Kaleng ”Winnie The Pooh” dan Rentetan Putusan MA Lain yang Janggal
Tak sedikit putusan MA yang dinilai janggal atau bermasalah. Terlalu besarnya tanggung jawab yang dipikul MA jadi salah satu penyebab. Persoalannya, putusan MA merupakan putusan pengadilan tertinggi.
Pernahkah Anda menemukan putusan pengadilan yang janggal, aneh, atau bermasalah? Dari sekian juta perkara yang ditangani, jika mengacu pada Laporan Tahunan Mahkamah Agung Tahun 2020 terdapat 3.210.044 perkara yang masuk dan diadili pengadilan tingkat pertama se-Indonesia, pasti ditemukan putusan semacam itu.
Untungnya, sistem peradilan pidana di Indonesia telah menyediakan mekanisme banding untuk mengoreksi putusan pengadilan tingkat pertama dan kasasi untuk mempersoalkan putusan banding, serta peninjauan kembali untuk putusan kasasi. Yang menjadi masalah adalah bagaimana jika yang bermasalah itu putusan Mahkamah Agung (MA). Mekanisme apakah yang dapat digunakan untuk mengoreksinya? Atau, minimal adakah mekanisme check and balances terhadap putusan pengadilan paling tinggi tersebut mengingat bagaimanapun perkara harus ada akhirnya (litis finiri oportet).
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, pertanyaan pertama yang harus dilontarkan adalah adakah putusan MA yang ”bermasalah”. Terhadap pertanyaan ini, peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LEIP) Arsil dengan tegas mengatakan, ”Banyak”.
Arsil yang memang hobi menguliti putusan-putusan MA mendedikasikan situs khusus untuk mencurahkan kegelisahan-kegelisahannya atas peradilan di Indonesia. Anotasi putusan yang ia buat dikemas dengan bahasa yang lugas dan gampang dicerna awam, dengan bahasa-bahasa yang terkadang sedikit nakal.
Baca Juga: Rentetan Pertimbangan Hakim yang Mengusik Akal Sehat
Sebut saja kasus kaleng Winnie the Pooh dalam putusan 74 K/Pid.Sus/2016 terkait perkara penyalahgunaan narkotika. Dalam perkara tersebut, jaksa mengajukan dakwaan subsidiaritas (berlapis), yaitu menawarkan/menjual/membeli/ menerima narkotika (Pasal 114 UU Narkotika), memiliki narkotika (Pasal 112 UU Narkotika) atau lebih subsider menyalahgunakan narkotika (Pasal 127). Dalam perkara itu, jaksa menuntut terdakwa terbukti sebagai penyalahguna sehingga layak dijatuhi pidana 2 tahun.
Namun, pengadilan tingkat pertama menyatakan terdakwa terbukti memiliki narkotika dan memidana 6 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar. Putusan ini diajukan banding, pengadilan tinggi membatalkan putusan pengadilan negeri (PN) dan sepakat dengan jaksa bahwa terdakwa menyalahgunakan narkotika dan memidana 4 tahun penjara.
Meski sudah sesuai tuntutan dan bahkan dihukum bahkan lebih berat oleh pengadilan tinggi, jaksa mengajukan kasasi. Alasan kasasinya, pengadilan tinggi (PT) memerintahkan barang bukti yang berupa sejumput shabu dan pernak-pernik alat untuk menggunakannya seperti kaleng Winnie the Pooh, korek api, dan lainnya dirampas menjadi milik negara. Jaksa keberatan karena tuntutan mereka bukan itu (dirampas), melainkan dimusnahkan.
Seperti dituliskan Arsil, berdasarkan Pasal 273 Ayat (3) KUHAP, barang-barang yang dirampas untuk negara harus diserahkan ke kantor lelang untuk dilelang. Hasil lelang dimasukkan ke kas negara. Alternatif lain, Pasal 92 UU Narkotika memungkinkan alat-alat tersebut dirampas menjadi milik negara untuk kepentingan riset. Jaksa tentu berpikir, untuk apa kaleng Winnie the Pooh dirampas kemudian dilelang atau dipakai untuk riset.
