Mahkamah Konstitusi, Tak Sebatas Penjaga Konstitusi
Mengacu pada hasil survei The Economist Intelligence Unit (EIU), skor rata-rata indeks demokrasi Indonesia tahun 2021 meningkat tahun sebelumnya. Ada sumbangsih putusan MK atas uji formil UU Cipta Kerja.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI, SUSANA RITA KUMALASANTI
·5 menit baca
Putusan Mahkamah Konstitusi terkait uji formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dinilai problematik. Namun, putusan yang menimbulkan begitu banyak perdebatan di kalangan ahli hukum tersebut ternyata mampu menyumbang nilai positif dalam skor rata-rata indeks demokrasi Indonesia tahun 2021.
Mengacu pada hasil survei The Economist Intelligence Unit (EIU), skor rata-rata indeks demokrasi Indonesia tahun 2021 ada pada angka 6,71, meningkat sebanyak 0,41 dari tahun sebelumnya. Indonesia menjadi salah satu dari 10 negara yang mencatatkan perbaikan skor. Disebutkan, meski bukan satu-satunya, kenaikan skor indeks demokrasi itu juga akibat sumbangsih putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas uji formil UU Cipta Kerja yang dibacakan November lalu. UU Cipta Kerja dinyatakan tidak konstitusional secara bersyarat dan pemerintah dan DPR diperintahkan untuk merevisinya. Putusan tersebut dinilai mendemonstrasikan independensi peradilan yang kuat dari campur tangan pemerintah.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjajaran Bandung Susi Dwi Harijanti saat dihubungi, Rabu (16/2/2022), mengatakan, putusan uji formil UU Cipta Kerja berperan signifikan mendongkrak skor indeks demokrasi karena baru pertama kali MK mengabulkan uji formil. Walaupun sebenarnya putusan itu membingungkan.
“Mengabulkan Sebagian permohonan (dari pemohon), tetapi (UU Cipta Kerja) masih bisa diperbaiki selama dua tahun setelah putusan,” terang Susi.
Dalam putusannya yang diwarnai dissenting opinion empat dari sembilan hakim konstitusi tersebut, MK menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dan harus diperbaiki dalam jangka waktu dua tahun. MK melarang pemerintah untuk mengeluarkan aturan turunan baru yang sifatnya merupakan kebijakan strategis dan berdampak luas.
Tanpa mengecilkan persoalan tersebut, namun fakta bahwa di dalam survei ini peran MK menjadi sangat penting, patut diakui. Ada penegasan peran MK sebagai the guardian of constitusion (penjaga konstitusi), guardian of human rights (penjaga hak asasi manusia), hingga the guardian of democracy (penjaga demokrasi).
“Persoalannya adalah sampai sejauh mana MK bisa memenuhi fungsi itu?,” ujar Susi.
Menurut Susi, jika ingin memaksimalkan fungsi sebagai penjaga demokrasi, MK harus bisa memaksimalkan pula wewenangnya dalam menguji formil maupun materiil UU. MK harus semakin meningkatkan kualitas putusan. Peningkatan kualitas putusan itu akan sangat dipengaruhi oleh kemampuan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.
Tantangan
Ke depan, menurut Susi, hakim konstitusi perlu menerapkan sikap progresif saat memeriksa perkara uji materi undang-undang. Misalnya, perkara pengujian ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Sikap progresif diperlukan mengingat walaupun sudah belasan kali diuji dan ditolak MK, termasuk yang terbaru pada Kamis (24/2), tetapi masyarakat masih terus mengajukan permohonan yang sama (meski dengan batu uji berbeda) ke MK.
Hal tersebut menandakan bahwa masyarakat tidak puas dengan putusan MK sebelumnya. Selain itu, fenomena tersebut menunjukkan bahwa rasionalitas pembentuk undang-undang berbeda dengan rasionalitas rakyat.
“Karena masih ada perbedaan rasionalitas antara pembentuk undang-undang dengan rasionalitas rakyat, hakim konstitusi perlu lebih menggali rasa keadilan di masyarakat. Selama ini kan aturan presidential threshold dianggap menciptakan politik transaksional, polarisasi di masyarakat, dan menguntungkan oligarki politik serta partai penguasa saja. Ini harus dievaluasi oleh hakim konstitusi,” tegas Susi.
