Ketika Dakwaan Berulang Usmar Husni Kandas di Pengadilan
Kesal karena didakwa hingga tiga kali oleh Kejaksaan Negeri Purwokerto, Direktur PT Karya Jaya Satria, Usmar Husni, mengadu ke Mahkamah Konstitusi. Mengapa MK menjadi jalan baginya untuk mencari keadilan?
Ilustrasi sidang-Sidang dakwaan Fredrich Yunadi, mantan penasihat hukum Setya Novanto, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (8/2).
Kesal karena didakwa hingga tiga kali oleh Kejaksaan Negeri Purwokerto, Direktur PT Karya Jaya Satria, Usmar Husni, mengadu ke Mahkamah Konstitusi. Langkah ini diambil karena kejaksaan seolah terus-menerus mendakwanya meski setiap dakwaan itu selalu kandas di pengadilan. Ada kekhawatiran, kejaksaan akan terus mendakwanya.
Kasus ini bermula ketika Usmar diduga tidak memberitahukan secara benar dan menyetorkan pajak yang telah dipotong dari hasil penjualan rumah di beberapa perumahan di Purwokerto dan Pemalang, Jawa Tengah, yang nilainya Rp 5,18 miliar. Jaksa menuntutnya dengan sejumlah pasal di Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Dakwaan pertama disampaikan pada 12 Januari 2020, tetapi dinyatakan batal demi hukum oleh hakim Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto. Dakwaan itu dinilai oleh hakim tidak memenuhi syarat formil yang diatur di Pasal 143 Ayat 2 KUHAP. Akan tetapi, jaksa mengajukan banding. Hasilnya sama, Pengadilan Tinggi (PT) Semarang menguatkan putusan PN.
Meski demikian, kejaksaan tak berhenti. Dakwaan kedua dilayangkan pada 31 Agustus 2020 dengan sejumlah perubahan dalam surat dakwaan, seperti penggunaan pasal-pasal berbeda dan menambahkan fakta-fakta baru. Namun, dakwaan ini juga tidak diterima oleh hakim dan dinyatakan batal demi hukum. Jaksa kembali berupaya mengajukan banding, tetapi juga ditolak oleh PT Semarang.
Baca juga: Kaleng ”Winnie The Pooh” dan Rentetan Putusan MA Lain yang Janggal
Namun, kegagalan kedua kalinya itu tetap tak menghentikan langkah kejaksaan. Persisnya pada 25 Oktober 2021, jaksa mengajukan dakwaan ketiga. Namun, nasib dakwaan ketiga tersebut juga sama dengan dakwaan-dakwaan sebelumnya. Saat ini, banding dari jaksa tengah berproses.
Dengan kata lain, dua tahun sudah Usmar menjalani proses hukum. Ia pun sempat mencicipi dinginnya tembok penjara selama lebih kurang 4 bulan saat jaksa menahannya pada 20 Januari 2020. Ia baru keluar tahanan saat dakwaannya batal demi hukum dan majelis hakim memerintahkan jaksa mengeluarkan Usmar dari tahanan pada 12 Mei 2020.
Kini, Usmar mencoba mengadukan apa yang dialaminya itu ke MK melalui pintu uji materi Pasal 143 Ayat (3) KUHAP yang berbunyi, ”Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2) Huruf b batal demi hukum.” Ia mempersoalkan belum adanya penafsiran atas frasa ”batal demi hukum” dalam pasal tersebut; apakah putusan semacam itu sama artinya dengan perintah jaksa harus memperbaiki dakwaan ataukah proses hukum dikembalikan ke penyidikan.
Pembatasan perbaikan
Tanpa penafsiran yang jelas, permasalahan hukum yang dialami Usmar akan terus berulang. Sebab, jaksa tidak memiliki batasan hingga berapa kali dapat mengajukan perbaikan surat dakwaan. Kondisi semacam ini dinilai bertentangan dengan konstitusi. Usmar melalui kuasa hukumnya pun memohon MK menafsirkan putusan yang menyatakan dakwaan batal demi hukum berkas perkara harus dikembalikan kepada penyidik dengan pembatasan perbaikan hanya satu kali.
Ilustrasi - jaksa
Pembatasan seperti itu, seperti diungkapkan dalam berkas permohonan, akan mendorong profesionalisme aparat penegak hukum, khususnya jaksa penuntut umum, dalam menyiapkan dakwaan. Jaksa juga akan lebih hati-hati saat mengecek berkas perkara dari penyidik.
Kasus Usmar Husni mendapat perhatian khusus dari Kejaksaan Agung. Jaksa Agung Muda Tata Usaha Negara (Jamdatun) Feri Wibisono saat menghadiri sidang secara daring untuk memberikan pandangan, 16 Juni lalu, mengatakan, yang menimpa Usmar bersifat sangat kasuistik. ”Jarang sekali ada perkara yang diajukan sampai tiga kali seperti ini. Biasanya setelah kita perbaiki, kemudian dapat diproses untuk memeriksa pokok perkara,” ujarnya.
