Menggugat Semangat Dekolonisasi di RKUHP
Meski sudah disempurnakan, RKUHP dinilai masih memuat sejumlah pasal yang mengancam ruang kebebasan sipil. Semangat dekolonisasi yang melatarbelakangi disusunnya RKUHP pun dipertanyakan.
Semangat dekolonisasi atau menghilangkan nuansa kolonial dalam substansi Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RKUHP dipertanyakan. Pasalnya, sejumlah pasal yang justru warisan kolonial di KUHP yang kini berlaku dinilai dipertahankan di RKUHP. Meski pemerintah bersama DPR telah memperbarui bunyi pasal tersebut, bahkan menyertakan penjelasan, keberadaan pasal tetap dianggap tak mencerminkan semangat dekolonisasi. Demokrasi, terutama kebebasan berpendapat, dikhawatirkan terdampak.
Draf RKUHP telah diserahkan pemerintah kepada DPR. RKUHP tersebut urung disahkan di Masa Persidangan V Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang berakhir pada 7 Juli lalu. Baik pemerintah maupun DPR menyatakan masih membuka ruang untuk membahas kembali, tetapi hanya untuk 14 isu krusial.
Atas draf tersebut, muncul reaksi dari sejumlah elemen masyarakat sipil dan publik. Di media sosial, tagar #semuabisakena dan #rkuhp_antidemokrasi terus dikumandangkan. Tagar itu merujuk pada masih adanya pasal-pasal yang dinilai mengancam kebebasan sipil dalam berekspresi dan menyatakan pendapat. Ancamannya pun pidana penjara.
Pasal yang sering disebut akan membatasi kebebasan sipil adalah Pasal 218 RKUHP mengenai penyerangan kehormatan terhadap martabat presiden dan wakil presiden. Ancaman penjaranya paling lama 3 tahun 6 bulan. Namun, masih di pasal tersebut, terdapat pengecualian bahwa tindakan seseorang tidak tergolong sebagai penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden dan wapres jika dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Baca juga: RKUHP Jangan Sampai Tumpang Tindih dengan UU Sektoral
Pada bagian penjelasan pasal itu, tindakan yang dilakukan untuk kepentingan umum misalnya berupa kritik atau pendapat yang berbeda bukan merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat diri. Namun, kritik yang didefinisikan sebagai pendapat terhadap kebijakan presiden dan wapres mesti disertai dengan uraian dan pertimbangan baik dan buruk kebijakan tersebut. Selain itu, kritik mesti bersifat konstruktif dan sedapat mungkin memberikan suatu alternatif ataupun solusi dan dilakukan dengan cara yang obyektif.
Pasal tersebut termasuk di dalam 14 isu krusial di RKUHP yang belakangan diminta Presiden Joko Widodo untuk dijelaskan ke publik sekaligus menyerap usulan publik. Namun, di luar 14 isu krusial itu, ada pula pasal-pasal lain yang kerap disebut berpotensi membatasi kebebasan sipil.
Salah satunya, Pasal 240 RKUHP yang mengatur tentang penghinaan terhadap pemerintah. Ketentuan tersebut mengatur bahwa orang yang menghina pemerintah yang sah yang berakibat terjadinya kerusuhan diancam pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan.
Kemudian Pasal 256 RKUHP tentang penyelenggaraan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi. Pada pasal tersebut, setiap orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa atau demonstrasi di jalanan umum atau di tempat umum yang menyebabkan terganggunya ketertiban umum dipidana dengan penjara paling lama 6 bulan.
Baca juga: Soal RKUHP, Presiden Minta Agar Didiskusikan Kembali dengan Masyarakat
Selain itu, Pasal 351 RKUHP tentang tindak pidana terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara. Dalam pasal itu, setiap orang yang menghina kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana dengan ancaman penjara paling lama 1 tahun 6 bulan. Jika penghinaan itu mengakibatkan kerusuhan, ancaman pidana paling lama menjadi 3 tahun 6 bulan. Pada bagian penjelasan pasal ini yang dimaksud dengan kekuasaan umum dan lembaga negara ialah Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Kepolisian Negara RI, Kejaksaan RI, atau pemerintah daerah. Ketentuan tersebut dimaksudkan agar kekuasaan umum dan lembaga negara dihormati.