Namun, MA menolak kasasi jaksa. Pertimbangannya, alasan kasasi jaksa tidak dapat dibenarkan sebab putusan PT yang menyatakan terdakwa tanpa hak menyalahgunakan narkotika golongan I untuk diri sendiri dan menjatuhkan pidana 4 tahun penjara sudah tepat. Tidak ada kesalahan dalam penerapan hukum.
Menurut Arsil, antara alasan kasasi jaksa dan putusan MA tidak nyambung. Ia pun mempertanyakan apakah majelis kasasi membaca memori kasasi yang diajukan jaksa.
Contoh kasus lain yang juga dianalisis oleh Arsil, kasus pembunuhan dalam perkara 1148 K/Pid/2015 di mana terdakwa dihukum 12 tahun. Terdakwa sebelumnya diputus bebas oleh PN. Salah satu alasannya, majelis hakim tingkat pertama mengakui adanya praktik penyiksaan yang dilakukan oleh penyidik untuk mendapatkan pengakuan dan juga mengakui adanya rekayasa bukti sehingga terdakwa dibebaskan dari tuntutan.
Namun, putusan itu dibatalkan majelis kasasi yang kemudian menghukum dengan mendasarkan pada keterangan saksi yang sumir dan barang bukti (besi yang menurut jaksa digunakan untuk membunuh) yang oleh PN dinyatakan tak dapat digunakan karena tidak dilengkapi hasil uji laboratorium untuk menentukan apakah benar besi tersebut alat membunuh korban. MA juga mengabaikan sama sekali dugaan terjadinya penyiksaan.
Ada pula putusan lain yang dinilai membingungkan. Saat Kompas menyambangi kantor LEIP beberapa waktu lalu, diskusi tentang putusan 3305 K/Pdt/2020 terkait konsinyasi saham senilai Rp 441 juta kami lakukan.
Kasus ini bermula ketika suatu perusahaan (sebut A) mengajukan konsinyasi ke PN Jakarta Pusat. Oleh hakim tunggal PN Jakpus, dilakukan penetapan penyerahan konsinyasi dan dengan penyerahan uang konsinyasi tersebut, perusahaan B tidak lagi memiliki hak dan kewajiban pada perseroan A. Oleh MA, putusan PN Jakpus itu dibenarkan.
Salah satu pertimbangan putusan kasasi adalah bahwa penawaran pembayaran tunai Rp 441 juta telah didahului dengan penawaran dengan tanpa penolakan, sehingga harus dianggap sebagai penerimaan diam-diam. Anehnya, surat dari Panitera PN Jakpus tertanggal 27 April 2021 menyatakan, PN Jakpus tidak pernah menerima uang konsinyasi yang dimaksud sampai surat tersebut dikeluarkan. Berkaitan dengan hal itu, Badan Pengawas MA menjatuhkan sanksi disiplin terhadap hakim tunggal yang menangani penetapan konsinyasi.
Penalaran hukum tak memadai
Di luar tiga contoh di atas, Arsil mengaku banyak menemukan putusan MA dengan pertimbangan yang ”parah”. Contoh di atas hanya sebagian kecil dari banyak putusan MA ”bermasalah” yang ia temukan. Dalam banyak perkara korupsi, ia menemukan ada nuansa prejudice hakim pada saat memutus. Itulah yang kemudian membuat MA sering melipatgandakan hukuman terdakwa korupsi pada suatu masa.
Baca Juga: Menagih Komitmen Pemberantasan Korupsi
Selain itu, Arsil menambahkan, ada pula putusan yang tidak nyambung antara yang dimohon dengan yang diputus. Faktor hakim agung tidak membaca memori kasasi dinilai menjadi penyebabnya. Ada pula putusan dengan pertimbangan yang tidak jelas atau kabur serta putusan dengan pertimbangan yang ajeg atau template. Misalnya, judecfacti tidak salah di dalam menerapkan hukum, tetapi didahului dengan elaborasi yang cukup sampai pada kesimpulan tersebut.
