Aliansi Masyarakat Sipil Perjuangkan Perubahan Pasal Bermasalah di DPR
”Belum semua masukan dari kami (soal RKUHP) diadopsi pemerintah. Besok (14/11) ada agenda rapat dengar pendapat di DPR dengan aliansi. Akan kami perjuangkan lagi usulan itu,” kata peneliti ICJR, Maidina Rahmawati.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·7 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembentuk Undang-undang menargetkan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana tuntas dalam waktu dekat. Pemerintah mengklaim sudah mengadopsi masukan masyarakat ke dalam draf RKUHP terbaru. Namun, karena menilai perubahan belum menyentuh substansi pasal, aliansi masyarakat sipil kembali akan memperjuangkan perubahan pasal bermasalah RKUHP dalam rapat dengar pendapat di DPR.
Secara resmi, pemerintah melalui Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy OS Hiariej sudah menyerahkan reformulasi pasal-pasal di RKUHP. Saat menyerahkan hasil perumusan akhir draf RKUHP itu di DPR, Rabu (9/11/2022), Eddy menyampaikan, ada sejumlah perubahan draf RKUHP dari versi 6 Juli 2022 yang memuat 632 pasal dengan draf terakhir pada 9 November yang memuat 627 pasal. Draf terakhir RKUHP juga diklaim mengadopsi 53 masukan masyarakat yang dimasukkan ke dalam batang tubuh RUU ataupun penjelasan (Kompas, 10/11/2022).
Komisi III DPR menargetkan pembahasan RKUHP bisa tuntas dalam empat kali rapat. Rapat terakhir direncanakan pada 22 November dengan agenda mengambil persetujuan tingkat I. Persetujuan tingkat I adalah fase terakhir sebelum RUU dibawa ke rapat paripurna untuk dimintai persetujuan untuk disahkan menjadi UU.
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati, yang dihubungi pada Minggu (13/11/2022), menyampaikan, koalisi masyarakat sipil berharap RKUHP tidak hanya menjadi sekadar program perubahan undang-undang. Tetapi, juga langkah awal mereformasi peradilan pidana di Indonesia. Oleh karena itu, masukan dari masyarakat sipil perlu dipertimbangkan, sebagai indikator partisipasi publik dalam legislasi itu.
Setelah draf RKUHP beredar luas di masyarakat pada 4 Juli 2022, ICJR, Indonesia Judicial Research Society (IJRS), dan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independen Peradilan (LeIP) sudah memberikan masukan untuk perubahan RKUHP. Masukan didasarkan pada kondisi dan konteks pembahasan. Selain itu, juga ada alternatif rekomendasi pada rumusan RKUHP.
Masukan koalisi untuk Pasal 240, misalnya, adalah pasal dihapuskan. Adapun semula pasal itu mengatur tentang penghinaan terhadap pemerintah yang sah yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat. Namun, yang direformulasi hanya terkait frasa ”yang sah”. Frasa itu diubah menjadi penghinaan terhadap pemerintah. Secara substansi, pasal itu tak berubah.
Koalisi berpandangan pasal tak sesuai dengan iklim demokrasi dan sudah ditinggalkan oleh negara lain. Komentar umum Nomor 34 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) tak membenarkan penjatuhan hukuman terhadap ekspresi yang dianggap menghina termasuk pemerintahan. Pasal juga berpotensi melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Jika pasal itu tetap dipertahankan, menurut dia, koalisi meminta agar pasal dirumuskan ulang dengan menggabungkan pasal-pasal dalam satu ketentuan yang sama, yaitu tindak pidana terhadap lembaga negara.
Sebab, menurut dia, sifat dari obyek dari penghinaan dalam pasal-pasal tersebut sama, yaitu lembaga negara. Sama halnya dengan penghinaan terhadap kepala negara, standar pembuktian pasal-pasal itu perlu ditinggikan. Sebab, ekspresi terhadap lembaga negara harus dilindungi daripada ekspresi terhadap orang biasa. Sesuai komentar umum ICCPR, jabatan publik pada prinsipnya sah jadi sasaran kritik dan oposisi politik.
Infografik Jalan Panjang Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP)
Oleh karena itu, unsur atau frasa menyerang kehormatan atau harkat dan martabat seharusnya diubah menjadi menuduhkan suatu hal yang diketahuinya tidak benar agar lebih jelas. Koalisi juga menyarankan agar unsur pemberatan dari tindak pidana itu diterapkan apabila tuduhan itu benar-benar menyebabkan kerusuhan.
”Namun, belum semua masukan dari kami itu diadopsi oleh pemerintah. Besok (Senin, 14/11) ada agenda rapat dengar pendapat di DPR dengan aliansi. Akan kami perjuangkan lagi usulan itu,” kata Maidina.
Anggota Komisi III DPR Taufik Basari mengakui, masih ada pasal-pasal yang mengancam iklim demokrasi di draf RKUHP terbaru. Padahal, saat rapat terakhir pada 3 Oktober lalu, pihaknya sudah meminta kepada pemerintah untuk menyerap masukan dari masyarakat melalui partisipasi pembuatan UU secara bermakna.
Dia menyayangkan, jeda waktu sosialiasi ulang dan penyusunan perubahan pasal tidak dioptimalkan oleh pemerintah sehingga forum sosialisasi ulang dan masukan dari masyarakat seolah formalitas belaka.
”Saya berharap besok saat RDPU (rapat dengar pendapat umum), aliansi kembali menyampaikan masukan itu. Harus ada perubahan substansial dan mendasar untuk meminimalisasi penolakan lagi terhadap RKUHP,” ungkapnya.
