Pemimpin Agama Mengetuk Hati DPR, Segera Sahkan RUU PPRT
Tahun 2022 menjadi tahun ke-18 proses legislasi RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Meski masuk Program Legislasi Nasional 2021, RUU ini tak kunjung ditetapkan DPR sebagai inisiatif DPR. Prosesnya terhenti di Bamus.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·5 menit baca
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Pekerja Rumah Tangga (PRT) mengecat tembok penyangga jembatan yang akan dilukisi mural di Jembatan Kewek di Kotabaru, Yogyakarta, Rabu (15/12/2021). Mereka menggelar aksi untuk memprotes pembahasan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga yang masih terkatung-katung selama belasan tahun. Aksi itu juga sebagai wujud protes terhadap masih sering terjadinya tindakan kekerasan yang dilakukan oleh para majikan terhadap PRT. Mereka juga menuntut pemenuhan sejumlah hak mereka melalui aksi itu.
Kalau ada rancangan undang-undang yang nongkrong di Dewan Perwakilan Rakyat hampir 20 tahun, itulah Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT). Tahun 2022 ini merupakan tahun ke-18 RUU PPRT. Bolak-balik masuk Program Legislasi Nasional Prioritas, tapi RUU ini selalu berhenti di tengah jalan.
RUU yang sejatinya mengayomi wong cilik justru tersandera di Senayan. Padahal kehadiran RUU PPRT akan menjadi jalan menuju pengakuan atas profesi yang dijalani PRT. Sebab, hingga kini kondisi para PRT di Tanah Air yang jumlahnya berkisar 5 juta orang itu tak jua membaik. Praktik kerja dan pengupahan yang bergantung pada sang majikan terus berlangsung. Jauh dari jaminan perlindungan sosial membuat mereka tak berdaya ketika jatuh sakit, bahkan saat pandemi pun kondisinya semakin terpuruk.
Maka, dukungan terhadap pengesahan RUU PPRT pun terus mengalir. Setelah pekan lalu mendapatkan dukungan dari kalangan perguruan tinggi, Minggu (9/1/2022), giliran pemimpin organisasi keagamaan di Tanah Air bersuara dan mengetuk nurani Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) agar tidak mengabaikan nasib para pekerja rumah tangga yang memperjuangkan pengakuan atas profesinya.
Dukungan tersebut disampaikan langsung pemimpin dan perwakilan dari tujuh pemimpin organisasi keagamaan di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Parisada Hindu Darma Indonesia (PHDI), Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin), dan Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI).
Mengapa RUU PPRT ini bisa terkatung begitu lama? Adakah ini mencerminkan bagaimana dinamika politik berbalut bias kelas dan bias patriarki.
Hadir secara daring pada acara Peluncuran Gerakan Pukul Panci (menghidupkan) Nurani Para Pemimpin RI, Minggu petang, para pemimpin keagamaan menyerukan dukungan atas pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang sudah 18 tahun tidak disahkan DPR. Mereka meminta DPR dan pemerintah memikirkan nasib PRT yang juga adalah rakyat Indonesia, bukan sebaliknya menyingkirkan mereka dari politik dan demokrasi di Indonesia.
Seruan pemimpin umat beragama tersebut disampaikan KH Zulfa Mustofa (PBNU), Abdul Rohim Ghozali (PP Muhammdiyah), Pdt Gomar Gultom (Ketua Umum PGI), Romo Eka Aldianta OCARM (KWI), Romo Miswanto (PHDI), Liem Lillyani Lontoh (Ketua Matakin DKI), dan Naen Soeryono (Presidium MLKI). Mereka menyatakan semua agama mengajarkan perlindungan terhadap kaum yang lemah, seperti PRT. Karena itu tidak ada alasan bagi DPR untuk menunda-nunda pengesahan RUU PPRT.
Zulfa dalam orasinya menyatakan RUU PPRT mendapat perhatian khusus dari PBNU, bahkan dibahas dalam Muktamar Ke-34 NU di Lampung. RUU PPRT dinilai sangat penting. ”Karena PRT yang umumnya perempuan, kondisinya terdiskriminasi. Padahal kita tahu agama Islam, dan semua ajaran agama, sangat menghormati perempuan,” ujarnya.
Hal senada juga disampaikan Abdul Rohim. Sejauh ini para PRT mengalami sejumlah persoalan, pengupahan dan pemberian kerja tanpa jeda, tidak ada istirahat, dan cuti. Bahkan PRT mengalami ketidakadilan dan kekerasan karena belum ada payung hukum yang melindungi pekerjaan mereka.
