Lindungi Pekerja Rumah Tangga, Pemerintah Harapkan UU PPRT Segera Terwujud
Pemerintah mengharapkan UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga bisa segera dibahas dan terwujud. Regulasi ini diperlukan guna mengakui dan melindungi pekerja rumah tangga tak hanya di Indonesia, tetapi juga di luar negeri.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·4 menit baca
BPMI - SETWAPRES
Wakil Presiden Ma'ruf Amin saat menerima Koalisi Sipil untuk Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga di Jakarta, Rabu (31/8/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menilai draf rancangan undang-undang tentang perlindungan pekerja rumah tangga tidak bertentangan dengan nilai kegotongroyongan dan kekeluargaan yang dimiliki masyarakat Indonesia. Regulasi perlindungan pekerja rumah tangga di Indonesia tersebut pun dibutuhkan demi prinsip resiprokal sehingga diharapkan dapat segera dibahas di DPR.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin pada Rabu (31/8/2022) sore menerima Koalisi Sipil untuk Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (UU PPRT). Seperti diketahui, RUU yang menjadi inisiatif DPR tersebut hingga saat ini belum diketok oleh pimpinan DPR.
”,Jadi ini saya kira tinggal menjadi titik akhir sebenarnya, dan, mudah-mudahan bisa segera disahkan. Tadi, secara aspirasi semuanya sudah dikemukakan kepada Bapak Wakil Presiden. Ada dua hal yang diapresiasi oleh Bapak Wakil Presiden,” kata Staf Khusus Wapres Bidang Komunikasi dan Informasi Masduki Baidlowi saat memberikan keterangan seusai pertemuan.
Jadi, ini saya kira tinggal menjadi titik akhir sebenarnya, dan, mudah-mudahan bisa segera disahkan. Tadi, secara aspirasi semuanya sudah dikemukakan kepada Bapak Wakil Presiden. Ada dua hal yang diapresiasi oleh Bapak Wakil Presiden.
Pesepeda motor melintas di depan mural berisi kritik tentang pembahasan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga yang tidak kunjung selesai, di Jembatan Kewek, Yogyakarta, Selasa (28/12/2021). Sejumlah kalangan mendorong pemerintah segera menuntaskan penetapan rancangan undang-undang tersebut agar para pekerja rumah tangga dapat memperoleh perlindungan hukum yang layak.
Pertama, draf RUU PPRT sebenarnya sudah sangat bagus. Wapres Amin secara substansi pun sudah setuju. ”Artinya, kalau ada yang menyoal bahwa karena alasan undang-undang itu akan menabrak terhadap nilai-nilai kegotongroyongan dan nilai-nilai kekeluargaan, menurut Wakil Presiden, justru dengan undang-undang ini, maka kegotongroyongan dan nilai-nilai kekeluargaan itu diperkuat,” ujar Masduki.
Atau, dengan kata lain, RUU PPRT tidak usah dipertentangkan atau jangan dinegasikan dengan nilai-nilai kegotongroyongan dan kekeluargaan yang dimiliki masyarakat Indonesia. Nilai-nilai kekeluargaan dan kegotongroyongan dan RUU PPRT justru saling memperkuat.
Hal kedua yang disampaikan Wapres Amin adalah arti penting Indonesia memiliki UU PPRT karena menyangkut prinsip resiprokal. Ketika ada pekerja Indonesia di luar negeri yang dilanggar haknya, misalnya, Indonesia harus memiliki UU PPRT.
”Nah, kalau misalnya kita enggak punya (UU PPRT), sementara kita mempersoalkan pekerja-pekerja kita yang (dilanggar haknya) di luar negeri, itu akan menjadi satu titik balik serangan yang melemahkan kita,” kata Masduki.
Terkait hal itu, Masduki menambahkan, Wapres Amin sangat setuju agar UU PPRT dapat segera dibahas. ”Kalau ada sedikit hambatan, Wapres akan berusaha mencari cara bagaimana agar undang-undang ini bisa segera dibahas di DPR dengan dua alasan tadi,” ujarnya.
Urgensi
Senada, Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy Hiariej mengatakan bahwa RUU PPRT ini adalah inisiatif DPR. Oleh karena itu, pemerintah bersifat pasif dan menunggunya untuk kemudian disahkan oleh DPR sebagai RUU inisiatif DPR. ”Kemudian, kami, pemerintah, akan membahasnya. Urgensi dari RUU PPRT ini sebenarnya hanya ada dua,” katanya.
Eddy menuturkan, hal pertama adalah suatu pengakuan terhadap pekerja rumah tangga. Hal kedua, yang terpenting, adalah perlindungan terhadap PRT. ”Mengapa aspek perlindungan ini menjadi penting? Kita ketahui bersama bahwa ketika banyak TKI dikirim ke luar negeri sebagai pekerja domestik, kita selalu menyatakan kepada negara penerima agar TKI yang dikirim itu diberikan hak-hak sesuai dengan (aturan) atau selayaknya,” ujarnya.
Menurut Eddy, adalah ironis sekali ketika Indonesia menuntut negara penerima memberikan hak-hak kepada TKI yang menjadi pekerja domestik di luar negeri, sementara di dalam sendiri, artinya di Indonesia, belum ada undang-undang yang memberikan perlindungan. Perlindungan tersebut pada dasarnya perlindungan hukum yang hanya menyangkut dua hal.
Adalah ironis sekali ketika Indonesia menuntut negara penerima memberikan hak-hak kepada TKI yang menjadi pekerja domestik di luar negeri, sementara di dalam sendiri, artinya di Indonesia, belum ada undang-undang yang memberikan perlindungan kepada PRT.
Pertama adalah ada hak-hak dasar yang harus dipenuhi. Dan, kedua, ketika hak dasar itu sudah diberikan, tentu ada kewajiban juga yang harus ditunaikan. Demikian juga dari sisi pemberi kerja, ketika mereka sudah memberikan kewajiban yang merupakan hak dasar bagi PRT, pemberi kerja pun mendapatkan hak-hak dasar sebagai suatu timbal balik.
”Satu hal lagi yang perlu kami tegaskan bahwa, secara informal, kami sudah melihat RUU yang terdiri dari 12 bab dan 34 pasal itu sangat moderat sehingga tidak perlu dikhawatirkan akan merusak sendi-sendi kita dalam kemasyarakatan, seperti kegotongroyongan dan kekeluargaan,” ujar Eddy.
Menurut Eddy hal ini karena ada ruang yang begitu luas terkait hubungan yang bersifat kontraktual, terutama bagi PRT yang direkrut secara langsung di desa-desa dan pada masyarakat yang berada di tingkat bawah, yang di sini mengutamakan kekeluargaan dan kegotongroyongan.
”Sementara terhadap PRT yang direkrut secara tidak langsung melalui penyalur ini yang kemudian ada pengaturan-pengaturan yang lebih rigid, hanya untuk menjamin, satu, hak-hak dasar itu terpenuhi. Dan, yang kedua, seperti yang tadi saya katakan, juga ada kewajiban. Dan, saya kira RUU ini penantian yang cukup lama selama 18 tahun dan insya Allah, mudah-mudahan bisa diwujudkan sebagai suatu bentuk perlindungan kita kepada pekerja rumah tangga,” ujar Eddy. (CAS)