Kasus Dugaan Pelanggaran HAM Berat Paniai Disidangkan September Ini
Sidang kasus dugaan pelanggaran HAM berat Paniai, yang semula diagendakan digelar akhir Agustus lalu, molor menjadi pertengahan September ini karena menanti turunnya Keppres Pengangkatan Hakim HAM Ad Hoc.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sidang kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia berat Paniai, Papua, ditargetkan akan digelar di Pengadilan HAM Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Makassar, Sulawesi Selatan, pertengahan September ini. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berharap Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban bisa memberikan akomodasi dan perlindungan bagi korban dan saksi yang akan mengikuti sidang tersebut.
Juru Bicara Mahkamah Agung Andi Samsan Nganro saat dikonfirmasi, Minggu (4/9/2022), mengatakan, sebelumnya MA merencanakan sidang kasus dugaan pelanggaran HAM berat Paniai digelar pada akhir Agustus lalu. Namun, pelaksanaan sidang tersebut bergantung pada payung hukum Keputusan Presiden (Keppres) Pengangkatan Hakim HAM Ad Hoc. Keppres itu baru keluar pada akhir Agustus lalu. Salinan Keppres diterima MA pada Selasa (30/8/2022) dari Kementerian Sekretariat Negara.
”Terpaksa jadwal rencana persidangannya molor (dari target awal) karena hakim ad hoc HAM sebelum melaksanakan tugas harus dilantik dulu,” katanya.
Wakil Ketua MA Bidang Yudisial ini juga menjelaskan, setelah para hakim ad hoc itu dilantik, MA baru bisa menunjuk majelis hakim yang akan menyidangkan perkara itu. Hakim ad hoc HAM tingkat pertama akan dilantik oleh Ketua Pengadilan Negeri setempat, sedangkan hakim tingkat banding dilantik oleh Ketua Pengadilan Tinggi.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, kasus dugaan pelanggaran HAM berat yang sudah dilimpahkan dari Kejaksaan Agung akan ditangani oleh dua hakim karier dan tiga hakim ad hoc HAM.
”Dengan begitu, diharapkan setelah hakim ad hoc HAM dilantik akhir Agustus ini, maka persidangannya dapat diselenggarakan pada pertengahan September,” ujarnya.
Wakil Ketua Komnas HAM Amiruddin Al Rahab berharap MA segera menentukan komposisi majelis hakim pengadilan kasus dugaan pelanggaran HAM berat Paniai. Sesuai dengan UU Pengadilan HAM, proses peradilan kasus dugaan pelanggaran HAM berat memang digelar di empat kota salah satunya Makassar, Sulsel. Meski demikian, dengan situasi dan kondisi saat ini, sidang semestinya bisa digelar di Jayapura, Papua, dengan pertimbangan kedekatan dengan tempat tinggal korban dan para saksi kejadian.
”Tapi, mungkin tidak ada kesiapan untuk persidangan dibuka di kota lain. Semestinya bisa dilakukan di Jayapura karena di UU juga disebutkan bisa dibuka di setiap pengadilan negeri yang ada di seluruh Indonesia,” terangnya.
Dia juga berharap LPSK bisa bergerak proaktif untuk memberikan akomodasi dalam menghadirkan korban dan saksi untuk keperluan persidangan di Makassar. Meski demikian, yang berwenang untuk menghadirkan korban dan saksi dalam konteks persidangan adalah jaksa penuntut umum. Namun, menurut dia, LPSK juga berwenang untuk memberikan perlindungan hukum terhadap korban dan saksi kasus dugaan pelanggaran HAM berat.
Terkait hal ini, Komnas HAM dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) juga sudah bertemu langsung dengan pimpinan LPSK yang membidangi perlindungan saksi. Komnas HAM berharap LPSK bisa menyiapkan sejak awal mekanisme perlindungan terhadap saksi dan korban dugaan pelanggaran HAM Paniai.
Dihubungi secara terpisah, Wakil Ketua LPSK Maneger Nasution mengatakan, LPSK masih menunggu surat rekomendasi atau keterangan korban dari Komnas HAM. Selain itu, surat permohonan perlindungan saksi dari Kejaksaan Agung. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, basis perlindungan terhadap saksi dan korban adalah permohonan. Sifat dari perlindungan itu adalah kesukarelaan.
Kasus Paniai berawal dari insiden antara sejumlah aparat keamanan dan pemuda di Kampung Ipakiye, Distrik Paniai Timur, pada 2014. Saat itu, aparat keamanan menganiaya sejumlah warga yang memberikan peringatan karena ada aparat yang mengendarai mobil tanpa menyalakan lampu. Masyarakat yang tidak terima atas penganiayaan itu lantas berunjuk rasa. Mereka dihadang petugas gabungan yang hendak mengamankan aksi. Bentrokan pun pecah. Aparat menembakkan senjatanya untuk mengendalikan massa. Empat orang meninggal, belasan lainnya terluka.
Proses hukum kasus dugaan pelanggaran HAM berat ini ditangani Kejaksaan Agung. Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung Febrie Adriansyah mengatakan, penyidik Jampidsus menetapkan seorang tersangka berinisial IS dalam kasus ini. ”(Tersangka) purnawirawan TNI. Dulu (saat kejadian) perwira penghubung di kodim saat itu. Kodim Paniai,” kata Febrie (Kompas, 2/4/2022).