RKUHP Jangan Sampai Tumpang Tindih dengan UU Sektoral
Misi rekodifikasi hukum pidana dalam revisi KUHP diharapkantidak hilang karena munculnya pengaturan yang saling tidak bersesuaian dengan undang-undang sektoral.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI, KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembaruan hukum pidana melalui revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang saat ini tengah dilakukan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat menjadi titik krusial agenda rekodifikasi ketentuan-ketentuan pidana nasional. Rekodifikasi tersebut mengandaikan adanya harmonisasi ketentuan-ketentuan pidana yang ada di berbagai regulasi.
Diharapkan misi rekodifikasi tersebut tidak hilang karena munculnya pengaturan yang saling tidak bersesuaian antara RKUHP dan undang-undang sektoral. ”Jangan sampai misi rekodifikasi itu menjadi hilang karena muncul aturan yang tumpah tindih satu sama lain,” ujar Muhammad Busyrol Fuad, peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), di Jakarta, Kamis (4/8/2022).
Salah satu contohnya adalah RKUHP dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Menurut Fuad, draf RKUHP per 4 Juli 2022 masih merumuskan beberapa materi tentang cyber-enabled crime atau kejahatan yang berkaitan dengan internet, seperti penghinaan, ujaran kebencian, berita bohong yang merugikan konsumen, serta penyiaran berita bohong secara umum.
Jangan sampai misi rekodifikasi itu menjadi hilang karena muncul aturan yang tumpah tindih satu sama lain.
Pasal-pasal itu pada dasarnya merupakan duplikasi dari aturan cyber-enabled crime di UU ITE yang saat ini notabene bermasalah. Fuad menyayangkan, draf RKUHP khususnya pada ketentuan peralihan tidak memuat tentang ketentuan mencabut pasal-pasal duplikasi UU ITE. Hal senada juga diungkapkan Koordinator Paguyuban Korban UU ITE Muhammad Arsyad. Semestinya pembentuk undang-undang melihat banyaknya korban UU ITE selama 10 tahun terakhir. Para korban itu dijerat dengan UU ITE baik karena dampak pelaporan ataupun penegak hukum yang menerapkan ketentuan di dalam undang-undang itu sendiri.
Ia berharap RKUHP yang dibahas saat ini dapat mempertegas lagi pengaturan sejumlah delik, khususnya terkait dengan pencemaran nama baik dan ujaran kebencian, termasuk penegasan bahwa hukuman badan dikenakan sebagai upaya terakhir. Kasus pencemaran nama baik sebaiknya diselesaikan melalui jalur keperdataan atau dengan menerapkan keadilan restoratif. ”Kalau kita kedepankan unsur pemenjaraan, itu bukan solusi,” tambahnya.
Agar tidak tumpang tindih, ia juga sepakat apabila ketentuan mengenai pencemaran nama baik dan ujaran kebencian dicabut dari UU ITE. ”KUHP sebaiknya concern ke kejahatan/tindakan pidana, sedangkan UU ITE concern pada aturan mengenai administrasi dunia digital. Kecuali untuk kejahatan luar biasa, seperti hacker atau kejahatan sejenis yang memerlukan pendalaman secara digitalforensics,” ujarnya.
Pengaturan tumpang tindih antara RKUHP dan UU ITE itu antara lain terdapat pada penyebaran konten melanggar kesusilaan pada Pasal 410 dan 411 RKUHP dengan Pasal 27 Ayat (1) UU ITE, penghinaan di Pasal 437 Ayat (2) RKUHP dengan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE, dan penghinaan terhadap golongan penduduk di Pasal 243 RKUHP dengan Pasal 28 Ayat (2) UU ITE. Selain itu, penyebaran berita bohong yang merugikan konsumen di Pasal 510 RKUHP dengan Pasal 28 Ayat (1) UU ITE serta penyiaran berita bohong di Pasal 263 Ayat (1) dan Pasal 264 RKUHP dengan ide kriminalisasi berita bohong baru dalam proses revisi UU ITE.
UU Narkotika
Selain UU ITE, RKUHP juga mesti diharmonisasi dengan UU Narkotika. Apalagi, saat ini pemerintah dan DPR sedang membahas rencana perubahan UU No 35/2009 tentang Narkotika. Dalam rapat panitia kerja RUU Narkotika di Komisi III DPR pada 23 Mei 2022 lalu, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Eddy OS Hiariej mengungkapkan, revisi UU Narkotika dilakukan mengingat masih tingginya kasus narkotika dan belum tertanganinya secara cepat, tepat, dan baik.
Pemerintah akan mengedepankan pendekatan keadilan restoratif dibandingkan keadilan retributif (balas dendam melalui penghukuman badan). Pengguna narkoba akan ditangani dengan pendekatan rehabilitasi. Dengan begitu, persoalan kelebihan penghuni (overcrowding) di dalam lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan negara juga dapat teratasi.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengusulkan agar pengaturan tindak pidana narkotika di RKUHP dicabut. Sebab, pengaturan tersebut dapat memperkuat stigma narkotika sebagai permasalahan pidana, bukan masalah kesehatan. Padahal, selama ini pendekatan pidana terbukti tak efektif menangani masalah narkotika.
Pengaturan narkotika yang ada di Pasal 614-619 RKUHP, kata Erasmus, juga masih memuat ketentuan pasal karet yang diadopsi dari UU Narkotika. Hal itu juga bersifat administratif sehingga semestinya diatur secara terpisah dari RKUHP. ”Kami minta agar pasal-pasal narkotika itu dicabut,” katanya.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, mengatakan, DPR akan kembali menyerap aspirasi publik untuk memperbaiki RKUHP. Semua aspirasi akan didengar, tak hanya terkait 14 isu krusial.
Pembentuk undang-undang akan mempertimbangkan politik hukum atau perlu tidaknya keberadaan suatu pasal. Jika nantinya sebuah pasal disepakati untuk ada, akan dibuat rumusan yang tidak bersifat karet, juga tidak mendegradasi hak seseorang dalam berdemokrasi.
Mengenai pasal-pasal yang dianggap tumpang tindih dengan undang-undang sektoralnya, kata Arsul, itu terkait ketentuan yang ada dalam bab tindak pidana khusus. Bab tersebut berisi pidana pokok yang ditarik ke RKUHP. Fungsinya untuk menjembatani ketentuan pidana yang ada di KUHP dengan yang ada di undang-undang sektoral.