Ciptakan Efek Jera, Hukuman Maksimal Perlu Diterapkan terhadap Koruptor
Efek jera sangat penting diterapkan untuk mencegah korupsi. Karena itu, penegak hukum harus bervisi ke depan mengoptimalkan tuntutan yang diatur dalam undang-undang.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah terbuka lebarnya kesempatan bagi terpidana kasus korupsi memperoleh keringanan hukuman, aparat penegak hukum kini harus berupaya keras agar memberikan tuntutan hukuman yang maksimal sesuai peraturan perundangan yang ada terhadap terdakwa korupsi. Dengan demikian, efek jera dapat diterapkan agar tindak pidana korupsi bisa dikendalikan.
Guru Besar Hukum Acara Pidana Universitas Jenderal Soedirman Hibnu Nugroho saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (9/9/2022), mengatakan, sejak Mahkamah Agung membatalkan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, tak ada regulasi yang bisa membatasi pemberian remisi terhadap narapidana kasus korupsi. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan malah menegaskan bahwa remisi menjadi hak setiap napi, termasuk napi kasus korupsi.
Dengan kondisi seperti ini, harapan agar efek jera dapat diterapkan terhadap pelaku tindak pidana korupsi hanya ada pada penegak hukum. Hibnu menegaskan, efek jera sangat penting diterapkan untuk mencegah tindak pidana, termasuk korupsi. ”Karena itu, penegak hukum harus bervisi ke depan mengoptimalkan (tuntutan) dari rumusan undang-undang yang ada,” katanya.
Pada 6 September, setelah memperoleh pembebasan bersyarat dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, 23 napi kasus korupsi keluar dari lembaga pemasyarakatan, di antaranya bekas jaksa Pinangki Sirna Malasari. Jumlah itu bertambah setelah bekas Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik memperoleh cuti menjelang bebas pada 8 September.
Lebih lanjut disampaikan Hibnu, agar bisa memberikan efek jera terhadap pelaku korupsi, hakim harus memaksimalkan pasal dari undang-undang yang dijatuhkan. Jaksa penuntut umum juga harus menuntut lebih optimal. Menurut Hibnu, selama ini jaksa masih mengajukan tuntutan dengan hukuman minimal. Seharusnya mereka bisa menuntut dengan hukuman maksimal.
Efek jera sangat penting diterapkan untuk mencegah tindak pidana, termasuk korupsi. ”Karena itu, penegak hukum harus bervisi ke depan mengoptimalkan (tuntutan) dari rumusan undang-undang yang ada.
Hibnu memberikan contoh kasus Pinangki. Terpidana korupsi pengurusan fatwa bebas untuk Joko S Tjandra itu hanya dituntut 4 tahun penjara. Putusan hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta yang memperberat hukuman terhadap Pinangki menjadi 10 tahun penjara. Namun, di tingkat banding, majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memangkas vonis hukuman itu menjadi 4 tahun penjara sesuai tuntutan jaksa. Kejaksaan Agung tak mengajukan kasasi karena putusan Pengadilan Tinggi DKI sesuai tuntutan jaksa.
”(Dari contoh) ini, penuntut umum harus mengoptimalkan (pidana) yang dirumuskan pada setiap pasal yang didakwakan kepada terdakwa,” kata Hibnu.
Mencabut hak remisi
Menurut Hibnu, UU No 20/2001 tentang Perubahan atas UU No 31/1991 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga perlu diubah. Menurut dia, hukuman bagi terdakwa korupsi dalam UU itu masih terlalu ringan. Selain itu, juga memberikan kewenangan kepada hakim menjatuhkan putusan di luar yang ditentukan, seperti menggunakan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yakni pencabutan hak remisi.
Kepala Bagian Pemberitaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ali Fikri menegaskan, bagi KPK, korupsi adalah kejahatan luar biasa. Bahkan, kejahatan kemanusiaan yang dampaknya begitu dashyat. Karena itu, penegakan hukum sampai pembinaan terhadap para narapidana kasus korupsi pascaputusan hakim juga harus dengan cara-cara yang luar biasa. Hal itu bertujuan agar efek jera muncul, baik dari pelaku maupun pembelajaran bagi semua orang supaya tidak melakukan korupsi.
Ali mengungkapkan, salah satu upaya yang bisa dilakukan KPK adalah dengan menuntut terdakwa dengan pencabutan hak politik yang saat ini sudah sering dilakukan. Ke depan, KPK akan mencoba menuntut terdakwa dengan pencabutan hak untuk mendapatkan remisi.
”Jaksa dapat menuntut agar terdakwa dicabut hak untuk mendapatkan remisi nantinya apabila perkara telah berkekuatan hukum tetap dan dieksekusi jaksa untuk menjalani pembinaan di lapas (lembaga pemasyarakatan). Namun, hal ini tentu perlu kajian mendalam lebih dahulu aspek hukumnya,” kata Ali.
Akan tetapi, KPK tidak bisa menuntut semua terdakwa dengan hukuman maksimal. Sebab, kata Ali, KPK telah memiliki pedoman penuntutan. KPK menuntut terdakwa sesuai fakta hukum di persidangan. Ada banyak faktor, baik yang memberatkan maupun meringankan. Setiap terdakwa memiliki tingkat derajat kesalahan yang berbeda. Jaksa KPK menuntut terdakwa atas dasar keadilan dan kebenaran.
Ali mengungkapkan, upaya lain yang bisa dilakukan oleh KPK adalah dengan melakukan perampasan aset dari para koruptor melalui denda, uang pengganti, rampasan, dan penetapan status penggunaan ketika putusan inkrah. Karena itu, untuk memaksimalkan pemulihan aset dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi, KPK terus mendorong pengesahan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana mengatakan, sebagai upaya pemberian efek jera bagi pelaku tindak pidana korupsi, Kejagung memberikan sanksi hukuman pidana yang maksimal terhadap beberapa kasus. Ia mencontohkan, dalam kasus korupsi PT Asabri (Persero), jaksa penuntut umum menuntut pelakunya dengan hukuman mati.
Selain itu, kata Ketut, kejaksaan berupaya melakukan tindakan maksimal dalam pengembalian keuangan negara dengan pelacakan dan penyitaan aset, menjerat dengan tindak pidana pencucian uang (TPPU), sampai pada memidana korporasinya.