Parpol Harus Jadikan Isu Amendemen Terbatas Konstitusi sebagai Bahan Kampanye
Parpol didorong mengangkat isu amendemen dalam kampanye di Pemilu 2024. Pentingnya pernyataan mengenai amendemen dalam kampanye, antara lain, untuk menjaga komitmen parpol agar tak melakukan hal di luar yang disampaikan.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebelum amendemen konstitusi terbatas dilakukan setelah Pemilu 2024, partai-partai politik dinilai wajib mencantumkan hal tersebut dalam kampanye-kampanyenya. Dengan begitu, suara publik mengenai perlu tidaknya amendemen terepresentasi pada pilihannya dalam pemilu.
”Mereka harus menyatakan, ’partai saya berkomitmen mengamendemen (konstitusi) bagian ini, bagian ini. Kalau Anda setuju, pilih saya’. Sebaliknya juga begitu, kalau ada partai yang tidak setuju, maka dia harus menyampaikan di kampanyenya mereka tidak setuju karena alasan A, B, C, D, dan E. Kalau memang itu dikampanyekan dalam pemilu, maka pemenang pemilu adalah pihak yang merepresentasikan keinginan publik,” kata pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari, saat dihubungi, Rabu (17/8/2022).
Menurut Feri, praktik tersebut sudah jamak dilakukan di sejumlah negara jika akan mengamendemen konstitusi mereka. Mengubah UUD 1945 tidak bisa dilakukan atas dasar hasil survei. ”Survei itu persepsi, masak ubah konstitusi pake persepsi,” ujarnya.
Pentingnya pernyataan mengenai amendemen dalam kampanye, antara lain, untuk menjaga komitmen dan konsistensi partai politik agar tidak melakukan hal-hal di luar yang disampaikan.
”Partai ini, kan, selalu berupaya membeli kucing dalam karung. Setelah pemilu tanpa ada kampenye, tanpa ada keinginan rakyat, lalu mereka mencoba melakukan perubahan yang sesuai dengan kepentingan mereka saja,” katanya.
Sebelumnya diberitakan usulan amendemen terbatas setelah Pemilu 2024 menguat. Amendemen dilakukan untuk mengubah Pasal 3 UUD 1945 dengan menambahkan kewenangan MPR untuk membentuk dan mengubah pokok-pokok haluan negara (PPHN) . Belakangan, muncul gagasan untuk mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
Guru Besar Ilmu Perundang-undangan Universitas Negeri Jember Bayu Dwi Anggono, yang dihubungi terpisah, mengungkapkan, melakukan amendemen konstitusi secara terbatas setelah Pemilu 2024 merupakan solusi ketatanegaraan yang bijak. MPR mendengarkan aspirasi publik yang khawatir jika amendemen dilakukan maka akan melebar hingga pada isu perpanjangan masa jabatan Presiden.
Namun, dengan melakukannya setelah Pemilu 2024, MPR mampu meyakinkan publik bahwa amendeman yang akan dilakukan tidak ada hubungannya dengan perpanjangan masa jabatan presiden yang memang tidak sesuai semangat reformasi.
Menurut dia, wacana menghidupkan kembali haluan negara sudah ada cukup lama, bahkan hampir 10 tahun. MPR sudah menyuarakannya sejak 2014 dan berhasil meyakinkan publik bahwa hal tersebut memang mendesak dilakukan. Survei menunjukkan, ada kekhawatiran ganti presiden ganti program pembangunan.
Dengan alasan ini, maka diperlukan sebuah kesepakatan/konsensus bagaimana desain besar pembangunan di Indonesia yang berkelanjutan. Menurut Bayu, solusi yang diharapkan adalah lahirnya satu pokok-pokok haluan negara, tetapi yang kompatibel dengan sistem presidensial. Pokok-pokok haluan negara itu bukan seperti Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang mengandung pertanggungjawaban dari Presiden kepada MPR, tetapi sekadar ada satu dokumen bersama yang ditetapkan oleh majelis yang merepresentasikan perwakilan daerah, perwakilan politik dan masyarakat secara keseluruhan dalam bentuk PPHN.
”PPHN akan menjadi panduan bagi Presiden dan lembaga-lembaga negara bagaimana selama waktu tertentu mencapai tujuan bersama. PPHN, kan, konsepnya begitu sehingga tidak menjadi executive centric, tetapi state centric. Jadi, untuk kepentingan negara, bukan hanya kepentingan eksekutif,” ujarnya.
Meskipun MPR berwenang menetapkan PPHN nantinya, Bayu mengingatkan bahwa proses penyusunan PPHN tetap harus dilakukan dengan melibatkan partisipasi semua pihak. Semua lembaga negara terlibat, masyarakat juga terlibat. MPR hanya wadah yang menetapkan PPHN.
Agar amendemen tidak melebar ke isu-isu lain, Bayu mengungkapkan bahwa seluruh pihak dapat belajar dari praktik amendemen yang terjadi pada 1999. Harus ada kesepakatan sejak awal pasal-pasal yang akan diubah. Ini sesuai dengan ketentuan Pasal 37 UUD 1945 yang menyebutkan jika hendak melakukan amendemen, harus disebutkan secara jelas pasal yang akan diubah dan alasan perubahannya.
Sebelumnya, pengajar hukum tata negara Universitas Negeri Bengkulu, Beni Kurnia Ilahi, mengatakan, proses amendemen sebaiknya dilakukan secara komprehensif untuk menghindari munculnya kepentingan elite politik yang muncul selama proses perubahan berlangung.
Terkait dengan hal itu, Bayu mengatakan, perlu dilihat keinginan publik terkait pelaksanaan amendemen. Apabila mengacu pada survei Kompas yang dilaksanakan beberapa waktu sebelumnya, publik menginginkan amendemen terbatas khusus pasal mengenai PPHN. Publik memandang perlu adanya PPHN, tetapi tidak dengan isu lain. Sebut saja penguatan kewenangan Dewan Perwakilan Daerah atau penataan kewenangan Komisi Yudisial.
”Perubahan konstitusi itu harus dimaknai sebagai resultante. Resultante artinya keinginan sebagian besar rakyat dalam suatu negara, apa yang diubah. Bukan keinginan sekelompok orang. Saya yakin kalau PPHN ini hanya kepentingan MPR, pasti publik akan menolak,” ungkapnya.