Hanya Konfigurasi Ketua dan Wakil Ketua MK yang Dikabulkan
Dari empat perkara yang menguji konstitusionalitas UU MK terbaru, hakim konstitusi hanya mengabulkan konfigurasi ketua dan wakil ketua MK yang harus melalui proses pemilihan. Pemilihan itu akan diadakan 9 bulan lagi.
JAKARTA, KOMPAS — Upaya sejumlah kalangan untuk menguji konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi, baik secara formil maupun materiil, kandas di tangan sembilan hakim konstitusi. Dengan demikian, sah sudah masa jabatan hakim konstitusi yang ada saat ini hingga berusia 70 tahun atau paling lama menjabat selama 15 tahun. Ketentuan ini membuat beberapa hakim konstitusi akan menjabat hingga 2032.
Dari sekian banyak hal yang dipersoalkan oleh empat pemohon uji formil dan materiil UU No 7/2020, MK hanya mengabulkan salah satu ketentuan (Pasal 87 huruf a) terkait dengan masa jabatan ketua dan wakil ketua MK. Meski diwarnai beda pendapat (dissenting opinion) dan alasan berbeda (concurring opinion), mayoritas hakim sepakat bahwa ketua MK dan wakil ketua MK saat ini tidak bisa otomatis melanjutkan masa jabatannya hingga lima tahun.
Menurut UU No 8/2011 sebagai perubahan atas UU No 24/2003 tentang MK sebelumnya, diatur masa jabatan ketua-wakil ketua MK adalah 2 tahun 6 bulan. UU MK terbaru memperpanjangnya menjadi 5 tahun. Dengan adanya putusan MK pada Senin itu, ketua-wakil ketua MK harus dipilih kembali paling lama 9 bulan sejak putusan dibacakan.
Salah satu pemohon uji formil dan materiil, Violla Reininda, menilai, dari putusan tersebut terlihat bagaimana mayoritas hakim konstitusi menyambut perpanjangan masa jabatan. ”Semakin terlihat, kursi hakim MK mayoritas diisi oleh orang-orang yang kenegarawanannya dipertanyakan,” ujarnya.
Baca juga: Masa Jabatan Dihapus, Hakim Konstitusi Akan Menjabat hingga Usia 70 Tahun
Selain itu, yang dikehendaki mayoritas hakim adalah perubahan konfigurasi ketua dan wakil ketua. ”Pada 9 bulan ke depan, kita akan menyaksikan mayoritas hakim berpolitik untuk memperebutkan posisi ini,” ucap Violla.
Selain Violla (perkara 100/PUU-XVII/2020), perkara diajukan pula oleh Allan Fatchan Gani Wardana dan kawan-kawan (90/PUU-XVII/2020), Priyanto (96/PUU-XVII/2020), dan Ign Supriadi (56/PUU-XX/2022). Dari empat perkara itu, salah satu ketentuan yang dipersoalkan adalah Pasal 87 Huruf a dan b UU No 7/2020. Huruf a terkait dengan masa jabatan ketua dan wakil ketua MK, sedangkan Huruf b terkait dengan akhir masa jabatan hakim MK sampai usia 70 tahun atau paling lama menjabat 15 tahun.
Dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman, hakim konstitusi Aswanto menyampaikan pertimbangannya bahwa Pasal 87 Huruf b merupakan jembatan/penghubung yang mentransformasikan konsep lama menjadi konsep baru, di mana anutan konsep lama adalah periodisasi jabatan hakim, dan anutan konsep baru adalah non-periodisasi hakim.
Hakim konstitusi Enny Nurbaningsih mengungkapkan, untuk menegaskan aturan peralihan tersebut tidak dibuat untuk memberikan keistimewaan terselubung kepada orang tertentu yang saat ini menjabat sebagai hakim konstitusi, MK berpendapat, perlu dilakukan tindakan hukum untuk menegaskan pemaknaan tersebut. Tindakan hukum itu berupa konfirmasi oleh MK kepada lembaga yang mengajukan hakim konstitusi yang saat ini menjabat.
”Konfirmasi yang dimaksud mengandung arti bahwa hakim konstitusi melalui MK menyampaikan pemberitahuan ihwal melanjutkan masa jabatannya yang tidak lagi mengenal adanya periodisasi kepada setiap lembaga pengusul (DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung,” kata Enny.
Baca juga: Perihal Rencana Pernikahan Ketua MK
Terkait dengan batasan usia, baik usia minimal untuk menjabat maupun usia maksimum hakim konstitusi, MK tetap pada pendiriannya bahwa penentuan batasan usia merupakan kebijakan hukum terbuka dari pembentuk undang-undang, selama pilihan demikian merupakan pilihan terbaik dalam arti memilih kebijakan hukum yang dampaknya paling ringan bagi semua pihak terdampak berdasarkan prinsip maximum minimorum.
