Penuntasan Kasus HAM Berat Paniai, Momentum Perbaiki Kepercayaan Warga Papua
Pengadilan HAM Panian menjadi upaya pemerintah merebut kepercayaan warga Papua. Namun, Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena mengatakan, kasus itu akan jadi PR terus jika prosesnya setengah hati.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyelesaian kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia berat Paniai secara tidak langsung akan menjadi upaya merebut kepercayaan warga Papua. Sebentar lagi, kasus itu akan disidangkan di Pengadilan HAM. Namun, Amnesty International dan Kontras pesimistis proses hukum kasus tersebut memuaskan jika melihat dari komposisi hakim ad hoc yang baru saja terpilih oleh Mahkamah Agung.
Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena saat konferensi pers, Rabu (27/7/2022), mengatakan, penuntasan kasus dugaan pelanggaran HAM berat adalah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan negara secara serius. Dugaan pelanggaran HAM Papua tidak bisa diselesaikan dengan setengah hati. Selain menjadi perhatian dunia internasional, proses hukum kasus Paniai juga menjadi sorotan masyarakat Papua. Bagaimana masyarakat Papua berjuang mendapatkan keadilan atas kasus dugaan pelanggaran HAM berat yang selama ini meruntuhkan harga diri mereka. Selama ini, pendekatan keamanan yang diterapkan oleh pemerintah dinilai tak berhasil mengatasi konflik bersenjata di Papua. Penyelesaian kasus dugaan pelanggaran HAM berat ini sebenarnya bisa dijadikan momentum untuk memperbaiki kepercayaan publik Papua terhadap pemerintah.
”Namun, sayangnya, saat ada upaya penegakan hukum dugaan pelanggaran HAM berat kasus Paniai justru dilakukan setengah hati. Ini menunjukkan catatan bahwa perlindungan hak asasi manusia bagi Papua masih setengah hati,” ujar Wirya saat konferensi pers bersama sikap masyarakat sipil terhadap kasus Paniai, Rabu.
Wirya menambahkan, catatan dari Amnesty International Indonesia, upaya penanganan yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi konflik bersenjata di Papua masih banyak melibatkan kekerasan terhadap warga sipil. Strategi pendekatan keamanan yang dilakukan oleh pemerintah justru memperburuk ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah. Catatan Amnesty, sepanjang tahun ini saja sudah ada 69 kasus pembunuhan di luar hukum (extra judicial killing) di wilayah konflik di Papua. Artinya, situasi perlindungan hak asasi manusia di Papua sedang tak baik-baik saja.
Seharusnya, upaya penyelesaian dugaan kasus pelanggaran HAM berat dilakukan dengan serius. Salah satunya untuk mengembalikan kepercayaan publik Papua terhadap pemerintah. Jika memang ada komitmen dari pemerintah untuk itu, upaya penyelesaian hukum masalah Papua harus dilakukan secara berkeadilan. Upaya penegakan hukum bisa dimulai dengan keberpihakan kepada korban.
”Seharusnya, ini menjadi momentum pemerintah menunjukkan keseriusannya untuk menyelesaikan masalah di Papua. Ini adalah masalah kemanusiaan, ada laporan yang jelas dan obyektif dari Komnas HAM soal hal itu. Tak ada alasan untuk tidak menyelesaikan pelanggaran HAM berat dengan tidak serius,” kata Wirya.
Pesimistis
Warga Papua, Nehemia Yerinab, dari Organisasi Bersatu untuk Kemanusiaan mengatakan, warga Papua memiliki pengalaman buruk dalam kasus hukum pelanggaran HAM berat Abepura tahun 2004. Pantauan lembaga nonpemerintah di Papua saat itu, aparat penegak hukum terkesan mengulur waktu untuk mengadili perkara tersebut. Bahkan, ada sejumlah kejanggalan, seperti dugaan penghilangan barang bukti. Pada saat itu, pengadilan kasus pelanggaran HAM berat Abepura juga dianggap tak serius.
”Masyarakat Papua sudah sering dijanjikan penyelesaian kasus dugaan HAM berat, tetapi kami belum melihat ada keseriusan soal itu. Yang terlihat adalah masih kentalnya kepentingan politik sehingga korban pesimistis kasus tersebut diungkap secara tuntas,” kata Nehemia.
”Masyarakat Papua sudah sering dijanjikan penyelesaian kasus dugaan HAM berat, tetapi kami belum melihat ada keseriusan soal itu. Yang terlihat adalah masih kentalnya kepentingan politik sehingga korban pesimistis kasus tersebut diungkap secara tuntas.”
Pengalaman penuntasan pelanggaran HAM berat Abepura itu justru membuat masyarakat Papua tidak percaya dengan proses hukum yang dilakukan pemerintah. Sebab, sejak awal selalu ada kejanggalan penyidikan yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung. Misalnya, dalam kasus dugaan pelanggaran HAM berat Paniai ini, hanya ada tersangka tunggal, yaitu IS, yang menyisakan tanda tanya besar. Penetapan tersangka tunggal dalam kasus kejahatan terhadap kemanusiaan tidak akan menunjukkan rantai komando efektif di lapangan. Selain itu juga akan mengaburkan konstruksi hukum kejahatan terhadap kemanusiaan. Penetapan IS terkesan hanya menjadikan seseorang sebagai kambing hitam.
