Terbukti Terima Suap, Eks Dirjen Kemendagri Divonis 6 Tahun Penjara
Eks Dirjen Kemendagri M Ardian Noervianto dinyatakan terbukti menerima suap 131.000 dollar Singapura dalam pengurusan dana PEN. Meskipun demikian, vonis yang dijatuhkan hakim lebih ringan dua tahun dari tuntutan jaksa.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bekas Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri Mochamad Ardian Noervianto dihukum 6 tahun penjara. Hakim menyatakan Ardian terbukti menerima suap sebesar 131.000 dollar Singapura dalam pengurusan persetujuan usulan dana Pemulihan Ekonomi Nasional atau PEN untuk Pemerintah Daerah Kabupaten Kolaka Timur pada 2021.
Sidang yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (28/9/2022), dipimpin oleh ketua majelis hakim Suparman Nyompa. Ardian hadir di persidangan dengan didampingi penasihat hukumnya.
”Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 6 tahun dan denda sebesar Rp 250 juta dengan ketentuan jika denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan,” kata Suparman.
Ardian juga dihukum membayar uang pengganti kepada negara sebesar 131.000 dollar Singapura. Jika uang pengganti tidak dibayar paling lama satu bulan setelah putusan pengadilan memperoleh keputusan hukum tetap, maka harta bendanya disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Apabila Ardian tidak mempunyai harta benda untuk membayar uang pengganti tersebut, maka dipidana penjara selama satu tahun.
Adapun hukuman yang dijatuhkan oleh hakim lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebelumnya, Ardian dituntut 8 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan pidana kurungan. Ia juga dituntut membayar uang pengganti Rp 1,5 miliar subsider tiga tahun penjara.
Atas putusan hakim, jaksa penuntut umum (JPU) menyatakan pikir-pikir. Begitu juga dengan Ardian mengatakan pikir-pikir.
Hukuman yang dijatuhkan oleh hakim lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi.
Hakim menyampaikan, uang 131.000 dollar Singapura tersebut diterima dari bekas Bupati Kabupaten Kolaka Timur Andi Merya melalui bekas Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Muna Laode M Syukur Akbar. Laode merupakan teman satu angkatan Ardian ketika kuliah di Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN).
Andi memberikan uang tersebut untuk memperoleh pinjaman dana PEN. Ia memperoleh informasi adanya pinjaman lunak tersebut dari pengusaha asal Kabupaten Muna, LM Rusdianto Emba. Jika ingin memperoleh pinjaman PEN, Andi harus menyiapkan uang sebanyak 1 persen dari total pinjaman.
Rusdianto memperoleh informasi tersebut dari Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) Kabupaten Muna Sukarman Loke. Adapun Sukarman mendapatkan informasi tersebut dari Laode. Laode memperoleh informasi tersebut langsung dari Ardian.
Setelah mendapatkan uang dari Andi, Ardian memberikan paraf pada surat pertimbangan atas usulan pinjaman PEN Kabupaten Kolaka Timur sebagai syarat untuk ditandatangani oleh Menfdagri. Namun, pada 21 September 2021 Andi terkena operasi tangkap tangan oleh KPK sehingga pembahasan PEN Kolaka Timur ditangguhkan.
Hakim juga menjatuhkan hukuman penjara kepada Laode M Syukur Akbar.
Selain Ardian, hakim juga menjatuhkan hukuman penjara kepada Laode M Syukur Akbar. Laode dijatuhi hukuman penjara 5 tahun serta denda Rp 250 juta. Apabila denda tersebut tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan. Laode juga dihukum membayar uang pengganti Rp 175 juta subsider 3 bulan pidana penjara.
Hukuman itu juga lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum. Sebelumnya, Laode dituntut 5 tahun dan 6 bulan penjara serta denda Rp 200 juta subsider dua bulan pidana penjara. Ia juga dituntut uang pengganti sebesar Rp 175 juta subsider 3 bulan pidana penjara.
Atas putusan tersebut, jaksa menyatakan pikir-pikir. Laode juga mengatakan pikir-pikir.
Pada sidang lainnya, jaksa KPK mendakwa Direktur Jenderal Hortikultura Hasanuddin Ibrahim sekaligus sebagai kuasa pengguna anggaran (KPA) di Direktorat Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian melakukan korupsi. Hasanuddin didakwa merekayasa kegiatan pengadaan fasilitasi sarana budidaya guna mendukung pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT). Kegiatan itu terkait dengan belanja barang fisik lainnya untuk diserahkan kepada masyarakat/pemda di Direktorat Jenderal Hortikultura Kementan RI Tahun Anggaran 2013.
Hasanuddin bersama Eko Mardiyanto selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) pada Satuan Kerja Direktorat Jenderal Hortikultura Kementan dan Direktur Utama PT Hidayah Nur Wahana, Sutrisno, diduga melakukan penambahan volume kegiatan dalam proses penganggaran tanpa analisis/identifikasi kebutuhan yang sebenarnya.
Mereka juga diduga mengarahkan spesifikasi pengadaan ke merek Rhizagold, melakukan penggelembungan harga barang pengadaan, dan menetapkan Keputusan Kelompok Tani Penerima Bantuan mendahului tanggal yang sebenarnya. Perbuatan tersebut diduga telah merugikan keuangan negara sekitar Rp 12,9 miliar.