Pimpinan DPR: Pengesahan RKUHP Jangan Tergesa-gesa
Target pengesahan RKUHP pada akhir November sah-sah saja. Namun, pimpinan DPR mengingatkan agar pengesahan tak dipaksakan mengejar target ketika masih ditemui pasal yang bermasalah.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO, SUSANA RITA KUMALASANTI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat berharap pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, tidak terburu-buru. Pembahasan rancangan undang-undang itu harus hati-hati, terutama di pasal-pasal krusial sehingga tidak menimbulkan gejolak di kemudian hari.
Pada Rabu (9/11/2022), pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia telah menyerahkan draf penyempurnaan RKUHP kepada Komisi III DPR. RUU tersebut ditargetkan bakal selesai dibahas di tingkat satu atau Komisi III DPR pada 22 November mendatang, untuk kemudian segera dimintakan persetujuan pengesahan dalam Rapat Paripurna DPR.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad saat ditemui di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (10/11/2022), mengatakan, hingga saat ini, Komisi III DPR bersama pemerintah terus secara maraton membahas substansi RKUHP. Dari hasil komunikasi pimpinan DPR dengan Komisi III DPR, ternyata masih ditemui pasal-pasal krusial yang perlu dibahas secara hati-hati.
“Sehingga, ada pun target pengesahan (tanggal 22 November) itu menurut kami boleh-boleh saja, tetapi jangan sampai karena terburu-buru ada hal yang tidak bisa dituntaskan dengan baik dan menimbulkan gejolak di kemudian hari,” ujar Dasco.
Menurut anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) I Wayan Sudirta, urgensi pengesahan RKUHP ini adalah untuk menggantikan KUHP peninggalan pemerintah kolonial Belanda dan sebagai salah satu upaya untuk mendukung pembangunan hukum nasional.
Ia menyadari bahwa masih terdapat pro dan kontra terhadap beberapa pasal atau substansi di dalam RUU KUHP. Sejumlah pasal yang masih menimbulkan pro dan kontra tersebut misalnya, berkaitan dengan kebebasan berekspresi, norma kesusilaan, dan asas legalitas.
Untuk itu, ia sependapat agar beberapa pasal tersebut perlu dicermati dan dibahas lebih jauh. Ia meyakini, pemerintah juga telah memilah beberapa isu yang menjadi perhatian masyarakat dan telah dilakukan pembahasan dan evaluasi terhadap pasal-pasal tersebut.
Sudirta mengingatkan, ketentuan dalam RKUHP ini tidak akan dapat memuaskan seluruh pihak. Ia melihat, kekhawatiran masyarakat lebih banyak pada level implementasi (enforcement), yang dalam hal ini juga membutuhkan strategi lainnya yakni reformasi kultur, struktur, dan regulasi.
Mencari titik keseimbangan
Secara terpisah, pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Azmi Syahputra, menyampaikan, republik ini sudah sangat membutuhkan hukum pidana nasional untuk menggantikan KUHP warisan kolonial yang saat ini masih digunakan. Pengesahan RKUHP, menurutnya, perlu didukung terlepas dari sejumlah kekurangan yang barang kali masih ditemukan oleh sebagian kalangan.
Masih adanya hal-hal yang dirasa kurang sempurna, bagi Azmi, merupakan hal yang sangat wajar mengingat ada tujuh titik keseimbangan yang harus dituju. “Mau tidak mau ada irisan, ada benturan. Misalnya, pertimbangan keimbangan antara kepentingan umum dan individu, antara hukum tertulis dengan hukum nasional, juga nilai-nilai universal, dan lainnya” katanya.
Dalam draf terakhir yaitu versi 9 November 2022 yang merupakan hasil perbaikan setelah digelar dialog nasional dan sosialisasi, terdapat empat pasal yang dihapus dari draf versi 4 Juli 2022. Yaitu, pasal penggelandangan, pasal unggas yang berjalan melintasi kebun, pasal ternak yang melewati kebun, dan dua pasal terkait pidana lingkungan hidup.
Pasal mengenai penyerangan martabat presiden dan wakil presiden (pasal 218) dan penghinaan terhadap pemerintah yang sebelumnya dipersoalkan oleh masyarakat sipil masih dipertahankan di dalam draf RKUHP terakhir. Mengenai hal ini, Azmi mengungkapkan, ada pengecualian terhadap terhadap delik tersebut. Pada Pasal 218 ayat (2) RKUHP diatur delik tersebut tidak berlaku jika dilakukan untuk kepentingan umum dan pembelaan diri.
“Demi kepentingan umum atau pembelaan diri tidak merupakan penyerangan martabat dan kehormatan presiden dan wakil presiden, tidak dikuantifikasi tindak pidana sepanjang ada basisnya. Misalnya untuk mengoreksi, tidak bisa dikategorikan sebagai penghinaan presiden,” ujarnya.
Menurut Azmi, RKUHP saat ini sudah layak untuk disahkan dengan segala kelebihan dan kekurangannya. “Saya lebih mendorong kita harus punya hukum pidana nasional,” ucapnya.
Selain itu, RKUHP memperkenalkan jenis pemidanaan baru seperti pidana kerja sosial dan lainnya.