Lain halnya dengan Feri Amsari, salah satu pendiri kantor hukum Themis Indonesia. Tugas MK dalam konteks sebagai penjaga demokrasi tak selalu dan semata-mata berkenaan dengan persoalan kepemiluan. Namun, lebih luas lagi yaitu memastikan berjalannya demokrasi konstitusional.
Ada empat hal yang menjadi cakupan terkait perlindungan demokrasi konstitusional itu. Pertama, perlindungan atas negara hukum. Kedua, perlindungan terhadap hak asasi manusia, sedangkan yang ketiga pemisahan kekuasaan dan perimbangan kekuasaan negara, dan terakhir peradilan yang merdeka.
“Empat hal itu adalah syarat mendasar dari demokrasi konstitusional. Masalah terbesarnya MK sendiri harus terlebih dulu memerdekaan diri dari kekuasaan Lembaga negara lain agar tugasnya melindungi hukum, HAM, serta pemisahan dan perimbangan kekuasaan negara dapat terwujud,” ujar Feri.
Pendapat Feri sedikit berbeda dengan hasil survey IEU yang mengapresiasi putusan UU Cipta Kerja yang disebutnya menggambarkan indenpendensi yang kuat dari lembaga lain.
Pelaksanaan putusan
Meskipun memiliki kewenangan yang sedemikian besar termasuk membatalkan undang-undang, membubarkan partai politik, memutus sengketa Lembaga negara, hingga memutus dugaan pelanggaran presiden (impeachment), namun MK tidak memiliki daya ketika putusannya diabaikan oleh addresat putusan. Tidak sedikit putusan MK yang dianggap sebagai angin lalu semata.
Feri Amsari menilai, putusan MK diabaikan tidak hanya oleh kementerian atau lembaga negara, tetapi justru oleh Presiden sendiri. Salah satu bukti yang paling terlihat adalah terbitnya Peraturan Presiden Nomor 113 Tahun 2021 tentang Struktur dan Penyelenggaraan Bank Tanah. Aturan ini disebut sebagai aturan pelaksana UU Cipta Kerja. Padahal putusan MK telah melarang pemerintah menerbitkan peraturan pelaksana dari UU Cipta Kerja.
Lantas, apa yang membuat putusan MK tersebut tidak dijalankan atau pun jika dijalankan tidak sesuai dengan maksud ataupun semangat putusan? Menurut Feri, hal tersebut terkait dengan persoalan MK yang terbesar, yaitu independensi dari kekuasaan lembaga lain.
“MK kan bisa membuat peraturan yang mengatakan segala bentuk pengabaian terhadap putusan mereka dapat berakibat batal demi hukum. Alias, otomatis tindakan, kebijakan, dan peraturan yang melanggar itu tidak berlaku dengan sendirinya. Yang kedua, ada pasal-pasal tentang contempt of court, pakailah,” saran Feri.
Juru Bicara MK Fajar Laksono Suroso saat dikonfirmasi mengungkapkan, pihaknya memahami ekspektasi publik yang besar terhadap MK. Berkaitan dengan bagaimana MK merespon ekpektasi tersebut melalui putusannya, menurut Fajar, wajar jika ada pihak yang sudah puas dan ada yang belum.
“Itu biasa saja. Yang pasti, MK selalu melakukan upaya terbaik dalam menjalankan tugas kewenangannya, termasuk melayani publik, juga selalu mengedepankan keterbukaan. Bahwa itu dianggap belum optimal, atau bisa lebih dioptimalkanlagi, tentu itu wajar adanya. Malah itu sangat sejalan dengan ikhtiar MK dari waktu ke waktu yang selalu terus ingin meningkatkan kinerja, termasuk meningkatkan kualitas putusan,” ujar Fajar.
Terkait dengan pelaksanaan putusan, ia mengakui bahwa MK tidak memiliki instrumen untuk memastikan hal tersebut. Sebab, implementasi undang-undang termasuk undang-undang yang sudah diputus MK, menjadi ranah adressat putusan. Mereka bisa dari kalangan pemerintah maupun legislatif.
“Sekiranya ada peraturan perundang-undangan di bawah UU yang ditengarai tak sejalan dengan UU (yang sudah dilengkapi dengan Putusan MK), ada mekanisme yang bisa ditempuh, misalnya dengan uji materiil di MA (Mahkamah Agung-red). Dalam forum itu, legalitas peraturan perundang-undangan itu dapat di-challenge,” ujar Fajar.