Pakar Kembali Ingatkan, Pencopotan Aswanto Ganggu Independensi Hakim
Independensi badan peradilan dan hakim merupakan prinsip konstitusi yang secara universal diakui dan dilindungi oleh sistem hukum dan konstitusi. Evaluasi terhadap hakim konstitusi harus dilakukan secara hati-hati.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pencopotan Hakim Konstitusi Aswanto oleh DPR dinilai telah mengganggu independensi seorang hakim. Terlebih, alasan pencopotan tersebut adalah banyak putusan Aswanto tak sejalan dengan DPR. Evaluasi terhadap hakim konstitusi dan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi harus dilakukan secara hati-hati.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran Susi Dwi Harijanti, Minggu (30/10/2022), menyayangkan keputusan DPR yang mencopot Aswanto dengan alasan putusan Aswanto tak sejalan dengan DPR. Padahal, hakim memiliki independensi dalam mengambil keputusan.
Pada Jumat (30/9/2022), Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto mengatakan, penggantian Aswanto berkaitan dengan kinerjanya yang mengecewakan. Ia menyebutkan, banyak putusan Aswanto tak sejalan dengan DPR. Aswanto dinilai tak berkomitmen terhadap DPR sebagai lembaga pengusul (Kompas, 1/10/2022).
Menurut Susi, Mahkamah Konstitusi banyak memeriksa perkara-perkara politik dengan menggunakan dasar-dasar hukum. ”Ini baik. Persoalan politik diselesaikan melalui jalur hukum,” kata Susi dalam webinar nasional bertajuk ”Menjaga Marwah dan Independensi Mahkamah Konstitusi”.
Hadir juga sebagai pembicara dalam kegiatan tersebut Hakim Konstitusi 2003-2008 Maruarar Siahaan dan Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani.
Susi menegaskan, alasan penggantian Aswanto dengan Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi (MK) Guntur Hamzah menunjukkan kesesatan berpikir. Sebab, ada kecenderungan terjadinya politisasi peradilan.
Menurut Susi, evaluasi terhadap hakim konstitusi dan Undang-Undang MK harus dilakukan secara hati-hati. Ia menjelaskan, perubahan undang-undang ketatanegaraan, pemerintahan, dan politik bersentuhan langsung dengan sendi, asas, dan kaidah konstitusi. Kalau tidak hati-hati, perubahan tersebut justru akan menjauhi Undang-Undang Dasar. Selain itu, hal tersebut akan berdampak pada tatanan pengelolaan negara, pemerintahan, dan politik.
”Perubahan undang-undang di bidang ketatanegaraan, pemerintahan, dan politik dapat menghambat proses pemantapan tatanan bernegara, berpemerintahan, dan politik yang sehat, seperti pendewasaan demokrasi, tatanan politik yang bertanggung jawab, atau tatanan sosial yang taat pada hukum,” katanya.
Ia menambahkan, perubahan tersebut juga akan berpengaruh pada tatanan dan kebijakan ekonomi serta sosial. Selain itu, menimbulkan inkonsistensi, bahkan pertentangan dengan undang-undang lain.
Maruarar Siahaan mengatakan, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, agama, militer, tata usaha negara, dan oleh Mahkamah Konstitusi. ”Kekuasaan kehakiman meliputi pengawal konstitusi, penafsir tunggal konstitusi, pengawal demokrasi, pelindung hak konstitusi warga negara, dan pelindung HAM (hak asasi manusia),” kata Maruarar.
Ia menegaskan, independensi badan peradilan dan hakim merupakan prinsip konstitusi yang secara universal diakui dan dilindungi oleh sistem hukum dan konstitusi. Independensi hakim secara individual dan kelembagaan diartikan sebagai bebas dari pengaruh, paksaan, tekanan, dan intervensi. Jaminan bagi terwujudnya cita-cita negara hukum, tegaknya hukum, dan keadilan ada pada independensi tersebut.
”Independensi sesungguhnya bukan hak hakim, tetapi merupakan kewajiban hukum dan diberikan agar hakim boleh mengambil keputusan secara tidak memihak. Independensi hakim merupakan hak dari rakyat pencari keadilan,” kata Maruarar.
Ismail Hasani mengatakan, dengan pencopotan Aswanto, DPR telah memperagakan praktik pembangkangan konstitusi dengan mengatasnamakan kekuasaan rakyat.