Mengenai minimnya legal reasoning yang belum memadai juga pernah dikemukakan oleh Simon Butt, guru besar di University of Sidney Law School yang mendalami hukum Indonesia. Dalam artikel berjudul ”Judicial Reasoning and Review in theIndonesian Supreme Court” di Asian Jurnal of Law and Society", ia menilai, MA gagal memberikan penalaran hukum yang komprehensif dan dapat dipahami di dalam putusan-putusannya. Ini berlaku tak hanya untuk putusan uji materi (seperti diketahui MA berwenang menguji regulasi di bawah undang-undang), tetapi juga di dalam banyak perkara lainnya.
Menurut Simon Butt, salah satu faktor yang berkontribusi terhadap permasalahan ini adalah besarnya beban perkara di MA dan tanggung jawab administrasi yang harus ditanggung. Seperti diketahui, perkara yang masuk setiap tahun berkisar antara 10.000 hingga 15.000 perkara dengan hakim yang menangani berkisar antara 40 hingga 50 hakim agung. Dengan banyaknya perkara yang harus ditangani, hakim agung memiliki waktu yang lebih sedikit untuk memeriksa dan memutus perkara. Hal tersebut tak berdampak positif pada kualitas penilaian perkara.
Di samping itu, menurut Simon Butt, tanggung jawab nonyudisial MA yang besar juga menjadi faktor lain yang berkontribusi pada kualitas putusan lembaga peradilan tertinggi di Indonesia itu. Seperti diketahui, setelah sistem peradilan satu atap diterapkan mulai 1 April 2004, MA harus mengambil kendali atas urusan administrasi dan keuangan pengadilan di bawahnya, serta kepegawian yang mencapai 29.622 orang (20.899 orang di antaranya tenaga teknis hakim dan kepaniteraan) yang tersebar di 917 satuan kerja di seluruh Indonesia.
Simon Butt juga mengungkapkan, faktor lain yang berpengaruh pada minimnya penalaran hukum dalam putusan-putusan MA, selain pengaruh dari korupsi yang disebutkan merajalela di pengadilan, juga kecenderungan hakim agung memrioritaskan pada hasil (menang kalah dan besarnya hukuman). Akibatnya, seperti dituliskan Simon Butt, para hakim agung telah kehilangan pandangan mengenai pentingnya argumen hukum dan memberikan penalaran yang kuat di dalam putusan.
Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro saat dikonfirmasi mengakui hal ini. Memang ada sejumlah tantangan yang dihadapi MA, di antaranya meningkatkan kualitas putusan, mewujudkan kesatuan hukum, dan menjaga konsistensi antarputusan.
”Tak dapat disangkal bahwa penyebab masalah yang disoroti tersebut antara lain, beban perkara yang begitu banyak sehingga hakim agung tidak memiliki banyak waktu untuk memeriksa dan memutus perkara, akibatnya terkesan berdampak pada kualitas penilaian putusan,” ujar Andi Samsan.
Selain itu, ia mengungkapkan, tidak sepenuhnya benar dan dibantah sorotan yang melihat MA saat ini cenderung seolah-olah menempatkan diri tak lagi sebagai judex juris, tetapi sebagai judex facti. Artinya, hakim agung lebih mengandalkan argumen fakta yang menjadi pertimbangan hukumnya ketimbang argumen yuridis sebagai ”legal reasoning” sehingga dalam putusan, terungkap minimnya penalaran hukum yang komprehensif.
Konsistensi
Persoalan lain yang disinggung Butt adalah soal konsistensi dan penerapan hukum yang tidak terjaga, padahal hal itu sebenarnya merupakan tugas utama pengadilan kasasi. Memang Indonesia tidak memiliki sistem preseden formal, tetapi diakui bahwa telah lama hakim mengikuti putusan sebelumnya jika hal itu memungkinkan demi kepentingan kepastian hukum dan preditabilitas.
