ICW Sebut Hanya 2,2 Persen Kerugian Negara Berhasil Dikembalikan
Sepanjang tahun 2021, kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp 62,9 triliun. Namun, hanya Rp 1,4 triliun yang berhasil dikembalikan kepada negara.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengembalian kerugian keuangan negara dalam kasus korupsi masih sangat minim sepanjang tahun 2021. Dalam catatan Indonesia Corruption Watch atau ICW, jumlah kerugian negara akibat tindak pidana korupsi yang melibatkan 1.404 terdakwa mencapai Rp 62,9 triliun. Akan tetapi, jumlah pengembalian kerugian negara yang dijatuhkan majelis hakim dalam pembayaran uang pengganti hanya sekitar 2,2 persen atau setara dengan Rp 1,4 triliun.
Kondisi ini salah satunya disebabkan dengan masih minimnya terdakwa korupsi yang juga dijerat dengan pidana pencucian uang. Dari total terdakwa sepanjang 2021, hanya 12 orang di antaranya yang oleh penegak hukum dituntut dengan pasal pencucian uang.
”Ini menandakan baik penuntut umum maupun majelis hakim tidak memiliki perspektif pemberian efek jera dari aspek ekonomi,” kata peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadana dalam konferensi pers ”Tren Korupsi 2021” yang dilakukan secara daring, Minggu (22/5/2022).
ICW meneliti data kasus korupsi dari 1 Januari hingga 31 Desember 2021 yang ada di Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Tindak Pidana Korupsi seluruh Indonesia dan Direktori Putusan Mahkamah Agung sebagai sumber primer. Dari 33 pengadilan tipikor yang ada, hanya 13 pengadilan yang memiliki kelengkapan data di SIPP-nya. Untuk itu, digunakan sumber sekunder berupa pemberitaan-pemberitaan daring di berbagai media.
Menurut Kurnia, selain rata-rata hukuman terpidana korupsi, salah satu yang ingin dipotret ICW adalah bagaimana implementasi pendekatan keadilan restorative dalam perkara korupsi melalui pemulihan kerugian keuangan negara via hukuman tambahan uang pengganti. ”Temuannya, kerugian keuangan negara jauh meningkat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Ada kenaikan sekitar lima persen dibandingkan tahun sebelumnya yang juga terbilang besar,” kata Kurnia.
Kerugian negara akibat kasus korupsi tahun 2020 adalah sebesar Rp 56,7 triliun. Pada tahun 2021, angka itu naik Rp 6,2 triliun menjadi 62,7 triliun. Data ini dihitung dari kasus-kasus korupsi yang ditangani baik oleh Kejaksaan maupun KPK.
Temuan ICW lainnya adalah rentang antara kerugian keuangan negara dengan pidana tambahan uang pengganti terpaut jauh. Bahkan, kondisinya lebih buruk dibanding tahun 2020. Dari 62,9 triliun kerugian negara, hukuman uang pengganti yang dijatuhkan oleh majelis hakim hanyalah Rp 1,4 triliun.
Kerugian negara akibat kasus korupsi tahun 2020 adalah sebesar Rp 56,7 triliun. Di tahun 2021, angka itu naik Rp 6,2 triliun menjadi 62,7 triliun. Data ini dihitung dari kasus-kasus korupsi yang ditangani baik oleh Kejaksaan maupun KPK.
Dalam kajiannya, ICW menemukan masih ada pandangan bahwa tuntutan uang pengganti dilakukan untuk perkara korupsi yang masuk ranah kerugian keuangan negara (Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor). Di luar itu, misalnya dalam kasus suap dan penerimaan gratifikasi, majelis hakim menolak untuk mengganjar pidana tambahan uang pengganti. Hal ini salah satunya terungkap dalam perkara mantan Sekretaris MA Nurhadi dimana majelis hakim menolak menjatuhkan hukuman uang pengganti.
Aparat penegak hukum juga belum menggunakan pendekatan perampasan aset hasil kejahatan. Sebab, dari total 1.403 terdakwa, hanya 12 orang yang dijerat dengan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Pasal yang dominan pun hanya pelaku aktif, tanpa ada satu pun pelaku pasif. Dari jumlah 12 orang yang didakwa TPPU, sebanyak 9 orang diantaranya merupakan perkara yang ditangani kejaksaan dan tiga orang lainnya oleh KPK.
Bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, jumlah pengenaan pasal TPPU di tahun 2021 lebih sedikit dibandingkan tahun 2020. Ada 20 terdakwa yang dijerat dengan UU TPPU pada tahun tersebut.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainur Rohman, mengungkapkan, tujuan penting dalam pemberantasan korupsi adalah pengembalian kerugian keuangan negara atau asset recovery. Korupsi merupakan kejahatan ekonomi yang memiliki dampak langsung (kerugian negara) dan kerugian tidak langsung atau potensial yang berdampak pada masyarakat.
Terkait dengan rendahnya uang pengganti, hal itu menunjukkan bahwa penegak hukum belum berhasil dalam mengupayakan asset recovery secara maksimal. Kemampuan penegak hukum dalam mengejar aset perlu dioptimalkan, terutama apabila aset tersebut disembunyikan, dilarikan, atau dialihnamakan.
Selain itu, penegak hukum juga harus menggunakan pendekatan UU TPPU dalam hal penuntutan. Lemahnya pendekatan TPPU oleh aparat penegak hukum juga mengakibatkan kerugian ganda. Selain tidak dapat memaksimalkan pengembalian uang negara atau asset recovery, ada kerugian lain yang diderita yaitu rugi dalam cost yang dikeluarkan dalam penegakan hukum dan juga membiayai terpidana di Lembaga pemasyarakatan.
“Pemulihan kerugian negara itu sejalan dengan penjeraan. Karena korupsi ini beda dengan jenis tindak pidana lain. Yang lain, jera dengan dipenjara. Tapi korupsi ini tidak, terpidana tidak jera kalau dipenjara. Karena ini adalah kejahatan ekonomi yang bertujuan untuk memperkaya diri, sehingga pelaku korupsi jera kalau dimiskinkan. Cara memiskinkannya adalah dengan uang pengganti dan denda. Tapi denda ini kan sangat terbatas, maksimalnya hanya Rp 1 miliar,” kata Zainur.
Hanya saja, mengidentifikasi harta hasil kejahatan memang membutuhkan waktu yang tidak sedikit dan relative sulit dilakukan. Jika ada kesalahan dalam penyitaan aset (bukan hasil tindak kejahatan), maka penegak hukum dapat digugat secara perdata.
UU Perampasan Aset
Guru besar hukum pidana Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Hibnu Nugroho, mengungkapkan, perlu ada jalan tengah untuk memaksimalkan pengembalian uang negara dari para pelaku korupsi. Dalam UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor, hukuman uang pengganti bisa disubsiderkan atau digantikan dengan hukuman kurungan. Ketentuan ini berbeda dari UU lama dimana uang pengganti diwariskan ke anak cucu atau keturunan, sehingga negara bisa menagihnya sebagai piutang.
”Tapi pada praktiknya, pemerintah tetap tidak bisa mengeksekusi. Karena ketidakefektifan ini, pengembalian kerugian negara melalui uang pengganti hanya menjadi angka saja. Maka di UU Pemberantasan Korupsi yang baru kemudian disubsiderkan dengan kurungan,” ujarnya.
Namun, hal tersebut juga menimbulkan persoalan. Sebab, banyak terpidana yang akhirnya memilih untuk menjalani hukuman kurungan daripada membayar uang pengganti. Dengan demikian, tidak mengherankan jika kerugian negara sedemikian besar tetapi uang negara yang terselamatkan sangat kecil. Oleh karena itu, Hibnu menyarankan perlunya jalan tengah untuk mengatasi persoalan tersebut.
“Akan sangat baik jika UU Perampasan Aset segera disahkan,” ujarnya. Penegak hukum harus berlomba-lomba dengan tersangka untuk menyita aset mereka sebelum aset-aset tersebut dialihnamakan.
Terkait dengan pentingnya UU Perampasan Aset segera disahkan, Zainur sepakat. UU Perampasan Aset ini akan memudahkan penegak hukum untuk menjerat pelaku korupsi.
Menanggapi hasil riset itu, Juru bicara Mahkamah Agung (MA) Andi Samsan Nganro mengatakan, pidana tambahan berupa pembebanan uang pengganti bukanlah satu-satunya sarana untuk memulihkan kerugian negara. Pemulihan justru diharapkan didapat dari penyitaan dan perampasan barang bukti melalui putusan hakim.
Selain itu, jumlah kerugian negara tidak selalu sama dengan hukuman pengganti. Pasal 18 ayat (1) huruf b UU Tipikor menegaskan, pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tidak pidana korupsi. ”Jadi, pembebanan uang pengganti tidak identik dengan jumlah kerugian keuangan negara,” tuturnya.