Komisi III DPR Klaim Penggantian Hakim Konstitusi Sesuai Permintaan MK
Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto menyebut penggantian Hakim Agung Aswanto semata-mata tafsir DPR atas surat Mahkamah Konstitusi yang diterima DPR sepekan lalu.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO, KURNIA YUNITA RAHAYU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat mengklaim, penggantian hakim konstitusi dari Aswanto ke Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi Guntur Hamzah sesuai dengan permintaan Mahkamah Konstitusi. Proses penggantian dinilai harus cepat karena Dewan Perwakilan Rakyat akan memasuki masa reses pada Selasa (4/10/2022).
Sebelumnya, dalam Rapat Paripurna DPR ke-7 Masa Sidang Pertama Tahun Sidang 2022-2023, Kamis (29/9), di Kompleks Senayan, Jakarta, parlemen memutuskan tidak memperpanjang masa jabatan hakim konstitusi yang berasal dari usulan lembaga DPR, Aswanto.
Aswanto kemudian digantikan oleh Guntur Hamzah sebagai hakim konstitusi. Penggantian ini dilakukan secara tiba-tiba setelah Komisi III DPR meminta kesediaan Guntur dalam rapat internal Komisi III, Kamis pagi.
Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Bambang Wuryanto saat ditemui seusai rapat mengatakan, penggantian Aswanto semata-mata merupakan tafsir DPR atas surat MK yang diterima sekitar seminggu yang lalu. Ia mengatakan, dalam rapat internal Komisi III, sempat terjadi perdebatan, tetapi hal tersebut dapat diselesaikan dengan cara voting.
”Jadi, kalau soal penafsiran terhadap surat, kan, bisa beda-beda. Tadi sempat diskusi panjang, itu yang tafsirnya tetap belum bersepakat, ya (Fraksi) Demokrat. Ya, (anggota Komisi III DPR dari Fraksi Demokrat) Pak Benny K Harman. Kalau yang lain, kan, sepakat,” ujar Bambang.
Penggantian Aswanto ini bermula dari putusan MK terkait dengan uji formil dan materiil terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang perubahan ketiga UU No 24/2003 tentang MK. UU tersebut mengubah masa jabatan hakim konstitusi dari sistem periodisasi lima tahunan menjadi sistem pensiun hingga usia 70 tahun, dengan catatan maksimal menjabat 15 tahun. Dalam ketentuan peralihan disebutkan bahwa ketentuan UU terbaru berlaku untuk hakim MK.
Dalam putusannya, MK menyatakan perlu ada konfirmasi dari lembaga pengusul terkait dengan keberlanjutan hakim konstitusi menjabat sesuai dengan UU baru. Konfirmasi tersebut berupa surat pemberitahuan dari ketua MK kepada lembaga pengusul mengenai kesediaan dari hakim konstitusi tertentu bersedia melanjutkan jabatannya. Namun, diduga surat ketua MK tersebut dimaknai sebagai permintaan konfirmasi dari lembaga pengusul berkenaan status keberlanjutan hakim tersebut.
Bambang mengungkapkan, pada prinsipnya DPR hanya menanggapi dan menafsirkan surat yang disampaikan MK. Ia tak mempersoalkan apakah tafsiran tersebut disetujui MK ataukah tidak. ”Monggo (silakan) saja,” ucapnya.
Ia mengaku, proses penggantian ini memang terbilang cepat. Guntur juga tidak melalui uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test). Pemilihan Guntur hanya berdasarkan rekam jejaknya yang dinilai memahami persoalan di MK.
”Kok,bisa Pak Guntur? Kan, kami juga searching (mencari) dulu, siapa orang yang paham di MK. Yang paling paham, ya, sekjen-lah. Jadi, tadi (di rapat internal Komisi III DPR) diperkenalkan. Ya, itulah, track record, kan juga sudah diberikan,” tutur Bambang.