Namun, sangat sulit bagi hakim di Indonesia untuk mengikuti putusan-putusan sebelumnya. Ada dua alasan utama, menurut Simon Butt, yakni sebagian besar putusan MA belum dapat diakses bahkan oleh hakim itu sendiri. Memang, pasca-2007, MA telah mengunggah banyak putusan bahkan lebih dari 100.000 putusan MA dan 2 juta putusan pengadilan. Namun, unggahan putusan itu tidak dilakukan serta merta setelah putusan diketok/dijatuhkan.
Selain itu, beberapa link putusan terkadang berisi ”tautan mati” atau dead links. Tak bisa diakses. Jika pun salinan putusan sebelumnya dapat diakses, menurut Simon Butt, faedahnya/kemanfaatannya pun dipertanyakan khususnya jika putusan tersebut tidak memiliki penalaran hukum yang memadai yang memungkinkan pengadilan berikutnya mengikutinya.
Guru Besar Van Vollenhoven Institute for Law, Government and Development, Fakultas Hukum Universitas Leiden, Belanda, Adriaan Bedner, dalam salah satu bagian di artikel berjudul ”Indonesian Legal Scholarship and Jurisprudence as an Obstacle for Transplanting Legal Institutions di Haque Journal on the Rule of Law”, tahun 2013, mengungkapkan, salah satu penyebab terjadinya penurunan konsistensi hukum adalah hakim tak terbiasa membaca dan memahami preseden. Kondisi tersebut membuat hakim memiliki ketergantungan tunggal pada undang-undang yang pada gilirannya menyebabkan mereka sering dituduh bersikap terlalu formalis.
Menurut Adriaan, tak adanya sistem preseden berefek pada kualitas penalaran peradilan sangat serius. Di antaranya, putusan-putusan yang dikeluarkan cukup beragam dalam kasus yang sebenarnya serupa.
Mengenai kesatuan hukum dalam putusan MA, Andi Samsan mengungkapkan bahwa MA sudah menerapkan sistem kamar sejak 2012. Sistem ini sangat efektif dalam membantu penyelesaian tunggakan perkara yang pada tahun-tahun sebelumnya menjadi salah satu masalah yang dihadapi MA.
”Kami menyadari semua itu, bahwa ke depan MA berupaya bukan hanya meningkatkan penyelesaian perkara tetapi juga berupaya meningkatkan kualitas putusan dan konsistensi putusan, sehingga dapat menjadi yurisprudensi dan/atau putusan-putusan berkualitas yang dapat dipedomani oleh pengadilan di bawah MA,” kata Andi Samsan.
Keberadaan sistem kamar, menurut Arsil, sebenarnya bisa menjadi solusi untuk menjawab adanya disparitas dalam putusan. Namun, kondisi hari ini rapat pleno kamar belum berhasil menciptakan kesatuan hukum diantara para hakim agung. Ada kesepakatan pleno kamar yang tidak diikuti oleh hakim agung.
”Jadi, ada kesepakatan yang pembahasannya tidak selesai dan kayak dipaksakan. Orang-orang yang tidak setuju, tetap (dengan pendiriannya). Banyak juga karena kesepakatannya tidak terlalu clear, sehingga bagaimana mau mengikuti atau terlalu banyak celah sehingga sulit diikuti,” kata Arsil.
Di luar itu, menurut Arsil, ada baiknya pula untuk mencontoh praktik penanganan perkara kasasi di MA Belanda (Hoge Raad der Nederlanden). MA Belanda fokus pada hukumnya, sedangkan hasilnya (putusan akhir seperti menghukum sekian tahun) diserahkan ke pengadilan tinggi untuk memutus ulang. Sistem seperti itu membuat kepentingan para pihak kepada MA berkurang karena yang menghukum pengadilan tinggi. Praktik koruptif di pengadilan pun menjadi lebih susah mengingat menyuap MA tak guna sebab nanti yang menjatuhkan pidana PT. Bermain-main di PT pun sulit karena ada MA yang akan melihat penerapan hukumnya.
