Pemerintah menilai keputusan DPR menyetujui pengesahan RKUHP sebagai langkah nyata reformasi hukum pidana Indonesia. Keberatan atas sejumlah norma bisa diuji di Mahkamah Konstitusi.
Oleh
Tim Kompas
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Hukum pidana akan memasuki era baru setelah Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RKUHP disetujui disahkan menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna DPR, Selasa (6/12/2022). Dalam waktu tiga tahun sebelum KUHP berlaku, sosialisasi dan pelatihan akan diberikan kepada semua aparat penegak hukum agar penerapannya tepat. Mereka yang keberatan dipersilakan pula mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
Persetujuan pengesahan RKUHP diwarnai keluarnya (walk out) anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Iskan Qolba Lubis, dari ruang rapat paripurna di Gedung DPR, Jakarta, sebelum keputusan diambil DPR. Aksi itu dilakukan setelah interupsinya tidak diterima pemimpin rapat Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad.
Interupsi Iskan berisi keberatan atas Pasal 218 RKUHP yang mengatur penyerangan kehormatan presiden/wakil presiden dan Pasal 240 RKUHP tentang penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga negara. ”Saya akan mengajukan ke MK soal dua pasal ini,” ujar Iskan.
Dasco mengatakan, dirinya telah memberi kesempatan Fraksi PKS untuk menyampaikan catatannya terkait RKUHP. Namun, yang disampaikan anggota DPR dari PKS itu justru meminta pencabutan pasal. Menurut dia, hal itu tak bisa dipenuhi karena RKUHP sudah disetujui disahkan semua fraksi, termasuk PKS, dalam pembahasan tingkat I antara Komisi III DPR dan pemerintah.
Selain Fraksi PKS, dalam pembahasan tingkat I, Fraksi Partai Demokrat juga memberikan catatan. Catatan ini kembali disampaikan dalam rapat paripurna oleh anggota DPR dari Fraksi Demokrat, Santoso. Menurut dia, pemerintah harus memastikan KUHP baru tak akan mengkriminalisasi masyarakat. Untuk itu, perlu pemahaman yang benar dari penegak hukum.
Total 624 pasal
RKUHP yang disetujui disahkan itu terdiri atas 624 pasal. KUHP yang kini berlaku, yang merupakan warisan kolonial Belanda, berjumlah 569 pasal. Mengacu Pasal 624 RKUHP, undang-undang baru yang pembahasannya sudah diinisiasi sejak 1963 tersebut baru berlaku setelah tiga tahun sejak RKUHP diundangkan.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly saat menyampaikan pendapat akhir pemerintah dalam rapat paripurna mengatakan, penyusunan RKUHP telah melalui proses panjang, termasuk di dalamnya sosialisasi yang intens kepada publik dan menyerap aspirasi publik.
Ia juga menyampaikan sejumlah hal penting dalam RKUHP, seperti perluasan jenis pidana pokok menjadi bukan hanya pidana penjara dan denda, melainkan juga pengawasan dan kerja sosial. Pidana mati akan selalu diancamkan secara alternatif dan dijatuhkan dengan masa percobaan.
Saat ditemui di Kompleks Istana Kepresidenan, Yasonna mengatakan, pemerintah menghormati perbedaan pendapat yang masih ada terkait RKUHP dan mempersilakan jika ada yang mengajukan uji materi ke MK.
”Masukan itu banyak yang diakomodasi. Bahwa ada yang akhirnya beda persepsi, ya, enggak mungkinlah kita semua bisa menyetujui 100 persen. Belum ada undang-undang yang seperti itu,” ujar Yasonna.
Deputi V Kepala Staf Kepresidenan Jaleswari Pramodhawardani menekankan bahwa pengesahan RKUHP menjadi langkah nyata reformasi hukum pidana. KUHP baru akan menyempurnakan tata regulasi hukum pidana serta mencegah disparitas pidana antara satu ketentuan dan lainnya.
Tenaga ahli pemerintah, Prof Harkristuti Harkrisnowo, menyampaikan, waktu tiga tahun sebelum KUHP baru berlaku akan dimanfaatkan tim tenaga ahli beserta pemerintah untuk menyosialisasikannya kepada publik. Selain itu, akan dimanfaatkan pula untuk melatih aparat penegak hukum agar memahami makna, esensi, dan filosofi RKUHP.
Menurut Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Hibnu Nugroho, hanya sekitar 25 persen ketentuan yang benar-benar baru dalam RKUHP. Ia menilai materi di dalamnya telah disesuaikan dengan spirit bangsa yang berdasarkan Pancasila.
Terkait pemidanaan, ia melihat RKUHP tak lagi menganut prinsip keadilan distributif atau pidana untuk membalas dendam, tetapi keadilan restoratif yang berpihak kepada korban. Jadi, jenis-jenis pemidanaan tidak lagi terfokus pada pidana penjara, tetapi ada alternatif pidana lain, seperti pidana kerja sosial.
Adapun menyangkut pasal penghinaan, baik terhadap presiden/wapres maupun pemerintahan, Hibnu tidak melihatnya sebagai sebuah pasal yang lebih kolonial dibandingkan dengan KUHP yang saat ini berlaku. Sebab, delik penghinaan merupakan delik aduan, bukan delik umum. Penghinaan hanya bisa diproses jika ada pengaduan dari presiden atau pimpinan lembaga negara.
Sebaliknya, Ketua Dewan Pengurus Public Virtue Usman Hamid mengkritik sejumlah substansi dalam RKUHP yang justru membuat produk yang dihasilkan tidak sesuai dengan semangat dekolonialisasi dan demokratisasi hukum pidana di Indonesia. Pasal yang mengatur soal penghinaan presiden, pasal makar, dan pasal penodaan agama adalah di antaranya.
”Yang terjadi justru rekolonialisasi dan de-demokratisasi. Jadi, semacam kemunduran, melepaskan prinsip-prinsip demokrasi dan antikolonialisme serta antiotoritarianisme di dalam undang-undang ini,” katanya.
Pasal penghinaan, menurut Usman, di masa Orde Baru atau otoritarianisme, digunakan untuk membungkam suara kritis dengan dalih menghina kekuasaan. Pasal makar penerapannya pun selama ini bermasalah dan telah menimbulkan jatuhnya korban. Pasal makar pernah diberlakukan terhadap orang-orang yang membawa bendera bintang kejora yang merupakan simbol kultural Papua. (ANA/INA/CAS/Z06/COK)