Belum Ada Kepastian Setiap Masukan Masyarakat Dibahas pada Penyusunan RKUHP
Hingga kini belum ada kepastian bahwa setiap masukan publik akan dibahas oleh pemerintah dan DPR pada pembahasan RKUHP. Sebab, pemerintah dan DPR yang akan menilai urgensi dan rasionalitas masukan tersebut.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meski pemerintah kembali menyerap masukan dari masyarakat sipil terkait pembentukan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP, belum ada kepastian bahwa seluruh aspirasi akan kembali dibahas sebelum RKUHP disahkan. Padahal, publik berharap usulan mereka dibahas oleh pemerintah dan DPR untuk memastikan adanya partisipasi bermakna yang selama ini dianggap tidak optimal.
Juru bicara sosialisasi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), Albert Aries, mengatakan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia serta tim ahli/sosialisasi RKUHP hari ini kembali menerima masukan dari masyarakat sipil yang memiliki perhatian terhadap pembaruan hukum pidana dan pemidanaan modern di Indonesia melalui RKUHP. Kelompok masyarakat sipil yang dimaksud adalah Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).
”Ini adalah bagian dari partisipasi yang bermakna dari ICJR sebagai salah satu perwakilan masyarakat sipil dalam penyusunan RKUHP,” kata Albert saat dihubungi dari Jakarta, Senin (1/8/2022).
Masukan yang disampaikan ICJR terdiri dari beberapa hal, mulai dari penegasan norma, penyesuaian antara pasal-pasal terkait, hingga penyempurnaan penjelasan RKUHP. Namun, pihaknya mendapatkan kabar bahwa ICJR masih akan merapikan masukan-masukan tersebut dan akan dibahas lebih lanjut dengan Kemenkumham dan tim ahli.
Albert mengatakan, setiap masukan dari masyarakat akan ditampung, dipelajari, dan selanjutnya dipertimbangkan. Jika nantinya ada perbedaan pandangan antara Kemenkumham, tim ahli, dan masyarakat sipil, hal itu merupakan dinamika dalam berdemokrasi.
Namun, ia tidak memastikan apakah setiap masukan dari publik itu akan dibahas kembali oleh pemerintah dan DPR setelah masa reses berakhir pada 15 Agustus mendatang. Diberitakan sebelumnya, setelah Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward OS Hiariej menyerahkan draf terbaru RKUHP ke Komisi III DPR pada 6 Juli lalu, dinyatakan bahwa masih terbuka ruang pembahasan draf RKUHP. Namun, pembahasan terbatas soal 14 isu krusial yang selama ini masih menjadi kontroversi.
Terkait dengan hal tersebut, Albert mengatakan, pengerucutan pembahasan RKUHP menjadi 14 isu krusial bertujuan agar pembahasan tidak melebar kemana-mana. Sebab, jika hal itu terjadi, RKUHP dinilai tidak akan pernah selesai dibahas sampai kapan pun.
Masyarakat sipil dapat menyampaikan berbagai masukan, termasuk yang tidak ada dalam 14 isu krusial. Pemerintah dan DPR yang akan menilai urgensi dan rasionalitas masukan tersebut.
Untuk itu, katanya, masyarakat sipil dapat menyampaikan berbagai masukan, termasuk yang tidak ada dalam 14 isu krusial. Pemerintah dan DPR yang akan menilai urgensi dan rasionalitas masukan tersebut. ”Sebab, namanya masukan atau usulan dalam suatu penyusunan legislasi yang demokratis bukan berarti memaksakan pendapat yang dianggap atau berasa paling benar,” ujar Albert.
Selain menyerap masukan dari ICJR, sebelumnya Kemenkumham dan tim ahli juga telah menerima perwakilan dari Dewan Pers, serta memenuhi undangan dialog dari mahasiswa di antaranya Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia, BEM Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, dan Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Sejumlah pertemuan itu merupakan tindak lanjut dari sosialisasi RKUHP di 12 kota, baik secara langsung maupun hibrida (pertemuan luring dan daring).
Menurut Albert, tidak ada target berapa jumlah perwakilan masyarakat sipil yang akan diserap aspirasinya. Perwujudan partisipasi bermakna bersifat representatif, bukan sekadar kuantitas. ”Karena RKUHP ini penting untuk disahkan guna mengatasi fenomena overcrowding lapas (lembaga pemasyarakatan) dan juga menumbuhkan budaya keadilan restoratif di masyarakat,” ujarnya.
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu membenarkan telah memberikan masukan kepada pemerintah terkait RKUHP dalam pertemuan yang berlangsung selama satu jam. Saran yang diberikan mayoritas terkait dengan perubahan rumusan. Selain itu, pihaknya juga memeriksa kembali draf rumusan, serta menyampaikan usulan pencabutan pasal. Sejumlah pasal yang diusulkan dicabut di antaranya terkait tindak pidana lingkungan hidup, narkotika, tindak pidana yang diatur dalam peraturan daerah (perda).
Tidak ada target berapa jumlah perwakilan masyarakat sipil yang akan diserap aspirasinya. Perwujudan partisipasi bermakna bersifat representatif, bukan sekadar kuantitas.
Menurut Erasmus, untuk mewujudkan partisipasi publik bermakna dalam perumusan RKUHP, pemerintah tidak cukup hanya berdiskusi dengan ICJR. Pemerintah harus memperluas cakupan masyarakat sipil untuk berdiskusi secara lebih terbuka, yakni dengan menjelaskan masukan publik yang diterima dan dipertimbangkan.
”ICJR sudah memberikan masukan sejak 2015, dan itu kerja kami. Tetapi, kan, kami bukan satu-satunya dan tidak bisa dianggap mewakili,” kata Erasmus.
Ia membenarkan, masukan dari publik tidak terbatas hanya pada 14 isu krusial yang dibatasi oleh pemerintah. Sebagai wujud partisipasi bermakna, semestinya apa yang menjadi fokus masyarakat sipil kembali dibahas oleh pemerintah dan DPR sebelum mengesahkan RKUHP.
”Kalau (pembahasan) hanya 14 isu krusial, berarti masukan kami tidak didengar,” kata Erasmus.