Dengan demikian, menurut Enny, Pasal 87 huruf b UU No 7/2020 sudah sejalan dengan prinsip kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.
Dengan demikian, menurut Enny, Pasal 87 huruf b UU 7/2020 sudah sejalan dengan prinsip kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.
Bertentangan
Namun, MK menyatakan, ketentuan Pasal 87 huruf a UU No 7/2020 terkait dengan masa jabatan ketua dan wakil ketua MK selama lima tahun dinyatakan bertentangan dengan konstitusi dan tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat. Pasal 87 huruf a memberikan jalan perubahan aturan masa jabatan ketua/wakil ketua MK yang semula 2,5 tahun (Pasal 4 UU Ayat (3) UU 8/2011) menjadi 5 tahun pada UU terakhir. Namun, menurut hakim MK, ketentuan peralihan pada Pasal 87 huruf a tersebut tidak sesuai dengan Pasal 24C Ayat (4) UUD 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa ketua dan wakil ketua MK dipilih dari dan oleh hakim konstitusi.
”Oleh karena itu, Ketua dan Wakil Ketua MK tidak dapat langsung menjabat tanpa melalui proses pemilihan dari dan oleh hakim konstitusi. Dengan demikian, proses pemilihan ketua dan wakil ketua MK harus dikembalikan pada esensi pokok amanat Pasal 24C Ayat (4) UUD 1945,” kata Enny Nurbaningsih.
Namun, agar tidak menimbulkan persoalan atau dampak administratif atas putusan itu, Ketua dan Wakil Ketua MK yang menjabat saat ini tetap dinyatakan sah sampai dengan terpilihnya ketua dan wakil ketua yang dilaksanakan paling lama 9 bulan sejak putusan tersebut diucapkan.
Atas putusan ini, dua hakim, yaitu Arief Hidayat dan Manahan MP Sitompul, mengajukan alasan dan pendapat yang berbeda. Perpanjangan masa jabatan ketua dan wakil ketua MK tidak dapat secara otomatis berlaku sesuai dengan norma Pasal 87 huruf a UU MK sebab konstitusi mengatur bahwa ketua/wakil ketua harus dipilih dari dan oleh hakim konstitusi sehingga tidak dapat diperpanjang langsung. Sebab, perpanjangan masa jabatan ketua/wakil ketua menegasikan hak dan wewenang hakim konstitusi dalam pemilihan pimpinannya.
Baca juga: Ketua MK Pimpin Panel Uji Formil UU IKN
”Ketua/wakil ketua yang masa jabatannya berakhir setelah UU a quo dapat melanjutkan masa jabatannya sebagai ketua/wakil ketua MK sepanjang telah dilakukan pemilihan dari dan oleh hakim konstitusi,” ujar Arief Hidayat.
Terkait dengan ketentuan Pasal 87 huruf b UU MK mengenai masa jabatan hakim konstitusi saat ini, Arief dan Manahan menyatakan bahwa bagi hakim yang saat ini menjabat yang tidak memenuhi syarat (belum berusia 55 tahun) perlu mendapat konfirmasi dari lembaga pengusul untuk dapat melanjutkan masa jabatannya. Lembaga pengusul bisa menolak atau menyatakan hakim tersebut bisa melanjutkan jabatannya. Dengan demikian, keduanya berpendapat Pasal 87 huruf b harus dinyatakan inkonstitusional bersyarat, yakni setelah mendapatkan konfirmasi dari lembaga pengusul (Presiden, Mahkamah Agung, atau DPR).
Sementara itu, Anwar Usman yang saat ini merupakan Ketua MK mengajukan pendapat berbeda. Ia lebih sepakat jika Pasal 87 huruf a dan b dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Menurut dia, pasal tersebut konstitusional sepanjang hakim konstitusi yang menjabat hingga berusia 70 tahun dengan masa jabatan maksimal 15 tahun hanya berlaku bagi hakim yang memenuhi ketentuan syarat usia minimal 55 tahun. Demikian pula dengan ketua MK dan wakil ketua MK, hanya berlaku untuk hakim yang memenuhi syarat sebagai hakim konstitusi. Hal terpenting demi prinsip kepastian hukum dan kesamaan di hadapan hukum.
Seperti diketahui, salah satu hakim konstitusi saat ini ada yang masih berusia 52 tahun. Hakim tersebut adalah hakim konstitusi Saldi Isra.
Hakim konstitusi Wahiduddin Adam dalam ’disenting opinion’-nya mengatakan bahwa Pasal 87 huruf b UU No 7/2020 seharusnya dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Sebab, pasal tersebut jauh lebih tampak sebagai suatu norma materi pokok yang secara nyata memberi keuntungan.