”Kalau tidak ada hukum yang melindungi mereka, akan terus terjadi seperti itu. Agama apa pun di negeri ini pasti tidak akan menolerasi tindakan yang tidak berperikemanusiaan,” katanya.
DOKUMENTASI/JALA PRT
Selasa pagi, sejumlah PRT menggelar aksi di depan Kantor MPR/DPR/DPD di Senayan, dengan cara merantai diri bersama-sama, seraya menyampaikan orasi kepada para wakil rakyat.
Harkat kemanusiaan
Gomar Gultom menegaskan kewajiban warga negara dan umat beragama adalah menghargai harkat kemanusiaan. Salah satu tujuan dibentuk NKRI untuk melindungi segenap tumpah darah dan menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia, termasuk PRT. Meskipun Indonesia telah merdeka 76 tahun, nasib sekitar 5 juta PRT masih jauh dari perlindungan negara dan perlakuan manusiawi. Negara tidak memberikan penghargaan layak pada PRT.
”Nasib mereka sangat tergantung pada kemurahan hati pemberi kerja mereka. Sistem kerja seperti ini tidak memberikan jaminan hukum yang pasti bagi mereka. Sampai saat ini belum ada payung hukum yang menjamin dan melindungi hak mereka. Padahal mereka berkontribusi besar bagi bangsa Indonesia,” kata Gomar.
Liem Lillyani mengajak para tokoh lintas agama mengawal RUU PPRT. ”Semua agama menekankan keadilan, kesetaraan, dan kesejahteraan. PRT bukanlah budak, tidak boleh ada perlakuan diskriminasi, eksploitasi, pelecehan, atau tidak adanya rasa kemanusiaan,” ujar Liem.
Proses legislasi terpanjang
Ketua Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Andy Yentriyani menegaskan, proses inisiatif legislasi RUU PPRT yang terkatung-katung selama 18 tahun di DPR merupakan proses legislasi terpanjang kedua setelah UU KUHP (50 tahun), RUU Masyarakat Adat (14 tahun), dan RUU TPKS (8 tahun). Karena itu, RUU PPRT mendesak dan seharusnya segera direspons pemangku kebijakan.
PRT bekerja dengan menghadapi berbagai bentuk kerentanan. Pekerjaannya yang belum diakui dan dilindungi oleh hukum Indonesia menjadi salah satu penyebab kerentanan itu terjadi. Sebagian besar dari PRT adalah perempuan, karenanya ketiadaan perlindungan tersebut secara disproporsional merugikan perempuan, khususnya perempuan pekerja yang banyak di antara adalah tulang punggung keluarganya.
”Tentunya menjadi sebuah pertanyaan besar mengapa RUU PPRT ini bisa terkatung begitu lama. Adakah ini mencerminkan bagaimana dinamika politik berbalut bias kelas dan bias patriarki mewarnai pembahasan dan penolakan terhadap RUU PPRT, dan juga kemungkinan adanya kepentingan ekonomi praktis yang menjadi motif untuk menunda atau membatalkan RUU ini,” tegas Andy.
Pada akhir acara tersebut, setelah orasi para pemimpin organisasi keagamaan, semua yang hadir bersama-sama memukul peralatan dapur yang disiapkan masing-masing sebanyak 18 kali sebagai simbol 18 tahun perjuangan RUU PPRT sejak 2004. Selain itu, pada acara tersebut juga diputar sembilan kolase video yang diambil dari 1.000 video pendek yang dikirim dari masyarakat dari berbagai daerah. Video-video dukungan terhadap pengesahan RUU PPRT juga dibagikan ke akun media sosial pimpinan DPR dan Presiden Jokowi.
Eva Sundari, Direktur Institut Sarinah, menegaskan mengapa Gerakan Panci dilakukan untuk mendukung RUU PPRT, karena panci kepentingan semua orang, lintas umur, kelas, dan profesi.
”Di situlah ada wajah PRT. Karena mereka bertanggung jawab atas perut, kesejahteraan di rumah, yang pekerjakan mereka. Jadi pengesahan RUU PPRT adalah kepentingan kita bersama. Itu menjadi perintah dalam agama, kita harus perlakukan mereka sebagai keluarga. Jadi bukan UU ini bukan merusak kekeluargaan tapi justru memperkuat kekeluargaan,” ujar Eva.
Maju tidaknya RUU PPRT, semua bergantung pada niat DPR. Maka, mengetuk hati nurani para pemimpin DPR dengan gerakan pukul panci kiranya akan membangun rasa kemanusiaan para wakil rakyat di Senayan.