Pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga menjadi UU terus dinantikan. DPR diharapkan segera mewujudkan perjuangan UU PPRT yang telah berjalan 18 tahun.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
FERGANATA INDRA RIATMOKO
Pekerja rumah tangga (PRT) mengecat tembok penyangga jembatan yang akan dilukisi mural di Jembatan Kewek, Kotabaru, Yogyakarta, Rabu (15/12/2021). Mereka menggelar aksi untuk memprotes pembahasan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga yang masih terkatung-katung selama belasan tahun. Aksi itu juga sebagai wujud protes terhadap masih sering terjadinya tindakan kekerasan yang dilakukan majikan terhadap PRT. Mereka juga menuntut pemenuhan sejumlah hak mereka melalui aksi itu.
JAKARTA, KOMPAS – Dukungan terhadap pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga terus mengalir. Momentum peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni dimanfaatkan para aktivis perempuan dan hak asasi manusia untuk kembali mengingatkan Dewan Perwakilan Rakyat agar segera mengesahkan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.
Tidak adanya regulasi yang melindungi pekerja rumah tangga (PRT) membuat para PRT terus-menerus dalam kondisi rentan eksploitasi, kekerasan, dan diskriminasi. Bahkan, perlindungan sosial ketenagakerjaan maupun kesehatan jarang dinikmati PRT.
Harapan terhadap DPR kembali disuarakan dalam acara Konsultasi Publik ”Wujudkan Pancasila Lindungi PRT, demi Kesejahteraan Bangsa: Praktik Solidaritas Sosial” yang digelar Koalisi Sipil UU PPRT Bersama Komunitas Selebriti, Rabu (1/6/2022). Hadir dalam acara tersebut penyanyi Chica Koeswoyo, Iis Sugiarto, dan Dina Mariana, serta Eva Sundari (Institut Sarinah) dan Lita Anggraini (Koordinator Nasional JALA PRT).
Menurut Eva Sundari, wajah kemiskinan Indonesia ada dalam diri perempuan. Setiap tahun jumlah rumah tangga yang dikepalai perempuan terus bertambah, dengan berbagai sebab, seperti perceraian, suami meninggal, suami sakit berkepanjangan, ditelantarkan suami, atau orangtua tunggal. Di antara mereka ada yang bekerja sebagai PRT.
”Angka statistik menunjukkan, dari 10 kepala keluarga, tujuh yang dikepalai perempuan atau perempuan kepala keluarga. Jadi, kalau kita mau mengatasi kemiskinan, perempuan harus jadi garda terdepan. Di Hari Lahir Pancasila, mari kita ingat Pancasila tidak mengenal kelas, kelompok. Setiap kelas harus disejahterakan,” papar Eva.
Mengapa isu PRT dikaitkan dengan Pancasila? Karena PRT dimiskinkan oleh kebijakan negara dan hingga kini tidak ada pengakuan sebagai pekerja. Karena tidak ada pengakuan atas profesinya, mereka tidak mendapat perlindungan sosial.
”Ketika lima juta PRT di Indonesia dan tujuh juta jadi pekerja migran di luar negeri tidak tercantumkan dalam kebijakan apa pun, dia akan berada dalam situasi riskan perbudakan, diskriminasi upah, dan perlindungan nyawanya, karena tidak ada dalam hukum mana pun. Jadi, setiap PRT memiliki risiko mendapat kekerasan,” ujar Eva.
DOKUMENTASI/JALA PRT
Sejumlah pekerja rumah tangga, Selasa (14/12/2021), menggelar aksi di depan Gedung MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta, dengan cara merantai diri bersama-sama seraya menyampaikan orasi kepada para wakil rakyat. Mereka mendesak DPR segera membahas dan mengesahkan RUU PPRT.
Kepastian hukum
Lita dalam paparannya kembali menegaskan maksud dari RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT), yakni memberikan perlindungan dan kepastian hukum terhadap PRT dan pemberi kerja; hak dan kewajiban kedua belah pihak (PRT dan pemberi kerja) dicantumkan dalam batang tubuh RUU PPRT; dan RUU PPRT hanya mengatur PRT yang memang bekerja untuk mencari nafkah.
Di Hari Lahir Pancasila, mari kita ingat Pancasila tidak mengenal kelas, kelompok. Setiap kelas harus disejahterakan.
Adapun tujuan dari RUU PPRT adalah memberikan kepastian hukum kepada PRT dan pemberi kerja; mencegah segala bentuk diskriminasi, eksploitasi, dan pelecehan terhadap PRT; mengatur hubungan kerja yang harmonis dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kekeluargaan, kemanusiaan, dan keadilan; meningkatkan pengetahuan, keahlian, dan keterampilan PRT, serta meningkatkan kesejahteraan PRT karena diikutsertakan dalam jaminan sosial.
Tak hanya hak PRT, RUU PRT juga mengatur hak pemberi kerja, yakni memperoleh informasi yang jelas dan benar mengenai identitas PRT; memperoleh informasi mengenai kemampuan kerja PRT; memberikan izin kepada PRT apabila berhalangan masuk kerja sesuai dengan ketentuan dalam hubungan kerja; mendapatkan hasil kerja PRT sesuai dengan hubungan kerja; mendapatkan pemberitahuan pengunduran diri PRT paling lambat satu bulan sebelumnya; dan mengakhiri hubungan kerja apabila terjadi pelanggaran dalam hubungan kerja.
”Jadi, prinsip keseluruhan dari RUU PPRT adalah ada pengakuan PRT sebagai pekerja sehingga mengurangi jumlah angka pengangguran. Adanya perlindungan bagi PRT dan pemberi kerja hubungan kerja berasaskan kekeluargaan, keadilan, dan gotong royong karena ada jaminan sosial,” papar Lita.
Selain itu, adanya jaminan kesehatan yang ditanggung pemerintah sebagai peserta Kartu Indonesia Sehat Penerima Bantuan Iuran (KIS PBI)-Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, ada subsidi silang, yakni pemberi kerja membayar Jamsostek PRT sebesar Rp 16.800 per bulan. Juga, PRT terdaftar sebagai pekerja di statistik nasional dan BPJS Ketenagakerjaan serta lembaga terkait.
Chica Koeswoyo dan Iis Sugiarto mendukung penuh lahirnya UU PPRT. Namun, Chica berharap sosialisasi RUU PPRT harus makin gencar agar makin banyak dukungan dari publik. ”RUU ini amat penting bagi masyarakat. Saya dukung 100 persen, sebab RUU tidak hanya mengatur PRT, tetapi juga pemberi kerja,” katanya.