Hakim konstitusi Wahiduddin Adam dalam disenting opinion-nya mengatakan bahwa Pasal 87 huruf b UU No 7/2020 seharusnya dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Sebab, pasal tersebut jauh lebih tampak sebagai suatu norma materi pokok yang secara nyata memberi keuntungan (privilege) sebagian besar hakim konstitusi yang ada saat ini. Alih-alih sebagai suatu materi ketentuan peralihan seperti pada umumnya, ketentuan itu dimaksudkan agar hakim konstitusi yang ada saat ini sekadar tidak dirugikan. ”Teramat sulit bagi Mahkamah untuk dapat terhindar dari bias subyektif dalam memeriksa, mengadili, dan memutus konstitusionalitas Pasal 87 huruf b UU a quo,” katanya.
Uji formil
Pemohon perkara 100/2020 menilai, proses pembuatan UU No 7/2020 cacat formil karena melanggar asas pembentukan undang-undang, yakni asas keterbukaan sebab UU tersebut dibentuk tanpa partisipasi publik dan proses pembahasannya dilakukan tertutup dengan waktu yang sangat terbatas. Pemohon mendalilkan pembahasan hanya berlangsung tiga hari. Pemohon juga menilai pembentuk UU melakukan penyelundupan hukum.
Baca juga: MK Diminta Batalkan Seluruh UU KPK
Atas dalil tersebut, MK mendasarkan putusannya bahwa revisi UU MK sebenarnya merupakan tindak lanjut putusan-putusan MK sebelumnya. Hakim konstitusi Daniel Yusmic P Foekh saat membacakan pertimbangan mengungkapkan, mengingat revisi UU MK merupakan tindak lanjut putusan MK, maka tata cara perubahan UU No 7/2020 menjadi tidak relevan lagi dipersoalkan. Hal ini dimaksudkan agar esensi perubahan tersebut sepenuhnya mengadopsi substansi putusan MK. Jika perubahan itu dilakukan sebagaimana layaknya RUU lain, justru berpotensi menilai dan menegasikan putusan MK.
Terkait dengan hal tersebut, Violla menilai, MK inkonsisten, formalistik, dan tidak kontekstual dalam memeriksa dan memutus perkara. MK tidak mengadopsi meaningfull participation di dalam putusannya dan gagal melihat konteks kondisi pembentukan UU. Padahal, pembentuk UU yang beralasan merevisi UU MK untuk menindaklanjuti putusan MK hanya dalih semata.
”Norma inti dari revisi ini bahkan bukan merupakan perintah perubahan dari MK dalam putusan sebelumnya. Belum lagi proses yang sangat tergesa-gesa hanya memerlukan tiga hari pembahasan dan pembatasannya tertutup. MK sengaja menutup mata terhadap fakta ini,” kata dia.
Salah satu pemohon uji formil, Allan Fatchan Gani Wardhana, yang juga Direktur Pusat Studi Hukum Konstitusi Universitas Islam Indonesia, mengungkapkan, hakim MK kurang mempertimbangkan fakta bahwa proses pembentukan UU MK dilakukan secara tertutup dan tidak disertai dengan naskah akademik yang sesuai dengan ketentuan UU tentang tata cara pembentukan UU.
Sementara itu, terkait dengan permohonan uji materiil yang oleh MK dinyatakan tidak dapat diterima karena tidak memiliki kedudukan hukum sebagai pemohon, pihaknya menilai MK terlalu menyederhanakan (oversimplification) perkara konstitusionalitas yang sangat penting dengan berlindung di balik legal standing. Ini seperti diamini oleh hakim konstitusi Wahiduddin Adams dalam disenting opinion-nya. Padahal, MK memiliki waktu yang cukup lama untuk memutus perkara ini, yakni 1,5 tahun.
Adapun terkait dengan substansi masa jabatan hakim konstitusi hingga berusia 70 tahun atau paling lama 15 tahun, Allan menilai bahwa hal tersebut telah menghilangkan ruang evaluasi kepada hakim konstitusi yang dimiliki tiap warga negara untuk menilai hakim yang kinerja hakim yang bertugas saat ini. Ia juga menilai, mempertahankan pasal perpanjangan masa jabatan hakim MK yang aktif saat ini akan melahirkan distorsi terhadap jaminan kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Ketentuan tersebut juga menjadi preseden buruk di kemudian hari bahwa jabatan hakim konstitusi yang sedang melaksanakan tugas dapat diubah sewaktu-waktu atas dasar kepentingan dan motif politik tertentu dari pembentuk undang-undang.
PSHK Fakultas Hukum UII dalam waktu dekat akan mengadakan eksaminasi terhadap putusan MK tersebut.