuk mencegah impunitas terhadap para pelaku yang belum tersentuh proses hukum. PGI akan selalu mendukung semua proses hukum yang adil dan bermartabat atas kejahatan kemanusiaan yang terjadi di dalam kasus Paniai ini,” kata Jeirry.
Kasus Munir
Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani mendorong agar komisioner Komnas HAM melanjutkan keputusan paripurna komisioner sebelumnya untuk melanjutkan penuntasan kasus Munir sehingga memenuhi kualifikasi pelanggaran HAM berat sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Mendorong agar komisioner Komnas HAM melanjutkan keputusan paripurna komisioner sebelumnya untuk melanjutkan penuntasan kasus Munir.
Menurut Ismail, pembunuhan terhadap aktivis HAM Munir menjadi kasus paling dekat dan terjadi setelah UU HAM diundangkan, yakni pada 2004. Karena itu, kasus ini menjadi indikator kinerja bagi komisioner Komnas HAM apakah menjalankan mandat undang-undang atau tidak.
”Artinya, dia sebenarnya tidak memerlukan mekanisme politik sebagaimana kasus-kasus pelanggaran masa lalu sebelum ada undang-undang. Artinya, Komnas HAM bisa sangat cepat melakukan proses penyelidikan dan menyimpulkan bahwa di situ ada pelanggaran HAM berat,” kata Ismail.
Ia juga berharap, Komnas HAM mengintervensi TPPHAM. Sebab, tim tersebut didesain untuk memutihkan seluruh pelanggaran HAM berat masa lalu karena menghasilkan suatu produk yang tidak menegasikan proses pro-justitia untuk meneruskan pengusutan kasus.
”Secara poltiik kan hampir kehilangan daya dukung karena pemerintah sudah mengambil langkah politik dan langkah politik yang diambil oleh pemerintah adalah jalur non-yudisial yang output-nya nanti kompensasi, rehabilitasi,” kata Ismail.
Menurut Ismail, jika hanya membagi-bagi kompensasi, tetapi faktanya tidak pernah diungkap, pelakunya tidak akan pernah diketahui. Ia mendorong agar pengungkapkan kebenaran terlebih dahulu dilakukan. Setelah itu, baru diketahui mana yang bisa ditindaklanjuti secara yudisial atau tidak. Sebab, publik menuntut hak atas kebenaran.
Pembudayaan nilai HAM
Dalam rangka peringatan Hari HAM Internasional 2022, Komnas HAM bersama dengan Yayasan Umar Kayam serta Kemitraan menggelar Pojok Kebudayaan dan kemanusiaan di Jakarta Pusat pada Jumat (9/12/2022) dengan menampilkan Teater Syahid UIN Jakarta, komika Dani Aditya, musisi Nugie, tari Cokek Cina Benteng, Kelompok Musik Semenjana, dan pembacaaan Deklarasi Ruang Aman Berekspresi oleh Koalisi Seni Indonesia.
Menurut Program Manager Yayasan Umar Kayam Budhi Hermanto, peringatan Hari HAM Sedunia 2022 dapat menjadi momentum untuk mulai melakukan pembudayaan nilai-nilai hak asasi manusia. Pembudayaan nilai-nilai HAM sebaiknya tidak melulu dilakukan dengan seminar, pelatihan, ataupun pidato. Banyak media yang dapat dimanfaatkan agar HAM membumi dan lebih dipahami oleh publik secara luas.
”Penyebarluasan wawasan hak asasi manusia dan peningkatan kesadaran masyarakat tentang HAM itu sendiri semestinya bisa sejalan dengan upaya pemajuan kebudayaan di Indonesia. Melalui kebudayaan HAM menjadi lebih mudah dipahami oleh publik secara luas,” Ujar Budhi.
Direktur Eksekutif Kemitraan Partnership for Governance Reform Laode M Syarif mengatakan, kebudayaan dan HAM layaknya dua sisi mata uang. Dari sisi kebudayaan, hak asasi manusia dilihat sebagai bagian pengembangan diri dan pribadi manusia seutuhnya yang dijamin oleh negara. Sementara di sisi lain, kebudayaan mengadopsi nilai-nilai hak asasi manusia yang bertujuan untuk mendiseminasikan nilai-nilai kemanusiaan tersebut melalui pelestarian budaya.