Rekolonialisasi
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur, ketika dihubungi pada hari Jumat (8/7/2022), mengatakan, pasal-pasal tersebut biasa digunakan untuk membungkam masyarakat atau membungkam suara kritis. Padahal, salah satu pasal, yakni pasal tentang penghinaan terhadap presiden, sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena dinilai bertentangan dengan semangat kebebasan berekspresi dan mengancam demokrasi.
”Ketika pasal semacam itu masih ada, RKUHP justru tidak mencerminkan demokratisasi, tetapi menegaskan bahwa pemerintah itu antikritik, anti-kebebasan berekspresi,” kata Isnur.
Terlebih, dimuatnya definisi mengenai kritik beserta prasyaratnya semakin membatasi ruang kritik masyarakat. Padahal, bahasa kritik yang disampaikan masyarakat bisa berbeda antara satu dan yang lain. Masyarakat yang seharusnya dilindungi hak-haknya oleh pemerintah, melalui pasal ini, justru memperlihatkan pemerintah dan penguasa yang harus dilindungi.
Menurut Isnur, pasal semacam itu biasanya hanya ada di rezim otoriter. Alih-alih menghilangkan pasal tersebut, Isnur menilai pembuat undang-undang, yakni pemerintah dan DPR, justru sengaja melakukan pembungkaman terhadap suara kritis masyarakat.
Pengajar Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Herlambang P Wiratraman, berpandangan, semangat dekolonialisasi yang diusung dalam RKUHP terkait erat dengan KUHP yang kini berlaku yang merupakan warisan pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Pada 1914, Gubernur Jenderal JB van Heutsz menyisipkan pasal yang memungkinkan pidana bagi bumiputera yang mengkritik penguasa. Pasal semacam itulah yang masuk di KUHP dan kini dicantumkan lagi dalam RKUHP. Artinya yang terjadi bukan dekolonialisasi, tetapi rekolonialisasi.
”Saya kira keliru besar bahwa RKUHP mengusung semangat dekolonialisasi karena apa yang saya simak dari draf RKUHP per 4 Juli 2022 justru mengusung kembali sejumlah pasal yang telah dihentikan oleh MK karena semangat kolonial, yaitu membungkam ekspresi kritik bumiputera terhadap pemerintahan,” ujar Herlambang.
Menurut dia, pemikiran hukum pidana tidak bisa lepas dari hak asasi manusia. Ketika di banyak negara lain pencemaran nama baik sudah tidak lagi menjadi hukum pidana, seperti di negara-negara Skandinavia, memasukkan kembali gagasan tentang pidana terkait dengan penghinaan terhadap presiden, kekuasaan umum, ataupun pemerintah justru membuat RKUHP menjadi jauh di bawah standar hak asasi manusia.
Masalah berikutnya, kata Herlambang, ialah nalar hukum formalisme yang bersifat selektif dan tidak koheren. Sebab, upaya menjaga kewibawaan institusi justru dilakukan dengan membatasi kritik. Sementara kritik yang konstruktif juga tidak jelas ukurannya ataupun pihak yang menilainya.
Ia justru menilai bahwa karakter hukum yang hendak dihadirkan dalam RKUHP itu bersifat represif. Karakter hukum demikian biasa ada pada rezim otoritarian.
Peneliti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontas), Rozy Berlian, juga melihat RKUHP yang kini tengah disusun pemerintah bersama parlemen justru kental dengan semangat rekolonialisasi. Sebab, yang muncul justru semangat membatasi kebebasan sipil atau memenjarakan warga sipil, khususnya mereka yang kritis dalam berpendapat.
”Misalnya, Pasal 218 RKUHP ini berangkat dari pasal tentang penghinaan ratu dan raja Belanda kala itu. Ini hanya terminologinya yang diganti menjadi presiden dan wakil presiden. Padahal, ketika kita berbicara mengenai negara demokrasi, pasal itu tidak relevan karena presiden dan wapres bukan simbol negara,” tutur Rozy.