Dia juga menambahkan, terkait pasal-pasal yang membahayakan demokrasi, sebenarnya dia juga sudah mengusulkan jalan tengah kepada pembentuk UU. Untuk Pasal 240 misalnya, dia meminta agar rumusannya dipertegas dan diperjelas agar tidak multitafsir dan subyektif.
Pasal penghinaan terhadap pemerintah bisa diubah menjadi frasa fitnah. Artinya, menuduh sesuatu hal yang diketahui tidak benar. Dengan demikian, unsur pembuktian tindak kejahatan itu bisa lebih obyektif. Apakah benar pihak yang memfitnah berniat jahat dan menuduh tanpa bukti dan argumen yang kuat. Namun, jika menggunakan frasa penghinaan, pembuktian jadi subyektif. Pembuktian penghinaan akan menggunakan kacamata penguasa yang dihina.
Taufik berharap momentum rapat dengar pendapat di DPR dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk membuat keputusan yang bermanfaat bagi publik. Walaupun target pengesahan RKUHP mepet, jika memang dirasa masih perlu perbaikan mendasar, harus ada waktu leluasa untuk berdialog sebelum rapat pengambilan keputusan di DPR.
”Semoga masukan dari aliansi dalam RDPU besok, benar-benar dipertimbangkan dan dibahas mendalam sebelum dilanjutkan pada proses pengambilan keputusan. Masih ada ruang pembahasan,” ujarnya.
Dipertimbangkan
Juru Bicara Sosialisasi RKUHP dari pemerintah Albert Aries mengatakan, setiap masukan, usulan, dan kritik dari masyarakat sipil atas draf RKUHP selalu ditampung dan dibahas oleh tim perumus RKUHP. Masukan itu adalah bagian dari partisipasi bermakna (meaningful participation), yaitu hak untuk didengar (right to be heard), hak untuk dijelaskan (right to be explained), dan hak untuk dipertimbangkan (right to be considered).
Walakin, menurut dia, sesuai putusan Mahkamah Konstitusi, partisipasi bermakna tersebut tidak dapat dimaknai sebagai hak untuk diakomodasi (right to be accomodated). Apalagi, dalam merumuskan pasal-pasal terkait kebebasan berpendapat dan berdemokrasi, tim perumus juga betul-betul memperhatikan dan mengikuti pertimbangan hukum (ratio decidendi) dari beberapa putusan MK sebelumnya.
Misalnya, putusan MK No 013-022/PUU-IV/2006 tentang pengujian Pasal 134, 136, dan Pasal 137 KUHP tentang Penghinaan Presiden. MK memutus bahwa penghinaan terhadap presiden selaku pejabat dapat menggunakan Pasal 207 KUHP sebagai delik aduan. Ada pula putusan MK No 31/PUU-XIII/2015 tentang pengujian Pasal 319 juncto Pasal 316 KUHP tentang Penghinaan terhadap Pejabat sebagai delik biasa menjadi jadi delik aduan.
Selain itu, juga Putusan MK Nomor 6/PUU-V/2007 tentang pengujian Pasal 154 KUHP tentang penghinaan terhadap pemerintah. Pemerintah telah setuju dengan rumusan Pasal 240 RUU KUHP yang mengubah delik formil menjadi delik materiil secara proses demokratis.
Titik temu
Pengajar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Azmi Syahputra, berpendapat, RKUHP secara umum bertujuan menjaga titik keseimbangan antara kepentingan umum (negara) dan kepentingan individu, perlindungan pelaku dan korban tindak pidana, kepastian hukum dan keadilan, hukum tertulis dan hukum yang hidup di masyarakat, nilai nasional dan universal, serta HAM dan kewajiban HAM.
Karena tujuan memelihara hukum dan ketertiban itu, pasti akan dihadapkan dengan dua tuntutan. Pihak yang perlu dilindungi, yaitu lembaga kekuasaan umum, diikat oleh prosedur formal. Namun, di sisi lain, masyarakat ingin bergerak bebas atas nama demokrasi dan jaminan hak warga negara.
”Jadi, wajar kalau masih ada anggapan dan rasa ketakutan seolah masyarakat akan menjadi korban penyalahgunaan kekuasaan. Karena itu, tindakan atau perbuatan yang diatur dalam pasal RKUHP dianggap merugikan hak konstitusional warga,” ujarnya.
Azmi menilai, pembentuk UU seharusnya mencari titik temu untuk menjadi jawaban dalam naskah RKUHP. Titik temu itu, seperti alasan pembenar, atau ketentuan tidak akan dipidana sesorang sepanjang perbuatannya adalah ekspresi, kritik, yang berorientasi pada kepentingan umum dan tidak bersifat melawan hukum. Kritik wajar dilayangkan apabila ada kebijakan yang salah, kekurangan dari lembaga kekuasaan umum. Apalagi, jika kritik berisi fakta, kebenaran, dan tidak bertentangan dengan hukum.
”Tentu, ini bukan kategori menuduh sesuatu, menyerang nama baik, atau menghina kekuasaan umum,” paparnya.
Menurut dia, Pasal 35 juncto Pasal 12 Ayat (2) dan Ayat (3) KUHP dan penjelasan Pasal 218 justru menjadi titik keseimbangan makna kepentingan umum dan dapat dikategorikan sebagai alasan pembenar. Keberadaan pasal itu, lanjutnya, membuat RKUHP tak perlu terlalu dikhawatirkan. Sebab, pasal penghinaan kepala negara bersifat delik aduan.
Sepanjang yang disampaikan masyarakat berisi kebenaran dan untuk kepentingan umum, menurut dia, kekuasaan umum juga tidak akan asal lapor. Mereka tentu akan berpikir berkali-kali atas kritik itu. Apalagi, jika pejabat itu terbukti melakukan malaadministrasi atau tindak pidana jabatan.