Feri tidak sependapat dengan dalil yang diajukan terkait Pasal 143 Ayat (3) KUHAP. Menurut kejaksaan, putusan ”batal demi hukum” sudah sangat jelas, yaitu surat dakwaan dianggap tidak pernah ada. Namun, putusan itu tidak serta-merta berarti penyidikan tidak pernah ada karena antara penyidikan dan penuntutan adalah dua hal yang berbeda.
Kejagung juga membantah frasa ”batal demi hukum” bukan merupakan norma yang bersifat elastis, yang dapat digunakan sewenang-wenang oleh jaksa seperti didalilkan pemohon. Menurut dia, pengajuan dakwaan kembali setelah dakwaan sebelumnya dinyatakan batal demi hukum justru dapat dipandang sebagai upaya pelaksanaan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945, di mana setiap orang berhak mendapat perlindungan dan kepastian hukum. Adapun menyangkut batasan penuntutan, hal ini pun sudah ada jawabannya, yaitu dengan masa kedaluwarsa sebuah tindak pidana. Dalam kasus Usmar, masa kedaluwarsa tindak pidana perpajakan adalah 20 tahun (Pasal 40 UU No 6/1983).
Dalam kaitannya dengan hal tersebut, Jamdatun meminta MK untuk menolak permohonan Usmar Husni. MK diminta dapat membedakan mana yang merupakan pengujian konstitusionalitas (constitutional review) norma dengan persoalan yang ditimbulkan akibat penerapan norma. Di sejumlah negara, persoalan akibat penerapan norma sebuah undang-undang dimasukkan dalam ruang lingkup gugatan perdata atau pengaduan konstitusional (constitutional complain).
Dalam pengaduan konstitusional, yang dipersoalkan adalah tindakan dari pejabat public yang telah berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang melanggar hak dasar seseorang. Sementara pengujian konstitusional, yang dipersoalkan adalah apakah norma tertentu bertentangan dengan konstitusi.
Adapun Mahkamah Agung (MA) melalui perwakilannya, Mustamin, dalam persidangan pada 16 Juni mengungkapkan, terhadap dakwaan yang dinyatakan batal demi hukum sebaiknya tidak dilakukan pembatasan pengajuan kembali dakwaan oleh jaksa. Hal itu dapat menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap penanganan suatu perkara. Sebab, putusan batal demi hukum suatu dakwaan hanya menilai syarat formal dan belum memeriksa pokok perkara. Ini juga akan mengakibatkan perkara mengambang dan tidak jelas status penyelesaiannya.
Terkait tafsir batal demi hukum kemudian perkara dikembalikan kepada penyidik, MA juga tidak sepakat. Sebab, putusan batal demi hukum tidak lantas membuat berkas penyidikan menjadi batal.
Baca juga: Mahkamah Konstitusi, Tak Sebatas Penjaga Konstitusi
Pengaduan konstitusional
Pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Charles Simabura, saat dihubungi pertengahan Agustus lalu mengungkapkan, apa yang dimohonkan Usmar merupakan bentuk pengaduan konstitusional yang diajukan ke MK melalui pintu pengujian undang-undang.
Di sejumlah negara, MK memang memiliki kewenangan untuk mengadili perkara semacam itu, yaitu pengaduan warga negara yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan oleh tindakan atau kebijakan pejabat publik. Biasanya, warga negara mengajukan pengaduan itu ke MK apabila sudah tidak memiliki upaya lain untuk mendapatkan keadilan yang dicarinya. Misalnya, sudah ke pengadilan atau lembaga semacam Ombudsman tetapi gagal. MK menjadi pihak terakhir untuk mengajukan pengaduan konstitusional.
Namun, MK tidak memiliki kewenangan tersebut.
Ada lembaga lain, seperti Ombudsman RI, Komisi Penyiaran Indonesia, dan lembaga yang menerima pengaduan lainnya, untuk mewadahi pengaduan warga. Selama ini, lembaga-lembaga tersebut cukup efektif untuk menangani pengaduan warga, khususnya mereka yang dirugikan akibat pelayanan publik yang buruk. Jadi, menurut dia, tak terlalu bermasalah jika kewenangan pengaduan konstitusional tak dilekatkan ke MK.
Dalam kasus Usmar, yang diajukan oleh pemohon adalah persoalan norma Pasal 143 Ayat (3) KUHAP. Putusan MK tidak akan serta-merta membuat kasus hukum Usmar menjadi terhenti kalaupun permohonannya dikabulkan. Sebab, hal itu bergantung pada sejauh mana jaksa melaksanakan putusan MK.
Meskipun demikian, penting bagi setiap warga untuk mendapatkan kepastian hukum dan tidak diombang-ambingkan karena kasus hukum yang berlarut-larut. Ingat adagium justice delayed justice denied, yang artinya terlambat atau berlarut-larut memberi keadilan juga merupakan bentuk lain dari ketidakadilan.
Apakah dua tahun itu waktu yang lama bagi Usmar Husni untuk memperoleh keadilan? Anda sendiri yang bisa menjawabnya.