Baca juga: Misi Utama RKUHP: Dekolonialisasi
Demikian pula pasal lainnya, yakni Pasal 240 RKUHP, Pasal 256 RKUHP, dan Pasal 351 RKUHP, menurut Rozy, justru menegaskan bahwa yang sedang terjadi adalah rekolonialisasi. Yang ia maksudkan dengan rekolonialisasi ialah langkah untuk mengembalikan paradigma kolonialisme yang dengan aktif membuka ruang kriminalisasi terhadap masyarakat yang mengkritik pemerintah. Akibatnya ruang kebebasan sipil menyempit.
Bagian penjelasan dari Pasal 218 RKUHP juga dinilainya layaknya komedi. Sebab, dalam penjelasan pasal tersebut memuat definisi dari kritik yang disertai dengan prasyarat. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dalam melakukan kritik harus disertai dengan landasan teoretis. Hal itu seolah menegaskan bahwa yang bisa melakukan kritik hanya mereka yang berpendidikan. Itu pun kritik harus bersifat konstruktif, bukan keluhan.
”Kalau orang yang hanya mengeluh, misalnya soal harga cabai tinggi, tapi jika dia tidak bisa menjelaskan atau mempunyai teori untuk melakukan kontra terhadap kebijakan yang berjalan, kan, ini bahaya. Pasal semacam ini justru akan menyasar masyarakat kecil yang kurang berpendidikan karena ada syarat yang sangat ribet,” ujar Rozy.
Di sisi lain, meski pasal 2018 merupakan delik aduan, di sana sedari awal terjadi ketimpangan hukum. Sebab, lembaga penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan berada di bawah presiden. Dengan demikian, mereka bisa jadi akan berpihak kepada presiden dan wapres.
Sudah diakomodasi
Atas kegelisahan yang muncul itu, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani, menekankan bahwa semua hal yang dipersoalkan sejumlah elemen masyarakat sipil itu sudah disampaikan, dibahas, dan diperdebatkan dalam pembahasan RKUHP.
Semisal, para ahli hukum tata negara dan pegiat demokrasi dari masyarakat sipil menyampaikan agar tidak ada lagi pasal-pasal penyerangan terhadap harkat dan martabat presiden dan wapres karena mengancam kehidupan demokrasi yang memerlukan kritik terhadap pemerintah. Namun, dari sudut pandang lain, para ahli hukum pidana dan kalangan pemerhati keamanan nasional berpendapat bahwa pasal-pasal tersebut masih dibutuhkan dengan direformulasi agar tidak menabrak putusan MK yang membatalkan pasal-pasal terkait di KUHP sekarang.
Terkait hal itu, menurut Arsul, DPR menerima sudut pandang yang kedua dengan syarat harus ada penegasan dalam bagian pasal tersebut bahwa menyampaikan kritik tidak dipidana. Syarat berikutnya, sifat delik yang harus diubah menjadi delik aduan dan perlu dibuat penjelasan untuk membedakan mana yang kritik dan mana yang penyerangan martabat, penghinaan atau penistaan. Itu semua telah coba diakomodasi oleh tim penyusun RKUHP dari pemerintah.
Baca juga: Pelibatan Publik dan Dekolonisasi
”Seyogianya yang dilihat oleh elemen masyarakat sipil yang menolak itu adalah melihat rumusan pasal yang baru dan penjelasannya. Kalau dirasa belum cukup, silakan diberi masukan. Tapi, tidak ngotot bahwa pasal tersebut harus ditiadakan,” ujar Arsul.
Selain itu, menurut Arsul, tidak relevan jika mengaitkan pasal-pasal tersebut dengan upaya rekolonilisasi. Pasalnya, sejumlah negara di Eropa masih memiliki pasal-pasal yang mengatur penghinaan terhadap kepala negara yang dalam hukum pidana mereka disebut ”les majesti”.
Kini, dengan masih kuatnya penolakan dari publik atas sejumlah pasal di RKUHP, Presiden telah memerintahkan agar RKUHP kembali disosialisasikan ke publik. Masukan dari publik pun diminta untuk diserap. Namun, di luar 14 isu krusial di RKUHP yang diminta disosialisasikan, pemerintah dan DPR hendaknya juga mendengar suara publik yang mengkritisi banyak pasal lain di luar 14 isu krusial tersebut, yang juga dinilai bermasalah. Buka kembali pembahasan pasal-pasal yang berpotensi bermasalah daripada justru menjadi persoalan setelah RKUHP disahkan dan berlaku.