Usulan KPU mempercepat pemungutan suara Pilkada 2024, dari November ke September 2024, tak sejalan dengan kesepakatan yang telah diambil bersama pemerintah dan DPR.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO, KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pimpinan Komisi II DPR menilai Komisi Pemilihan Umum inkonsisten karena mengusulkan untuk mengubah hasil kesepakatan terkait pelaksanaan pemilihan kepala daerah menjadi September 2024. Padahal, pilkada sudah disepakati akan digelar pada November 2024 untuk menghindari waktu yang berimpitan dengan pelaksanaan pemilihan presiden pada Februari 2024.
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Nasdem Saan Mustopa saat dihubungi di Jakarta, Jumat (26/8/2022), mengatakan, sebelum disepakati akan digelar pada Februari 2024, awalnya pilpres direncanakan digelar pada Mei 2024. Namun, rencana itu batal karena dinilai terlalu dekat waktunya dengan pilkada pada November.
Karena itu, apabila KPU saat ini mengusulkan untuk mempercepat pelaksanaan pilkada menjadi September 2024, yang terjadi adalah tumpang tindih tahapan. Secara teknis, beban KPU akan menjadi lebih berat karena harus menyelesaikan tahapan-tahapan lain, seperti permohonan perselisihan hasil pemilu.
”Kalau misalkan ketua KPU mewacanakan (mempercepat pelaksanaan pilkada) itu, dia tidak konsisten, dong, dengan apa yang dia sampaikan dari dulu. Jadi, menurut saya, lebih baik konsentrasi dulu saja dengan tahapan pemilu yang saat ini dijalankan daripada mewacanakan hal yang malah menimbulkan persoalan baru,” ujar Saan.
Sebelumnya, Ketua KPU Hasyim Asy’ari mengusulkan agar pelaksanaan Pilkada Serentak 2024 dimajukan ke September 2024. Upaya untuk memajukan waktu penyelenggaraan itu disebut sebagai cara untuk mencapai keserentakan dengan pelantikan kepala daerah pada Desember 2024. Sebab, selama ini keserentakan baru tercapai pada ranah pencoblosan, bukan pelantikan. Padahal, Undang-Undang Pilkada menyebutkan keserentakan adalah bersama-sama dengan pelantikan pejabat yang masa jabatannya paling akhir.
Selain itu, menurut Hasyim, pemungutan suara pilkada pada November 2024 terlalu dekat dengan pelantikannya pada Desember. Padahal, setelah pemungutan suara selalu ada potensi pemungutan dan penghitungan suara ulang hasil sengketa di Mahkamah Konstitusi. Karena itu, memajukan waktu pemungutan suara pilkada bisa memberikan ruang gerak yang lebih luas jika terjadi perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) di pilkada aerentak.
Saan melanjutkan, ada beberapa implikasi apabila pelaksanaan pemilu dipercepat. Pertama, UU Pilkada harus diubah karena dalam UU tersebut secara eksplisit disebutkan bahwa pilkada dilakukan pada November 2024.
Di sisi lain, Komisi II DPR, Kementerian Dalam Negeri, dan penyelenggara pemilu harus memikirkan revisi UU Pemilu akibat adanya daerah otonom baru (DOB) Papua.
Untuk diketahui, ada tiga DOB Papua, yakni Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan Papua Selatan. Menyusul, saat ini tengah dibahas Rancangan UU Pembentukan DOB Papua Barat Daya. ”Itu, kan, juga harus dipertimbangkan,” ucap Saan.
Lagi pula, apabila pelaksanaan pilkada ingin dipercepat menjadi September 2024, berarti KPU harus melakukan simulasi lagi. ”Nah, ini waktunya, kan, sudah sangat mepet. Jadi, saya harap fokus saja dengan tahapan pemilu yang sedang berjalan sekarang,” ujarnya.
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Junimart Girsang menambahkan, usulan KPU tersebut sah-sah saja. Namun, ia menegaskan, dalam rapat kerja Komisi II dengan pemerintah dan penyelenggara pemilu sudah disepakati dan diputuskan dalam Rapat Paripurna DPR bahwa pilkada dilaksanakan pada 27 November 2024.
Untuk itu, usulan KPU tersebut akan dibahas dalam rapat kerja Komisi II dengan pemerintah dan penyelenggara pemilu, yang diperkirakan pada pekan depan. ”Kita tunggu saja apakah dalam rapat ini KPU akan mengusulkan pemajuan jadwal pilkada tersebut yang tentunya dengan simulasi obyektif dan rasional,” katanya.
Saat ditanya, apakah Komisi II membuka ruang untuk merevisi UU Pilkada terkait pemajuan jadwal pilkada, Junimart mengatakan, peluang itu dimungkinkan dengan berbagai pertimbangan.
Pedomani putusan
Secara terpisah, Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Bahtiar mengaku, sejauh ini belum ada pembahasan mengenai percepatan jadwal pilkada. Saat ini, pihaknya fokus mengawal tahapan pemilu menuju 14 Februari 2024.
”Putusan bersama DPR, pemerintah, dan penyelenggara pemilu yang sudah ada adalah pilkada pada 27 November 2024 dan pemilu pada 14 Februari 2024. Pemerintah memedomani putusan tersebut,” ujar Bahtiar.
Sependapat dengan Saan, Bahtiar mengingatkan, apabila KPU menginginkan agar pelaksanaan pilkada dimajukan, UU Pilkada harus diubah. Sebab, UU Pilkada sudah mengatur bahwa pilkada digelar pada November 2024. ”Mengubah UU Pilkada ini harus bersama pemerintah dan DPR,” ucapnya.
Anggota KPU, Mochamad Afifuddin, menyampaikan, usulan ketua KPU terkait memajukan pelaksanaan pilkada akan dikoordinasikan lebih lanjut dengan DPR dan pemerintah. ”Pastinya ada koordinasi lagi,” ujarnya.