”Kami yakin tersangka yang ditetapkan oleh kejaksaan kemarin itu bukan pelaku, tetapi hanya sebagai kambing hitam. Padahal, harapan kami proses hukum dan pengadilan dapat menghadirkan pelaku lain, termasuk auktor intelektualisnya,” kata Nehemia.
Nehemia menjelaskan, masyarakat Papua sebenarnya berharap kasus dugaan pelanggaran HAM berat Paniai bisa dilakukan di Papua. Seluruh korban dan pihak terkait bisa menyaksikan proses persidangan secara langsung apabila pengadilan di Papua. Namun, seperti kasus Abepura dahulu, persidangan justru dilakukan di Makassar, Sulawesi Selatan. Pemerintah beralasan sidang di Makassar dilakukan dengan pertimbangan keamanan. Namun, bagi korban, persidangan di luar pulau itu akan sulit diakses.
”Penanganan dan penuntasan kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Papua ini sangat terkait dengan harga diri rakyat Papua,” kata Nehemia.
Divisi Pengawasan Impunitas Kontras Ahmad Sajali menambahkan, melihat dari proses seleksi hakim ad hoc HAM untuk penanganan kasus Paniai, Kontras pesimistis persidangan akan bisa menggali dalam soal kebenaran materiil perkara. Pantauan Kontras selama seleksi wawancara, masih banyak calon hakim yang kurang memahami unsur pelanggaran HAM berat. Mulai dari sifat kejahatan yang meluas, sistematis, hingga unsur rantai komando tidak bisa dijelaskan dengan lugas oleh calon hakim.
”Melihat dari proses seleksi calon hakim kemarin, ada potensi hakim akan gagal mengungkap fakta dan mencari hal yang tepat pada terdakwa,” kata Sajali.
Dari pantauan Kontras, sebenarnya hanya ada dua calon hakim berkualitas yang layak untuk diloloskan oleh panitia seleksi MA. Namun, dalam pengumuman pada Senin (25/7/2022), MA meloloskan empat hakim ad hoc HAM tingkat pertama dan empat hakim ad hoc HAM tingkat banding. Menurut dia, MA seolah terpaksa meloloskan calon hakim karena mepetnya waktu persidangan yang dibatasi oleh Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Di UU Pengadilan HAM, batas waktu antara pelimpahan perkara dari kejaksaan ke pengadilan dibatasi paling lama 180 hari. Karena keterbatasan waktu itu, akhirnya hakim yang terpilih pun masih jauh dari ekspektasi. Dikhawatirkan para hakim tersebut akan gagal menggali kebenaran materiil dalam proses persidangan nanti.
”Menurut kami, ini adalah ketidakseriusan negara yang dilakoni oleh MA sebagai cabang kekuasaaan yudikatif. Berkas perkara Paniai sudah dilimpahkan dari kejaksaan ke pengadilan sejak Desember 2021, tetapi MA baru menyelenggarakan seleksi pada Juni 2021. Akhirnya seleksi terburu-buru karena mepet dengan tenggat waktu,” kata Sajali.
Pelatihan hakim
Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung Sobandi mengatakan, MA menyadari bahwa tidak mudah menjawab keraguan masyarakat dalam seleksi calon hakim ad hoc HAM lalu. MA telah berupaya sebaik-baiknya untuk melakukan rekrutmen secara terbuka, dan partisipatif. Namun, MA juga tak bisa meninggalkan unsur kegentingan dalam seleksi tersebut. Saat ini, calon hakim ad hoc dan hakim karier mengikuti proses pelatihan penanganan perkara pelanggaran HAM berat. Melalui pelatihan dan pendidikan itu, MA berharap kualitas para hakim yang akan menangani perkara akan semakin mumpuni sehingga dapat menjawab keraguan masyarakat.
”MA menyadari bahwa tidak mudah menjawab keraguan masyarakat dalam seleksi calon hakim ad hoc HAM lalu. MA telah berupaya sebaik-baiknya untuk melakukan rekrutmen secara terbuka dan partisipatif. Namun, MA juga tak bisa meninggalkan unsur kegentingan dalam seleksi tersebut. ”
Pelatihan yang disiapkan untuk calon hakim ad hoc HAM sangat komprehensif. Pelatihan dibuat dalam segmen pembelajaran mandiri yang ketat selama satu minggu, dan segmen kelas klasikal yang berisi sesi diskusi, bedah kasus, moot court.
Pelatihan yg disiapkan untuk hakim ad hoc Pengadilan HAM ini sangat komprehensif. Dibuat dalam segmen pembelajaran mandiri yang ketat selama satu minggu, kemudian segmen kelas klasikal yang berisi sesi-sesi diskusi, bedah kasus, peradilan pidana semu (moot court), dan pembuatan putusan. Pengajar yang dilibatkan bukan hanya dari Pusat Pendidikan dan Diklat (Pusdiklat) MA, melainkan juga akademisi terkemuka dan praktisi nasional serta internasional. Di antaranya ahli hukum humaniter Widati Wulandari, Direktur Center for Human Rights & International Justice Stanford University David Cohen, hakim pada International Tribunal for Former Yugoslavia (ICTY) Judge Fausto Pocar, serta Zainal Abidin dari Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP).
Sidang dugaan pelanggaran HAM berat Paniai diharapkan dapat digelar pada Agustus ini. Namun, menurut dia, hal itu tergantung pada kapan Keputusan Presiden (Keppres) penunjukan hakim ad hoc HAM akan ditandatangan oleh Presiden Joko Widodo. MA berharap sidang dapat digelar secepatnya.