ICW Desak DPR Revisi UU Pemilu agar Ketentuan Jeda Lima Tahun bagi Mantan Pelaku Korupsi Diakomodasi
ICW mendesak DPR segera merevisi UU Pemilu agar calon legislatif bekas narapidana korupsi memiliki masa jeda lima tahun sebelum berkontestasi. Untuk itu, UU Pemilu harus segera direvisi untuk mengakomodasi ketentuannya.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·4 menit baca
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Para aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) dan beberapa perwakilan elemen masyarakat yang tergabung dalam Masyarakat Madani menggelar aksi seruan penyelamatan Mahkamah Konstitusi di halaman Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (4/10/2022). Masyarakat Madani memprotes langkah DPR yang memberhentikan dan mengganti Hakim Konstitusi Aswanto.
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia Corruption Watch menyoroti kinerja DPR yang tak juga merevisi Undang-Undang Pemilu. Mahkamah Konstitusi sebelumnya telah memutuskan mantan narapidana kasus korupsi harus menunggu jeda lima tahun untuk berkontestasi dalam pemilihan kepala daerah. Demikian pula semestinya ketentuan yang seharusnya dituangkan segera dalam revisi UU Pemilu berlaku juga bagi calon legislatif.
Menurut peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, sejauh ini DPR yang menerbitkan produk hukum masih kerap tak sesuai dengan harapan masyarakat. Lembaga tersebut tampak belum mendukung agenda pemberantasan korupsi di Indonesia melalui revisi UU Pemilu.
Terkait dengan pemilihan umum (pemilu), Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 56/PUU-XVII/2019 menyatakan agar para narapidana korupsi perlu menanti lima tahun sejak keluar dari tahanan untuk kembali berkontestasi sebagai kepala daerah. Hal ini semestinya juga berlaku bagi para calon legislatif, tetapi DPR belum juga merevisi UU No 7/2017 tentang Pemilu dan mengakomodasi ketentuan tersebut.Dalam Pasal 240 Ayat (1) huruf g tertulis bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara lima tahun atau lebih, kecuali terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa ia mantan terpidana.
Namun, kalau untuk anggota legislatif tidak bisa (mengikuti aturan masa jeda) karena itu harus diubah terlebih dahulu UU-nya, dan itu tidak dilakukan DPR.
”Namun, kalau untuk anggota legislatif tidak bisa (mengikuti aturan masa jeda) karena itu harus diubah terlebih dahulu UU-nya, dan itu tidak dilakukan DPR,” ujar Kurnia dalam Evaluasi Kinerja DPR 2019-2022 di Kantor ICW, Jakarta, Rabu (26/10/2022). Acara ini dihadiri juga oleh Usep Hasan dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Satrio Manggala daro Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), dan Itoria Pretty dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Pidana Kekerasan (Kontras).
Perlunya jeda lima tahun bagi mantan narapidan korupsi penting. Hal itu jika melihat pengalaman bekas Bupati Kudus M Tamzil, yang pernah dipenjara selama 1 tahun 10 bulan. Waktu itu, semasa menjabat sebagai Bupati Kudus periode 2003-2008, ia tertangkap basah karena korupsi pengadaan sarana dan prasarana pendidikan pada 2004-2005 di Dinas Pendidikan dan Olahraga Kudus.
Peneliti Senior Netgrit, Hadar Nafis Gumay, menunjukkan sebaran caleg mantan napi korupsi yang diloloskan Bawaslu dalam diskusi di kantor ICW, Jakarta, Minggu (9/9). Diskusi tersebut mengambil tema Polemik Pencalonan Napi Korupsi: Antara Komitmen Partai dan Penuntasan di Mahkamah Agung.