Anggota Komisi III DPR dari PDI-P, Arteria Dahlan, meyakini DPR tidak salah tafsir atas surat MK. DPR hanya berusaha merespons cepat apa yang diminta MK. Apalagi, pada 4 Oktober mendatang, DPR sudah memasuki masa reses.
”Masa sidangnya sudah mau tutup, nih. Jangan sampai nanti, di masa reses, ada kegaduhan lagi. Sekarang sudah kami siapkan, kamu mau ini, ini jawabannya, semua ada, tidak usah gaduh lagi. DPR mempersiapkan diri untuk segala kemungkinan dan segala hal,” ujarnya.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Demokrat, Santoso, menegaskan, fraksinya sudah setuju dengan penggantian Aswanto ke Guntur sebagai hakim konstitusi. Perdebatan di dalam pembahasan, menurut dia, adalah hal yang wajar. Fraksinya juga menginginkan penggantian ini berjalan cepat karena putusan MK harus segera dilaksanakan.
Terkait kemunculan nama Guntur sebagai calon pengganti Aswanto, Santoso mengaku tidak terlalu mengetahuinya. ”Saya kurang begitu tahu juga, ya. Mungkin secara teknis koordinasi dan lain-lain sudah dilakukan di DPR pasti, oleh para petinggilah di DPR ini. Setelah itu, mekanismenya harus ada di Komisi III. Jadi, istilahnya kami ini chef, lo mau masak apa? Oh, gue mau masak nasi goreng. Oke, kami jadi chef-nya,” ucapnya.
Revisi UU MK
Selain menyetujui persetujuan hakim konstitusi, Rapat Paripurna DPR juga menyetujui revisi keempat atas UU No 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi menjadi rancangan undang-undang (RUU) usul inisiatif DPR. Sebelum menyatakan persetujuan, setiap fraksi partai politik semestinya menyampaikan pandangan atas usulan revisi tersebut.
Namun, Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad, selaku pimpinan rapat paripurna, meminta agar setiap fraksi menyerahkan pandangannya secara tertulis. Usulan itu juga disetujui seluruh fraksi.
Sesaat sebelum perwakilan fraksi menyerahkan pandangan resminya, sempat terdengar Dasco berkelakar. ”Shinkansen, shinkansen (kereta cepat yang beroperasi di Jepang),” ujarnya.
Dihubungi terpisah, Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas mengatakan, RUU MK masuk dalam daftar RUU kumulatif terbuka. Daftar RUU kumulatif terbuka yang dimaksud adalah RUU tertentu yang dapat diajukan oleh pemerintah, DPR, atau DPD berdasarkan kebutuhan. Dengan begitu, meski tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2022, RUU MK bisa tetap diusulkan untuk dibahas.
Supratman menjelaskan, RUU MK masuk dalam daftar kumulatif terbuka karena harus ada perubahan sebagai akibat dari dua putusan MK. Pertama, putusan MK Nomor 56/PUU-XX/2022 yang menyatakan bahwa salah satu unsur Majelis Kehormatan MK yang semula berasal dari Komisi Yudisial (KY) perlu diubah menjadi tokoh masyarakat yang berintegritas tinggi, memahami hukum dan konstitusi, serta tidak menjadi anggota partai politik.
Kedua, Putusan MK Nomor 96/PUU-XVIII/2020 terkait penghapusan Pasal 87 perubahan ketiga UU MK, yakni tentang ketentuan mengenai ketua dan wakil ketua MK yang menjabat sementara.
”Selanjutnya, keputusan ini akan dikirim ke pemerintah. Setelah itu, kami menunggu surat presiden (surpres) dan daftar inventarisasi masalah (DIM) dari pemerintah. Kalau sudah ada surpres dan DIM, baru akan masuk pembahasan,” kata Supratman.
Ia menambahkan, merujuk ke UU No 13/2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pemerintah memiliki waktu 60 hari untuk mengirimkan surpres dan DIM setelah menerima surat dari DPR ihwal RUU usul inisiatif DPR. Baik surpres maupun DIM wajib dikirimkan sekalipun pemerintah tidak setuju atas usulan revisi UU yang dimaksud.