Gugus Tugas Dorong Percepatan Pembahasan dan Pengesahan RUU PRT
"Ini membuka peluang untuk mendorong Badan Musyawarah mengagendakan RUU PPRT di sidang paripurna untuk kemudian disahkan menjadi inisiatif DPR,” kata Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dinamika terkait Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga atau RUU PPRT kembali meningkat beberapa bulan terakhir. Hal ini ditunjukkan dengan semakin gencarnya masyarakat sipil menuntut percepatan pembahasan dan pengesahan RUU PPRT dengan kembali masuknya RUU tersebut dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2022.
”Ini membuka peluang untuk mendorong Bamus (Badan Musyawarah) mengagendakan RUU PPRT di sidang paripurna untuk kemudian disahkan menjadi inisiatif DPR,” kata Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko saat memimpin rapat tingkat menteri terkait pengesahan dan penyusunan kerja Gugus Tugas Percepatan RUU PPRT, di Gedung Bina Graha Jakarta, Selasa (9/8/2022).
Rapat tingkat menteri terkait pengesahan dan penyusunan kerja Gugus Tugas Percepatan RUU PPRT tersebut dihadiri Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Eddy OS Hiariej, serta perwakilan dari Kementerian Sosial, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Kejaksaan Agung.
Pembentukan Gugus Tugas Percepatan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) disahkan ditandai dengan keluarnya Surat Keputusan Kepala Staf Kepresidenan RI Nomor 7/2022 tentang Gugus Tugas Percepatan Pembentukan Undang-Undang tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.
Moeldoko menuturkan, pembentukan gugus tugas ini untuk memperkuat konsolidasi dan sinkronisasi agenda sehingga pengelolaan isu PPRT tidak terjebak pada sektoralisme atau ego sektoral. Pembentukan gugus tugas ini juga untuk mendorong pembahasan RUU PPRT di DPR yang mandek selama hampir dua dekade.
”Sudah waktunya bagi kita untuk menunjukkan keberpihakan dan perhatian agar isu ini dapat segera dikelola dengan baik. Apalagi, ada keterbatasan waktu karena berkejaran dengan isu-isu lain,” kata Moeldoko.
Gugus tugas percepatan RUU PPRT terdiri atas delapan kementerian/lembaga terkait. Anggota gugus tugas tersebut adalah Kantor Staf Presiden, Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Menteri Ketenagakerjaan, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Menteri Sosial, Polri, dan Kejaksaan Agung.
Dalam menjalankan tugasnya, gugus tugas akan fokus pada strategi politik, pengembangan substansi, serta pengelolaan diseminasi komunikasi publik dan diseminasi informasi dengan kerangka waktu kerja hingga 31 Desember 2022.
”Saya minta gugus tugas segera bekerja untuk pemutakhiran dan pembahasan draf, penyusunan strategi komunikasi publik dan polisi, pengawalan pembahasan di DPR, serta menyusun kerangka waktu kerja bersama,” kata Moeldoko.
Panglima TNI 2013-2015 ini juga menekankan arti penting percepatan pembahasan dan pengesahan RUU PPRT sebagai payung hukum untuk melindungi pekerja rumah tangga. Apalagi, jumlah PRT di Indonesia 4,2 juta orang dan mereka rentan mengalami kekerasan fisik, psikis, seksual, serta ekonomi.
”Selain memberikan perlindungan kepada PRT, UU (PPRT) ini juga memberikan jaminan hak dan kewajiban pihak terkait, yakni pemberi kerja dan penyalur atau agen. Pemberi kerja perlu mendapatkan jaminan keamanan dan keselamatan dengan kehadiran PRT. Dan penyalur perlu melakukan rekrutmen penempatan secara profesional dan akuntabel,” kata Moeldoko.
Selain memberikan perlindungan kepada PRT, UU (PPRT) ini juga memberikan jaminan hak dan kewajiban pihak terkait, yakni pemberi kerja dan penyalur atau agen.
Fraksi besar kurang konsisten
Sekretaris Eksekutif Labor Institute Indonesia Andy William Sinaga ketika diminta pandangan menuturkan, mandeknya RUU PPRT dikarenakan kurang konsistennya fraksi-fraksi besar di DPR dalam memperjuangkan kesetaraan dan keadilan akan penghidupan yang layak dan perlindungan sosial bagi para PRT.
Menurut Andy, banyak kasus pelanggaran terhadap hak-hak normatif PRT, seperti terkait upah rendah atau upah tidak dibayar, ketiadaan perlindungan jaminan sosial atau Jamsostek, waktu kerja yang tidak terbatas atau waktu istirahat yang minim. Hal ini membuat para PRT masuk dalam kategori orang miskin karena upah mereka tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
”Apalagi kalau para pekerja rumah tangga tersebut memiliki anak usia sekolah, pasti sulit untuk menyekolahkan anaknya karena upah yang diterima minim. Selain itu ancaman akan adanya kekerasan dan pelecehan seksual cukup tinggi di kalangan pekerja rumah tangga,” kata Andy.
Untuk itu, menurut Andy, perlu ada komitmen atau konsensus dari pimpinan partai politik yang mempunyai fraksi di DPR agar serius mendiskusikan terkatung-katungnya RUU PPRT tersebut.
”Apalagi ini mulai masuk tahun politik. Kami mendorong asosiasi serikat pekerja rumah tangga untuk intens me-lobby para ketua umum partai dan para calon presiden 2024 untuk (memberikan) komitmen dalam mengundangkan RUU PRT ini menjadi undang-undang,” katanya.
Konsekuensi apabila RUU PRT ini tidak diundangkan adalah para PRT akan sulit mencapai hak normatif, seperti upah dan perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaan atau BPJS Ketenagakerjaan. Selain itu, waktu istirahat yang memadai dan hak berkumpul serta berorganisasi juga akan sulit diterima atau diimplementasikan oleh para PRT.
Negara ASEAN seperti Filipina dapat dijadikan role model (teladan atau acuan) akan perlindungan hak pekerja rumah tangga melalui undang-undang.
Eksploitasi dan kekerasan terhadap profesi pekerja rumah tangga akan dicegah atau diantisipasi apabila RUU ini dapat menjadi UU sebelum masa jabatan anggota DPR periode ini berakhir pada tahun 2024. ”Negara ASEAN seperti Filipina dapat dijadikan role model (teladan atau acuan) akan perlindungan hak pekerja rumah tangga melalui undang-undang,” ujar Andy.