Komisi II DPR Meminta KPU Sudahi Wacana Memajukan Pilkada 2024
Sebagian anggota Komisi II DPR mengingatkan KPU untuk menyudahi wacana memajukan pelaksanaan pilkada dari November menjadi September 2024. Namun, ada pula yang mendukung wacana itu karena bisa mendukung keserentakan.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat meminta Komisi Pemilihan Umum fokus mempersiapkan Pemilu 2024 dan tidak memperpanjang wacana memajukan penyelenggaraan pemilu kepala daerah menjadi September 2024. Jika ada usulan mengubah pelaksanaan pilkada, nantinya hal itu mesti dibicarakan lagi bersama DPR dan pemerintah.
”Saya kira sekarang ini kita fokus persiapan pemilu saja, untuk pilkada ada waktunya kita bicarakan tentang persiapan pilkada. Kalaupun misalnya ada usulan kemudian, ada ide baru, termasuk soal waktu, itu harus dibicarakan lagi dengan DPR dan pemerintah,” ujar Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (31/8/2022).
Sebelumnya, Ketua KPU Hasyim Asy’ari saat diskusi di Badan Riset dan Inovasi Nasional mengungkapkan problematika dan desain keserentakan penyelenggaraan Pilkada 2024. Ia menyebut pelaksanaan Pilkada 2024 pada 27 November 2024 bisa dimajukan menjadi September 2024.
Dalam rapat dengar pendapat di Komisi II DPR, Hasyim mengatakan, pernyataan tersebut merupakan jawaban dari pertanyaan sejumlah peserta. Ada beberapa alasan untuk memajukan pilkada, yakni untuk mencapai keserentakan pilkada dan keserentakan pelantikan kepala daerah.
Jika pemungutan suara dilakukan November, kemungkinan pelantikan tidak bisa dilakukan serentak pada 2024. Sebab, jika ada gugatan ke Mahkamah Konstitusi dan dilakukan pemungutan suara ulang, pelantikan berpotensi dilakukan pada awal 2025. ”Ada potensi tidak serentak karena ada gugatan ke MK,” ucapnya.
Selain itu, lanjut Hasyim, jika pilkada dilakukan November, calon anggota legislatif terpilih yang maju tetapi gagal di pilkada tidak bisa dilantik sebagai anggota legislatif. Sebab, mereka sudah dilantik pada 1 Oktober sehingga harus mengundurkan diri jika berkontestasi di pilkada. Sementara jika pilkada dilakukan September, caleg terpilih yang maju tetapi gagal menang di pilkada tetap bisa dilantik sebagai anggota legislatif karena statusnya masih calon anggota legislatif dan tidak perlu mundur.
Selain itu, stabilitas politik akan lebih baik jika pemungutan suara Pilkada 2024 dilakukan pada September. Jika pilkada dilakukan November, artinya presiden dan wakil presiden yang baru dilantik masih berusia sebulan karena dilantik Oktober. Tantangan stabilitas pun masih besar, terutama masih ada kebutuhan pengisian menteri.
”Kalau disebut usulan, kami belum apa-apa. Kalau usulan, kami sampaikan di forum resmi,” kata Hasyim.
Doli mengingatkan, selama belum ada kesepakatan baru tentang tanggal pemungutan suara Pilkada 2024, maka penyelenggaraan Pilkada 2024 tetap mengacu pada kesepakatan awal pelaksanaannya, yaitu 27 November 2024. Jika ada usulan perubahan, nantinya hal itu harus dibicarakan dalam forum resmi bersama DPR dan pemerintah karena akan memiliki konsekuensi terhadap perubahan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. ”Makanya, kita close soal isu itu karena ternyata cuma wacana di diskusi,” katanya.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Guspardi Gaus, juga mengingatkan KPU agar patuh pada kesepakatan awal. Sebab, kesepakatan penentuan pemungutan suara pilkada pada 27 November 2024 diputuskan dengan ”berdarah-darah”.
”Saya berharap penyelenggara jangan gampang-gampang untuk mengatakan wacana pilkada. Kalau mau lontarkan sesuatu, ke Komisi II DPR,” ujarnya.
Doli mengingatkan, selama belum ada kesepakatan baru tentang tanggal pemungutan suara Pilkada 2024, maka penyelenggaraan Pilkada 2024 tetap mengacu pada kesepakatan awal pelaksanaannya, yaitu 27 November 2024.
Mendukung dimajukan
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Rifqinizamy Karsayuda, memiliki sikap berbeda. Ia menyatakan mendukung wacana memajukan pelaksanaan Pilkada 2024 agar pemungutan suara dan pelantikan kepala daerah bisa memenuhi keserentakan. Sebab, jika pilkada dilaksanakan pada November, akan sulit mencapai tujuan keserentakan. Bahkan, pemerintah harus kembali menetapkan penjabat kepala daerah jika ada kepala daerah yang belum definitif sejak 1 Januari 2025.
Pengajar hukum pemilu di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mengatakan, pemungutan suara pilkada yang dilakukan pada tahun yang sama dengan pemilu presiden dan pemilu legislatif pada 2024 tetap sesuatu yang tidak ideal meskipun diselenggarakan pada bulan berbeda. Sebab, akan banyak tumpukan beban dan irisan penyelenggaraan tahapan pemilu dan pilkada yang berpotensi mengganggu kualitas pemilu dan pilkada.
Namun, lanjutnya, jika pemungutan suara pilkada dilaksanakan bulan September, hal itu akan memberikan keuntungan pengisian kepala daerah dan wakil kepala daerah definitif yang lebih cepat. Dengan demikian, hal itu bisa mengurangi lamanya daerah dipimpin penjabat kepala daerah sehingga tidak perlu ada penjabat baru bagi daerah yang akhir masa jabatan kepala daerahnya pada akhir Desember 2024.
Selain itu, kata Titi, KPU juga harus cermat merencanakan pengaturan dan pelaksanaan tahapan pemilu dan pilkada. Hal itu diperlukan untuk menghindari kekacauan pelaksanaan akibat beban yang tidak terkelola dengan baik. Sebab, ada potensi malaadministrasi ataupun ketidakmampuan bekerja sesuai pengaturan yang ada.
”Pekerjaan yang terlalu berat akan memicu pengabaian prinsip kerja profesional dan mengurangi aspek kontrol, yang pada akhirnya bisa mengganggu kredibilitas dan integritas pemilu,” lanjutnya.
Titi mengingatkan, jika pilpres berlangsung dua putaran, pilihan pemungutan suara pada bulan September berpotensi membuat kompleksitas pemilu dan pilkada semakin tinggi. Beban pelaksanaan tahapan juga makin berat. Oleh sebab itu, mitigasi dari berbagai aspek dan dukungan pemerintah perlu dipastikan optimal jika wacana pelaksanaan pilkada pada September akan direalisasikan.
”Hanya saja, usulan KPU untuk memajukan bulan pemungutan suara ini mutlak diikuti revisi Pasal 201 Ayat (8) UU Pilkada yang sudah mengatur hari pemungutan suara pada Novemver 2024. Selama pasal itu tidak direvisi, maka usulan KPU akan menjadi sebatas wacana,” katanya.