Pelanggaran pada pelaksanaan pemilu yang berdaya rusak tinggi ada yang berupa manipulasi hasil penghitungan suara. Pelanggaran ini bisa berdampak pada integritas pemilu. Hal ini perlu diwaspadai.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelanggaran pemilihan umum yang berdaya rusak tinggi tidak hanya bisa merusak tatanan demokrasi, tetapi juga bisa merusak moralitas bangsa. Oleh sebab itu, penyelenggara pemilu harus terus menjaga komitmen integritas dalam situasi yang penuh tekanan agar tidak terjebak pada praktik pelanggaran pemilu.
Pengajar di Departemen Ilmu Politik Universitas Padjadjaran, Mudiyati Rahmatunnisa, mengatakan, pemilu sebagai sebuah proses kompetisi politik sangat rawan dan rentan terhadap upaya mendapatkan kemenangan dengan cara apa pun. Hal ini akhirnya membuka peluang terjadinya praktik-praktik pelanggaran pemilu yang disengaja ataupun tidak disengaja. Potensi kecurangan tidak hanya terjadi saat pemungutan suara, tetapi juga ada di setiap tahapan pemilu.
”Dari awal tahapan sampai akhir tahapan pemilu, semua punya potensi kerawanan terjadinya kecurangan dan malapraktik pemilu karena karakter pemilu yang merupakan kompetisi politik,” ujarnya dalam webinar bertajuk ”Sosialisasi Perkembangan Tahapan Pemilu Serentak Tahun 2024”, Sabtu (26/11/2022).
Webinar yang diselenggarakan oleh Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia tersebut juga menghadirkan narasumber dari unsur penyelenggara pemilu, yakni anggota Komisi Pemilihan Umum, Mochammad Afifuddin, dan Ketua Badan Pengawas Pemilu Rahmat Bagja.
Mudiyati menjelaskan, bentuk pelanggaran pemilu bermacam-macam. Ada berupa pelanggaran administrasi, pelanggaran kode etik, dan pelanggaran tindak pidana pemilu. Sementara diukur dari dampaknya, pelanggaran-pelanggaran tersebut ada yang berdaya rusak tinggi dan berdaya rusak rendah.
Pelanggaran yang berdaya rusak tinggi, antara lain, berupa manipulasi hasil penghitungan suara, korupsi politik, dan penyalahgunaan kekuasaan. Hal ini akan berdampak pada beberapa hal yang sangat signifikan, misalnya pada integritas pemilu. ”Pada akhirnya akan berdampak pada tatanan demokrasi dan good and clean governance, bahkan pada moralitas bangsa,” ucapnya.
Pelanggaran yang berdaya rusak tinggi, antara lain, berupa manipulasi hasil penghitungan suara, korupsi politik, dan penyalahgunaan kekuasaan.
Adapun pelanggaran yang berdaya rusak rendah, seperti pemasangan atribut dan kampanye pawai bisa mengganggu keindahan kota. Pelanggaran-pelanggaran tersebut juga bisa mengganggu ketenteraman masyarakat.
Mudiyati mengingatkan, profesionalitas penyelenggara pemilu harus tetap dijaga. Bagaimanapun situasinya, penyelenggara pemilu mesti menjaga komitmen integritas sekalipun tekanan kepada mereka sangat banyak. Sebab, pasti akan ada banyak pihak yang ingin mengintervensi pemilu melalui para penyelenggara pemilu.
Afifuddin mengatakan, KPU memperkuat kerja sama antarlembaga dan instansi untuk menciptakan kolaborasi yang baik dalam penyelenggaraan pemilu. Hal ini dilakukan untuk menciptakan kolaborasi yang baik antarlembaga sesuai peran masing-masing, untuk kelancaran pemilu, serta mengurangi potensi konflik dan kecurangan.
”KPU memperkuat penggunaan teknologi informasi dalam setiap tahapan pemilu agar tercipta pemilu yang transparan dan meminimalkan terjadinya manipulasi terhadap hasil pemilu,” katanya.
Bagja menuturkan, ada empat jenis pelanggaran pemilu, yakni pelanggaran administrasi, pidana pemilu, kode etik penyelenggara, dan pelanggaran hukum lainnya. Tidak semua jenis pelanggaran tersebut diselesaikan oleh Bawaslu, misalnya pelanggaran kode etik ada di ranah Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu serta pelanggaran pidana pemilu dan pelanggaran hukum lainnya diselesaikan Bawaslu bersama lembaga lain, seperti kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Aparatur Sipil Negara.