Meski berperan penting dalam menopang ekonomi keluarga Indonesia selama puluhan tahun, keberadaan PRT dipandang sebelah mata. Salah satu buktinya, masyarakat masih banyak yang menyebut mereka sebagai pembantu rumah tangga, bukannya pekerja.
Istilah ”pembantu” tidak berkonsekuensi kepastian sistem perlindungan dan penghargaan, berbeda dengan ”pekerja”. Keberadaan istilah pembantu dipengaruhi beberapa hal, salah satunya kehadiran PRT yang dikategorikan sebagai orang yang ngenger, mengabdi, atau menyerahkan segenap jiwa-raganya kepada sang majikan. Dengan demikian, berapa pun upah dan fasilitas yang didapat PRT harus mereka terima. Tak peduli bagaimana mereka harus banting tulang bekerja.
Tak heran, dalam praktiknya banyak PRT tidak mendapatkan Jaminan Kesehatan sebagai peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) Bansos, dan tidak menerima hak Jaminan Ketenagakerjaan. Dalam Survei Jaminan Sosial Jala PRT tahun 2019 terhadap 4.296 PRT di enam kota, sebanyak 3.823 orang (89 persen) tidak mendapat Jaminan Kesehatan, dan 4.253 (99,9 persen) tanpa hak Jaminan Ketenagakerjaan.
Baca juga : Pekerjaan Rumah Memanusiakan Pekerja Rumah Tangga
Baca juga : RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga Masih Terkatung-katung
PRT juga rentan mengalami bias perlakuan, baik itu terkait jender, kelas, feodalisme, dan ras. Tak hanya itu, juga rentan menjadi korban pelecehan seksual dan kekerasan. Dari data yang dihimpun Litbang Kompas, tercatat 842 kasus kekerasan terhadap PRT pada 2020 melonjak dari sebelumnya 467 kasus pada 2019, dan 434 pada 2018.
Celakanya, payung hukum perlindungan PRT berupa RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT), sejak Juni 2020, masih terkatung-katung di DPR. Walau telah diputuskan bahwa RUU itu termasuk inisiatif DPR, kelanjutan pembahasannya masih jauh panggang dari api.
Baca juga : Panggil Mereka Pekerja Rumah Tangga, Bukan Pembantu
Ada beberapa pasal dalam RUU PPRT yang menjamin perlindungan PRT, di antaranya pengakuan PRT sebagai tenaga kerja, perlindungan dan keseimbangan hubungan antara pemberi kerja dan PRT, juga pengaturan kategori, lingkup kerja, serta syarat dan kondisi kerja. Selain itu, diatur pula hak dan kewajiban serta sanksi bagi PRT dan pemberi kerja, hak bagi PRT untuk bergabung dalam serikat pekerja, dan penghapusan PRT usia anak.
Dengan kondisi ketenagakerjaan PRT yang jauh dari terlindungi, keberlanjutan pembahasan RUU PPRT sangat krusial demi menjamin hak-hak PRT berikut kejelasan kewajiban mereka. Kejelasan hak dan kewajiban PRT sedikit banyak akan menjamin ketiadaan eksploitasi pemberi kerja terhadap PRT, berikut kerentanan-kerentanan lainnya.
Solusi utama, tentu salah satunya perlindungan PRT melalui regulasi, yakni UU PPRT. Kini saatnya pemerintah dan DPR membuktikan komitmen mereka terhadap kesejahteraan rakyat dengan serius menuntaskan pembahasan RUU PPRT.