Penasihat Hukum Sebut Arif Hanya Menjalankan Perintah Sambo
Penasihat hukum Arif Rachman Arifin, terdakwa perintangan penyidikan pembunuhan Brigadir J, menilai penyidikan terhadap kliennya tak sah. Tindakan Arif pun disebut sebatas laksanakan perintah Sambo, atasannya di Polri.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dalam nota keberatan atau eksepsinya, Arif Rachman Arifin, mantan Wakaden B Biropaminal Divisi Profesi dan Pengamanan Polri, terdakwa perkara perintangan penyidikan pembunuhan Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat, menyatakan, penyidikan terhadap dirinya dilakukan tidak sah. Keterlibatannya hanya melaksanakan perintah Ferdy Sambo selaku atasannya di Polri, terdakwa pembunuhan Nofriansyah.
Oleh karena itu, dalam persidangan dengan agenda penyampaian eksepsi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (28/10/2022), Arif berharap agar majelis hakim membatalkan dakwaan jaksa penuntut umum terhadap dirinya.
Nota keberatan itu disampaikan Junaedi Saibih selaku penasihat hukum Arif dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim H Akhmad Suhel dengan didampingi Hendra Yuristiawan dan Djuyamto selaku hakim anggota. ”Surat dakwaan tidak dapat diterima. Sebab, Arif merupakan pejabat pemerintah pelaksana, sedangkan perannya melaporkan temuan salinan kamera pemantau (CCTV) dan merusak laptop karena melaksanakan perintah Ferdy Sambo,” ujarnya.
Atas dasar alasan itu, Junaedi menyampaikan, perintah Sambo terhadap kliennya, Arif, sebagai kebenaran berdasarkan jabatan. Hal itu karena saat peristiwa pembunuhan Nofriansyah terjadi, Sambo menjabat sebagai kepala Divisi Profesi Keamanan Polri dengan pangkat inspektur jenderal. ”Perintah Ferdy Sambo selaku pejabat pemerintah, penyelenggara (negara), dan atasan langsung masih dianggap sebagai kebenaran berdasarkan jabatan,” ujarnya.
Pada persidangan sebelumnya, jaksa yang dipimpin Syahnan Tanjung mendakwa Arif melakukan tindakan pidana seperti diatur dalam Pasal 49 jo Pasal 33 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda maksimal Rp 10 miliar. Arif juga didakwa merusak barang yang digunakan untuk membuktikan sesuatu seperti diatur dalam Pasal 233 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juncto Pasal 55 (1) ke-1 KUHP diancam pidana empat tahun penjara.
Junaedi menambahkan, Arif hanya melaksanakan kewajiban yang harus dipatuhi karena ada hubungan kedinasan antara dirinya dan Sambo sehingga tindakan tersebut bukan tanggung jawab Arif, melainkan Sambo yang memerintah.
Tim kuasa hukum Arif juga menilai surat dakwaan tergolong prematur. Alasannya, pembuktian penyalahgunaan wewenang harus melalui proses identifikasi pada Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Tindakan Arif dianggap benar dan tak mengandung unsur penyalahgunaan wewenang selama belum diputuskan PTUN.
Tindakan Arif juga dinilai hanya dapat diperiksa, diuji, dan dituntaskan melalui proses hukum administrasi. Hal tersebut berlaku pula terhadap sanksi yang diberikan, mulai dari teguran hingga pemberhentian tak hormat.
Selain itu, tim kuasa hukum Arif menganggap penyidikan yang dilakukan kepolisian terhadap kliennya juga berlangsung tidak sah. Alasannya, ketika kliennya ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Cabang Jakarta Pusat pada 29 Agustus 2022, Arif meninggalkan Ruang Patsus Biro Provos Divisi Propam Polri guna diperiksa penyidik Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri.
Adanya pemeriksaan di luar rutan tanpa seizin atasan yang berhak menghukum, maka proses penyidikan berjalan dengan melawan hukum. Alhasil, keterangan dan kesaksian Arif dalam proses tersebut dianggap tak sah mengacu pada Pasal 33 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri.
Tim kuasa hukum Arif menganggap penyidikan yang dilakukan kepolisian terhadap kliennya berlangsung tidak sah.
Di bawah ancaman Sambo
Tak hanya itu, kuasa hukum Arif lainnya, Varial Azhari, juga menyebut surat dakwaan tak cermat. Sebab, jaksa gagal menguraikan kesamaan niat kliennya dengan Sambo. Varial berargumen, Arif menghapus seluruh salinan rekamanan CCTV dalam laptop Baiquni Wibowo, mantan pemangku sementara Kepala Subbagian Pemeriksaan Bagian Penegak Etika Divpropam Polri, karena berada di bawah ancaman Sambo.
”Dapat disimpulkan yang terjadi bukanlah suatu transfer niat dan/atau kesamaan niat antara saksi Ferdy Sambo dan terdakwa Arif Rachman Arifin, melainkan sebuah ancaman dari saksi Ferdy Sambo,” ujar Varial.
Apalagi, dalam surat dakwaan sebelumnya, Arif mencoba mengonfirmasi dirinya melihat Nofriansyah masih hidup ketika Sambo sampai di kompleks Perumahan Polri Duren Tiga. Namun, Sambo berkilah apa yang dilihat Arif keliru sehingga upayanya membuktikan tak ada niat menyembunyikan pembunuhan. Berdasarkan penuturan kuasa hukum Arif, artinya jaksa tak cermat menerapkan Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Tim kuasa hukum juga menganggap surat dakwaan tak jelas memaparkan fakta berita acara pemeriksaan (BAP) saksi dan BAP terdakwa dalam pemeriksaan. Menurut mereka, ada pula uraian yang bersifat asumsi, serta tak konsisten menyebutkan alat bukti, yakni DVR CCTV, CCTV, dan rekaman CCTV hasil unduhan.
Surat dakwaan juga dinilai tak lengkap menjelaskan file rekaman CCTV adalah hasil unduhan, sedangkan rekaman asli diserahkan Baiquni kepada penyidik Polres Jakarta Selatan melalui mantan Kasubnit I Subdit III Dittipidum Bareskrim Polri AKP Irfan Widyanto. Selain itu, baik penyidik maupun jaksa juga tak pernah menyebut kesamaan salinan rekaman CCTV dengan aslinya sehingga tak dapat dijamin orisinalitas dan keutuhannya.
Setelah pembacaan nota keberatan, Hakim Ketua H Akhmad Suhel memberi waktu satu minggu kepada jaksa untuk menanggapi. Alhasil, sidang tanggapan akan berlangsung pada Selasa (1/11/2022) pekan depan pukul 09.00.