”MA ada untuk membuat tafsir (hukum) tidak ganda. Pengadilan di bawah boleh beda-beda, tapi giliran di MA, tafsirnya tunggal,” kata Arsil.
Di Hoge Raad, semua perkara dibicarakan dan diputus oleh seluruh hakim agung di kamar terkait. Berbeda dengan praktik di Indonesia, perkara diputus oleh majelis kasasi atau PK yang terdiri dari tiga atau lima hakim agung/hakim ad hoc pada MA. Di MA Belanda, semua perkara dibawa ke rapat pleno kamar. Misalnya, perkara pidana akan dibicarakan oleh seluruh hakim agung yang ada di kamar pidana tersebut yang berjumlah antara 10 hingga 11 orang.
Peran kaum intelektual
Lantas, bagaimana mekanisme check and balance terhadap putusan MA bisa dilakukan? Jika ada putusan yang sudah final dan berkekuatan hukum tetap yang dinilai ”keliru”, langkah apa yang dapat dilakukan terhadap produk MA itu? Atau, minimal untuk mencegah putusan serupa terulang.
Arsil melihat adanya harapan terhadap kaum intelektual hukum di perguruan tinggi. Di berbagai belahan dunia, kaum intelektual menjadi penopang bagi sistem peradilan yang ada. Di Belanda, putusan-putusan MA oleh para akademisi hukum di universitas-universitas yang ada dalam bentuk anotasi putusan yang diterbitkan dalam jurnal-jurnal yang bergengsi.
”Penopangnya adalah kaum intelektual yang selalu mengkritisi putusan yang aneh-aneh. Tak cuma yang aneh, yang bagus juga dikritisi supaya dikenal. Karena kan begini, putusan PN ada yang mengontrol sebab putusan itu bisa diajukan banding. Putusan banding bisa dikontrol, karena ada kasasi. Pertanyaannya setelah kasasi itu apa? Tidak boleh ada apa-apa lagi karena perkara harus berakhir. Nah, bagaimana cara mengontrolnya? Putusan itu kan terbuka. Bentuk keterbukaannya ada pada legal reasoning, ada pertimbangannya. Pertimbangan itulah yang kemudian dikritisi. Kritik-kritik itu yang mem-pressure hakim secara rasional (untuk membuat putusan yang excellent),” kata Arsil.
Baca Juga: Putusan Banding Edhy Jadi Momentum Kebangkitan Penegakan Hukum
Hanya, budaya itu di Indonesia belum terbentuk. Selain karena sulit untuk mengakses salinan putusan MA (kalaupun bisa diakses biasanya butuh waktu sangat lama setelah putusan dibacakan), ada persoalan di dalam pendidikan hukum di Indonesia. Adriaan Benner juga mencermati hal ini. Menurutnya, pendidikan hukum di Indonesia tidak memiliki tradisi melatih mahasiswanya dalam memecahkan kasus hukum.
”This means that Indonesian law graduates never learn to ’do law’, or in other words, they are not taught in a way to acquire an efective ’internal legal attitude’. They acquire knowledge of the main features and outlines of the legal system, and of the principles of its sub-disciplines. The study of law in Indonesia is therefore highly theoretical, but at the same time supericial. the problem is that with the absence of access to legal sources such as implementing regulations, judgments, minutes of parliament, custom, and to a lesser extent legal doctrine, students only learn that these are legal sources, but not how to use them,” tulis Benner.
Studi hukum di Indonesia sangat teoritis, tetapi pada saat yang sama hanya superficial. Para mahasiswa hanya belajar mengenai sumber-sumber hukum, tetapi tidak belajar bagaimana menerapkannya.
Jadi, mulai dari mana perbaikan dilakukan? Butuh waktu untuk mengubah praktik peradilan di MA saat ini, dan budaya dalam pendidikan hukum di negeri ini.