Meski berstatus mantan narapidana korupsi, hal itu tak mengurungkan niatnya untuk mencalonkan diri kembali sebagai calon Bupati Kudus. Ia berhasil kembali duduk di jabatan itu pada September 2018 setelah memenangkan Pilkada Kudus. Namun, setahun setelahnya, Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap Tamzil karena dugaan suap pengisian jabatan (Kompas, 27/07/2019).Desakan ICW pada DPR terkait masa jeda calon legislatif diharapkan dapat meminimalisasi terjadi peristiwa serupa. Kurnia menambahkan, putusan MK pada 2019 lalu semestinya dapat menjadi rujukan DPR untuk menerapkan hal yang sama bagi mantan narapidana korupsi.
Silang pendapat parpol
Sementara itu, anggota Komisi III DPR, Muhammad Nasir Djamil, mengatakan, UU Pemilu merupakan UU politik yang dinamis. Hal itu mengakibatkan adanya silang pendapat tiap kekuatan politik antar-anggota Dewan sehingga proses revisi UU Pemilu berjalan lambat.
”Nah, jadi memang kesannya lambat karena banyak sekali kepentingan dan dinamikanya,” ujar Nasir yang berasal dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera.
Kebijakan calon legislatif untuk kembali berkontestasi tak diatur dalam UU Pemilu saat ini sehingga DPR tak merasa ada kewajiban merevisinya. Selain itu, tak ada kebijakan pula yang menegaskan bahwa DPR harus menindaklanjuti putusan MK dalam bentuk formal.
Nah, jadi memang kesannya lambat karena banyak sekali kepentingan dan dinamikanya.
Meski demikian, Nasir mengakui bahwa proses revisi UU Pemilu sudah dibahas dalam Badan Legislasi. Ia berharap awal 2023, revisi UU tersebut tuntas. Dengan demikian, ia pun mendorong supaya putusan MK juga dapat diatur dalam norma sehingga memberi kepastian bagi narapidana tindak pidana korupsi pula.
Menurut jadwal Komisi Pemilihan Umum, pencalonan anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota mulai April-November 2023. Sementara pencalonan DPD berlangsung pada Desember 2022-November 2023.
KURNIA YUNITA RAHAYU
Pimpinan Komisi III DPR dalam rapat kerja dengan Polri di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (24/1/2022).
Lebih kritis
Selain itu, berdasarkan catatan ICW, DPR baru menuntaskan 12 rancangan undang-undang (RUU) dari 40 rancangan dalam program legislasi nasional prioritas 2022. Sederet regulasi tersebut tak ada yang memperkuat agenda pemberantasan korupsi.
Mereka punya forum yang bisa dilakukan, seperti rapat dengar pendapat dan rapat pengawasan kinerja. Tapi, pertanyaan-pertanyaan kritis atau kritik, sebagai contoh komisi III, jarang terdengar.
Salah satu rancangan legislasi, RUU Pemasyarakatan tak luput dari sorotan ICW. RUU itu menghilangkan syarat khusus narapidana korupsi untuk mengantongi remisi, asimilasi, serta pembebasan bersyarat. Sebagai contoh, bebasnya bekas Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah yang terjerat kasus suap bekas Ketua MK Akil Mochtar dan korupsi pengadaan alat kesehatan.
Kurnia menyebut, DPR juga semestinya dapat lebih kritis menjalankan fungsi pengawasannya. ”Mereka punya forum yang bisa dilakukan, seperti rapat dengar pendapat dan rapat pengawasan kinerja. Tapi, pertanyaan-pertanyaan kritis atau kritik, sebagai contoh komisi III, jarang terdengar,” kata Kurnia.
Alasannya, tak sedikit sejumlah aparat penegak hukum tersandung kasus. Contohnya adalah bekas Jaksa Pinangki Sirna Malasari yang tersandung korupsi, pencucian uang, dan pemufakatan jahat.
INDONESIA CORRUPTION WATCH
Daftar calon legislator bekas narapidana korupsi yang dirilis Indonesia Corruption Watch (ICW), 16 Januari 2019.