Pemerintah Menambah Empat Ayat di Pasal Penghinaan terhadap Pemerintah
Di pasal penghinaan terhadap pemerintah pada RKUHP, pemerintah menambah 4 ayat. Tindak pidana itu hanya bisa diadukan oleh pihak terhina. Namun, DPR tetap ingin frasa penghinaan dipersempit untuk menghindari multitafsir.
Oleh
REBIYYAH SALASAH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menambah empat ayat baru pada Pasal 240 Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang penghinaan terhadap pemerintah. Penambahan ayat itu dituangkan dalam draf RKUHP versi 24 November 2022. Dalam draf terbaru itu, pemerintah memberikan perincian soal penghinaan yang dapat berupa lisan atau tulisan.
Soal penambahan ayat itu disampaikan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Eddy Omar Sharif Hiariej dalam rapat kerja Komisi III DPR dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (24/11/2022). Sebab, dalam raker itu, Pasal 240 kembali memperoleh sorotan. Pihak DPR menilai definisi penghinaan perlu dipersempit dan diperjelas agar tidak multitafsir.
Semula, dalam draf Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) versi 9 November 2022, Pasal 240 berbunyi, ”Setiap orang yang di muka umum melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun”. Selanjutnya, ada penjelasan terkait kerusuhan.
Eddy menyampaikan, dalam draf RKUHP versi 24 November, pemerintah menambahkan empat ayat pada Pasal 240 untuk mengakomodasi daftar inventarisasi masalah (DIM) yang diserahkan fraksi-fraksi di DPR. Dalam draf terbaru itu, pemerintah memberikan perincian soal penghinaan yang dapat berupa lisan atau tulisan. Selain itu, dijelaskan pula, tindak pidana terkait penghinaan hanya dapat dituntut berdasarkan aduan pihak terhina dan dapat dilakukan secara tertulis oleh pimpinan lembaga negara.
”Kemudian kami tambahkan penjelasan Pasal 240, yang dimaksud dengan pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh wakil presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945,” ujar Eddy.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI-P, Johan Budi, mengatakan, frasa penghinaan selama ini telah menimbulkan gejolak di masyarakat lantaran tidak ada definisi yang jelas. Dia mencontohkan, banyak orang dituduh menghina pemerintah, padahal sebenarnya mengkritik kebijakan pemerintah.
”Karena itu, usul saja, kata-kata penghinaan ini harus diperjelas, dipertegas. Definisi menghina itu apa? Ada perbedaan tidak dengan mengkritik? Ada perbedaan tidak dengan memfitnah? Kalau dia menuduh pemerintah melakukan sesuatu, padahal tidak, itu masuk memfitnah menurut saya. Tapi, kalau dia mengkritik kebijakan pemerintah yang dianggap menyengsarakan masyarakat, ya, jangan dipidana,” tutur Johan Budi.
Perlunya menambah penjelasan terkait kata penghinaan tersebut agar siapa pun yang berkuasa nanti tidak menafsirkan semaunya.
Dalam rapat yang dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi III DPRI Adies Kadir itu, Johan Budi mengusulkan agar frasa penghinaan dielaborasi lagi. Dia menekankan perlunya menambah penjelasan terkait kata penghinaan tersebut agar siapa pun yang berkuasa nanti tidak menafsirkan semaunya.
Adies Kadir menambahkan, pemerintah perlu merinci penjelasan terkait frasa penghinaan. Tujuannya, agar bisa diketahui penghinaan itu termasuk pencemaran, fitnah, atau merendahkan martabat nama baik. ”Normalnya, itu masih dianggap membatasi hak berekspresi dan berdemokrasi kalau tidak diatur mengenai pengecualiannya,” katanya.
Adapun anggota Komisi III dari Fraksi Partai Nasdem, Taufik Basari, mengusulkan, frasa penginaan dibatasi menjadi fitnah, yakni menuduh sesuatu hal yang diketahui tidak benar. Menurut Taufik, penggunaan kata fitnah akan membuat definisi penghinaan lebih sempit, tetapi maksud dan tujuannya tetap tersampaikan.
”Kita ingin semua ukurannya obyektif, terukur. Kalau deliknya penghinaan menjadi fitnah, maka kita bisa memberikan ukuran-ukuran yang lebih obyektif dan dapat dipertanggungjawabkan,” ucapnya.
Sementara itu, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Demokrat, Hinca Panjaitan, mengusulkan frasa penghinaan diubah menjadi tuduhan yang tidak benar. Kendati memiliki arti serupa dengan fitnah, kata Hinca, tuduhan yang tidak benar dinilainya lebih tepat untuk menggantikan frasa penghinaan.
Pasalnya, lanjut Hinca, masyarakat terbiasa dengan anggapan bahwa fitnah merupakan sesuatu yang keji. Ini berkaitan dengan adagium ”fitnah lebih kejam daripada pembunuhan”. ”Akhirnya, (kata) fitnah ini diangkat derajatnya sehingga sama dengan pembunuhan. Pemikiran itu yang tertanam di diri kira. Jadi, kita ubah saja (penghinaan) menjadi tuduhan yang tidak benar,” katanya.
Pada pukul 12.30, rapat kerja Komisi III DPR dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia diskors. Pembahasan soal DIM dari fraksi-fraksi di DPR terkait dengan draf RKUHP dilanjutkan pukul 14.30.